Kabar Luka dari Masyarakat Adat Sihaporas
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Selasa, 23 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tindakan intimidatif dan represif aparat kepolisian terhadap masyarakat adat diduga terjadi di Nagori Sihaporas, Pamatang Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/8/2022). Seorang perempuan adat terluka diduga terkena peluru karet yang ditembakkan oleh aparat kepolisian, dan seorang perempuan adat lainnya pingsan saat terjadi aksi saling dorong.
Kejadian itu terjadi saat ratusan aparat kepolisian terlibat bentrok dengan masyarakat adat yang berjaga di wilayah adat Buttu Pangaturan, Pamatang Sidamanik, Simalungun. Bentrok itu terjadi lataran aparat keamanan memaksa membuka portal yang dibuat masyarakat adat dan memaksa meninjau lokasi areal pembibitan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah itu.
Biro Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Hengki Manalu mengungkapkan, sekitar pukul 12.00 WIB, kurang lebih 250 aparat keamanan mendatangi masyarakat adat Sihaporas dan memaksa menerobos blokade warga, dengan alasan ingin melakukan pengecekan lokasi pembibitan PT TPL dan penanganan pencegahan kebakaran.
Namun masyarakat adat Sihaporas tidak mengizinkan sebelum ada pengakuan atas wilayah adatnya. Penolakan ini kemudian berujung pada aksi dorong mendorong antara masyarakat adat dengan aparat keamanan.
"Pukul 13.30 WIB, Polisi memberi tembakan peringatan ke atas, sehingga ada kaki perempuan adat terkena peluru karet atas nama Juliana Siallagan dan seorang ibu Maulina Simbolon pingsan karena situasi dorong mendorong," kata Hengky, Senin (22/8/2022).
Pascakejadian tersebut pihak masyarakat adat Sihaporas kemudian melakukan perundingan dengan Kapolres Simalungun, AKBP Ronald Sipayung, terutama demi menghindari adanya korban lagi.
Perundingan berjalan diwakili Staf Ahli Gubernur Binsar Situmorang, Kapolres Simalungun dan Dandim 0207 Simalungun. Hasilnya, masyarakat adat mengizinkan beberapa perwakilan kepolisian dan aparat keamanan lainnya untuk meninjau lokasi pembibitan.
"Sore harinya mereka (aparat) sudah pulang. Tadi beberapa orang diperbolehkan melihat ke lokasi pembibitan, dan setelahnya mereka pulang."
Hengky menduga, kehadiran ratusan personel kepolisian dan TNI, serta Satuan Polisi Pamong Praja ke lokasi tersebut adalah permintaan dari Pihak TPL. Sebab sudah sejak lama masyarakat adat Sihaporas melarang perusahaan tersebut beraktivitas di areal yang masuk dalam wilayah adat Sihaporas.
Hengky menguraikan, masyarakat adat Sihaporas sudah berada di wilayah adatnya sejak 1.800-an, dibuktikan dengan silsilah marga yang hingga kini sudah menginjak generasi ke-11. Sejak 1998 masyarakat adat Sihaporas sudah berjuang untuk pengakuan hak atas wilayah adatnya yang diklaim secara sepihak menjadi kawasan hutan oleh Negara.
Wilayah adat Sihaporas sendiri luasnya mencapai 2.049 hektare. Dari luasan tersebut sekitar 1.289 hektare di antaranya masuk dalam konsesi PT TPL. Akibat dari aktivitas PT TPL, masyarakat adat Sihaporas mengalami berbagai kerugian, seperti rusaknya hutan adat Sihaporas sebagai kebutuhan untuk ritual adat, sumber air minum masyarakat adat Sihaporas rusak dan terkontaminasi pestisida perusahaan, kehilangan tanah adatnya, dan mengalami kekerasan serta intimidasi.
Dalam menuntut pengakuan haknya, lanjut Hengky, masyarakat adat Sihaporas telah melewati berbagai upaya, seperti menyurati instansi pemerintahan, bertemu dengan Menteri LHK, hingga mengadu ke Kantor Staf Presiden. Namun belum mendapat respon yang serius dari pemerintah.
"Karena merasa tidak mendapat respon yang positif dari pemerintah, masyarakat adat Sihaporas akhirnya berjaga dan melarang aktivitas TPL di wilayah adat."
Menurut Hengky, masyarakat adat Sihaporas saat ini telah melakukan penanaman pohon di sumber-sumber air bersih yang selama ini telah rusak. Karena hal tersebutlah pihak aparat keamanan dari kepolisian dan TNI selalu datang dan melakukan intimidasi kepada masyarakat adat Sihaporas.
Menurut catatan masyarakat adat Sihaporas, pihak keamanan sebelumnya telah beberapa kali datang dan mengakibatkan masyarakat adat merasa terintimidasi, di antaranya:
- 15 Juli 2022, pihak intel Polres Simalungun dan TNI mendatangi pihak masyarakat adat Sihaporas, namun masyarakat menyuruh mereka untuk pulang.
