Harga Lahan di Zanegi Papua: Rp1.000 Per Hektare untuk 60 Tahun
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Food Estate
Jumat, 02 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tanah di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, seakan tak ada harganya. Lahan seluas sekitar 300 ribu hektare disewa hanya dengan harga Rp300 juta, selama 60 tahun. Hal yang sangat menyedihkan dan menghina akal sehat.
Akuisisi tanah suku Malind senilai seribu rupiah per hektare itu terjadi demi proyek ambisius pemerintah Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE). Adalah PT Selaras Inti Semesta (SIS) pelakunya, perusahaan perkebunan tanaman industri yang beroperasi di wilayah kampung itu.
"Duit Rp300 juta ini lalu dibagikan secara merata ke seluruh marga, dan hasilnya, berdasarkan ingatan komunitas, tiap-tiap anggota marga menikmati kurang lebih Rp2,5 juta," kata Frangky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang beberapa tahun terakhir terlibat dalam pendokumentasian dampak dan pengaruh MIFEE terhadap kehidupan suku Malind di Zanegi.
Frangky menganggap, penguasaan lahan seluas sekitar 4,5 kali luas DKI Jakarta dengan modal tak seberapa oleh anak usaha Medco Group ini hanya mungkin dilakukan oleh pihak-pihak dengan kuasa luar biasa. Entah itu kuasa modal, regulasi, pasar, dan lain sebagainya, yang dengan kuasa tersebut mampu menundukkan, memengaruhi atau bahkan memaksa pihak lainnya untuk menuruti kehendak tersebut.
Apa yang lebih tidak masuk akal, lanjut Frangky, masyarakat Zanegi diberikan semacam ‘sertifikat’ atau ‘piagam’ yang berisi ucapan terima kasih dari perusahaan setelah memberikan kompensasi tersebut. Bagi warga Zanegi, piagam tersebut dianggap sebagai bentuk penghargaan dan penerimaan terhadap kehadiran Medco di kampung mereka.
Dokumen piagam atau semacamnya yang bertuliskan Penghargaan yang diberikan PT SIS kepada masyarakat Kampung Zanegi./Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
Berbagai istilah ‘lokal’ umumnya dikenal masyarakat sebagai penanda proses tersebut, uang ketuk pintu, uang tali asih, uang siri pinang. Istilah ini bukan tanpa makna. Dalam adat istiadat, perlakuan atas tanah bersifat sangat sakral.
Sehingga ada banyak tahapan-tahapan upacara dan tradisi yang harus dilalui untuk sekedar memindahkan hak milik atas tanah dari satu orang ke orang lainnya, misalnya.
"Di masyarakat Malind di Kampung Zanegi misalnya mengharuskan ada upacara toki babi yang juga harus diikuti dengan kehadiran seluruh totem-totem marga dan benda sakral tertinggi lainnya, seperti Pohon Wati," terang Frangky.
Perusahaan datang membawa bertumpuk rupiah dengan maksud mengakuisisi tanah sesegara mungkin, dan di sini kepercayaan orang Malind dipertaruhkan, atau bahkan menjadi bahan olokan. Bagi orang Malind, piagam ucapan terima kasih yang diberikan PT SIS itu dianggap hanya sekedar bentuk penghargaan belaka, sebagai tanda kehadiran Medco di tanahnya.
Akan tetapi, pihak perusahaan memanfaatkan piagam sebagai lampiran bukti, dalam Dokumen Surat Keputusan PT SIS No. 005/PRC/I/20220 tertanggal 1 Januari 2008, yang isinya mengatur tentang besaran nilai kompensasi kayu sebesar Rp2.000 per meter kubik.
Menurut penuturan masyarakat Zanegi, proses peralihan tanah berlangsung tanpa mempertimbangkan partisipasi seutuhnya masyarakat Zanegi. Proses perumusan surat perjanjian, misalnya, dilakukan dengan cara-cara instan.