- 18 Juli 2022, Kapolsek Sidamanik beserta jajaran kepolisian dan TNI kembali datang ke Sihaporas atas dasar laporan TPL yang menuduh masyarakat adat Sihaporas menyandra pekerjanya, namun masyarakat adat Sihaporas membantah tuduhan itu, karena memang tidak terbukti.
- 19 Agustus 2022, ratusan aparat kepolisan dan TNI kembali mendatangi masyarakat adat Sihaporas.
"Masyarakat adat Sihaporas mendesak pemerintah mengakui wilayah adatnya, dan sebelum adanya pengakuan, pihak perusahaan TPL diminta tidak beraktivitas di wilayah adat Sihaporas. Karena masyarakat adat Sihaporas sudah lelah menemui dan berdialog dengan pemerintah namun tidak kunjung ada penyelesaian konflik yang kongkrit," kata Hengky.
Hengky bilang, AMAN Tano Batak mendesak Menteri LHK segera mencadangkan wilayah adat Sihaporasn. Kemudian meminta agar pihak Polres Simalungun dan TNI menghentikan segala tindakan represif kepada masyarakat dan meminta segala aktivitas PT TPL di wilayah adat Sihaporas dihentikan.
Dalam rekaman video amatir yang tersebar di media sosial, awalnya sekitar 20-an perempuan adat Sihaporas duduk di tengah jalan, tak jauh dari portal yang dibentangkan sebagai blokade, di sekitar pos penjagaan warga di wilayah adat Buttu Pangaturan, Pamatang Sidamanik, Simalungun. Para perempuan adat ini duduk menunggu kedatangan ratusan aparat kepolisian, sembari menyanyikan lagu Maju Tak Gentar.
Tak lama kemudian, ratusan anggota kepolisian tiba. Kericuhan mulai terjadi dipicu oleh upaya aparat kepolisian yang hendak memotong portal dimaksud. Sejak itu, aksi saling dorong antara masyarakat adat dan aparat kepolisian akhirnya terjadi, hingga dua orang perempuan adat menjadi korban.
Setelah situasi mereda, seorang perempuan adat kemudian berbicara mewakili masyarakat adatnya, mempertanyakan kedatangan ratusan aparat kepolisian di lokasi tersebut, termasuk beberapa kali kunjungan aparat ke perkampungan, yang telah membuat masyarakat adat merasa terintimidasi. Sebab menurut dia, masyarakat Sihaporas sudah berkali-kali menyatakan secara tegas menolak apapun bentuk kegiatan di wilayah adat.
Dalam perundingan dengan masyarakat adat Sihaporas, Kapolres Simalungun AKBP Ronald Sipayung meminta agar masyarakat Sihaporas menghentikan penutupan akses jalan di lokasi tersebut. Karena aksi tutup jalan ini bisa dianggap sebagai bentuk kesewenangan dan melanggar hukum.
Padahal dalam pertemuan yang digelar sebelumnya, lanjut Ronald, pihaknya juga sudah mewanti-wanti agar masyarakat Sihaporas tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Ronald menyebut di jalur jalan yang Ia lalui menuju lokasi itu, pihaknya mendapati cukup banyak pohon yang ditebang dan dipasang melintang menghalangi jalan, sehingga menutup akses kendaraan.
"Termasuk kami dengar informasi kemarin. Tim karhutla yang datang ke sini tidak boleh lewat, tidak boleh melintas. Sementara ini adalah negara hukum," kata Ronald.
Ronald meminta agar dalam memperjuangkan pengakuan wilayah adat, masyarakat adat Sihaporas tidak melakukan pelanggaran hukum dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Jangan ada yang melakukan pelanggaran hukum di sini."
Ronal menjelaskan, dua permintaan masyarakat adat Sihaporas yang disampaikan dalam pertemuan yang dilakukan pada 1 Agustus 2022 lalu sudah ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Permintaan dimaksud yakni permintaan agar pemerintah daerah membuat rekomendasi pencadangan hutan adat dan yang kedua meminta agar dibentuk tim identifikasi dan memverifikasi untuk menilai kelayakan masyarakat adat Sihaporas mendapat pengakuan sebagai masyarakat hukum adat.
"Kemudian permintaan dari masyarakat itu sudah kita tindak lanjuti. Saya sama pemerintah daerah sudah menyampaikan kepada Pak Bupati. Dan sudah ada progresnya. Sudah ada kemajuan. Terbukti kemarin hari Jumat kami mengundang masyarakat Sihaporas untuk berkumpul di Kantor Kecamatan," ujar Ronald.
"Pemerintah daerah sudah menyampaikan, bahwa pemerintah daerah sudah melakukan langkah-langkah untuk mengakomodir apa yang diminta oleh warga masyarakat untuk membentuk tim identifikasi. Dan itu sedang berjalan. Artinya pertemuan itu kami tindak lanjuti bukan jalan di tempat."
SHARE