“Dorang bilang ini contoh saja ya pak, surat ini. Nanti diperbaiki baru datang bawa yang baru,” tutur salah satu warga menirukan apa yang terjadi hampir sepuluh tahun silam, dikutip dari laporan bertajuk Torang Semua Ini Hanya Penonton Saja: Lumbung Pangan dan Riwayat Kegagalannya di Tanah Malind, yang diterbitkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama Perkumpulan Petrus Vertenten MSC Papua.
Namun itu tipu, surat perjanjian yang disebut contoh tadi itulah yang kemudian langsung ditandatangani saat itu juga, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada warga untuk mempelajarinya.
--
Sekedar membuka ingatan, MIFEE adalah ambisi besar pemerintah mengintegrasikan pertanian skala besar dan perkebunan energi yang luasnya mencapai 1,2 juta hektare tanah ini. Program ini konon akan mampu memperkuat ketahanan pangan nasional, sekaligus berkompetisi di pasar ekspor pangan global.
MIFEE diproyeksikan membawa rentetan keuntungan bagi perekonomian daerah maupun nasional. PDRB per kapita Merauke akan terdongkrak menjadi Rp124,2 juta per tahun pada 2030, dan negara bisa menghemat anggarannya hingga Rp4,7 triliun lewat pengurangan impor pangan (Zakaria, 2011), serta membuka peluang 44.900 lapangan kerja di bidang pertanian bagi masyarakat adat dan transmigran.
Proyek ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Ia dianggap berpotensi membawa berbagai dampak buruk baik secara sosial--masyarakat adat yang tanahnya akan diambil alih untuk kepentingan konsesi--maupun terhadap bentang alam ekologi itu sendiri.
Di Papua, Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (Sorpatom) vokal menyuarakan protes di jalan-jalan, kekhawatiran akan menguatnya proses marjinalisasi, penghancuran hutan, dan pemiskinan rakyat papua, menjadi dorongan utama dari rangkaian protes ini.
Akademisi-aktivis pun mengungkapkan keresahan serupa. Jika kita memasukkan kata kunci ‘MIFEE’ ataupun ‘Kampung Zanegi’ di mesin penelusuran daring, maka lembar-lembar pertama seluruh pencarian akan mengarahkan kita pada berita, paper penelitian, buku, artikel, yang menyoroti tentang betapa ironisnya dampak program lumbung pangan MIFEE yang dicanangkan selusin tahun silam terhadap kampung kecil di tengah hutan milik masyarakat adat Marind Anim tersebut.
Pada 2008, PT SIS, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Nomor 18/ Menhut-11/2009 dengan total luas 169.400 hektare, mulai berkontak dengan komunitas Marind di Kampung Zanegi. Mereka melakukan sosialisasi dan menyampaikan kehendaknya untuk berinvestasi di atas tanah tersebut.
Di momen tersebut pulalah piagam penghargaan diikuti dengan penyerahan Rp300 juta itu terjadi. Transaksi tersebut juga diiring dengan ritus-ritus adat yang cukup sakral, seperti pemotongan babi dan pengangkatan anak adat.
Meskipun belakangan orang-orang tua di Kampung Zanegi menyatakan bahwa PT SIS secara adat masih ‘tidak sah’ masuk ke wilayah adat mereka. Memang mereka akui, pernah dilakukan ritual Toki Babi oleh masyarakat Zanegi, namun ritual tersebut dimaksudkan untuk memberi persembahan kepada leluhur di atas tanah 20 hektare yang hari ini menjadi kantor PT SIS. Bukan untuk keseluruhan tanah sejumlah tiga ratus ribu hektare tersebut.
"Kalau memang mau toki babi, ada caranya. Tidak sembarang. Harus ada wati, perlengkapan adat, totem-totem dari seluruh marga. Semua itu ditambah dengan dokumen diletakkan di atas babi yang sudah ditoki, baru itu diserahkan dan sah secara adat," tutur salah seorang orang tua.
PT SIS menjanjikan banyak hal kepada warga, mulai dari kesejahteraan, peningkatan kualitas hidup, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya.
Namun sebagai gantinya, PT SIS mengambil hutan mereka dan mengubah pola hidup masyarakat, yang tadinya produktif mengupayakan pangan mandiri dan subsisten dari alam, kini menjadi transaksional yang segalanya bergantung pada rupiah.
SHARE