Jatam: Ironi Energi Bersih Tesla
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Jumat, 12 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Langkah Tesla Inc untuk meneken kontrak pembelian nikel dari Indonesia, seperti diklaim Luhut, menimbulkan ironi. Tesla menerapkan sistem praktik bisnis yang tak mencemari lingkungan dan memperhatikan aspek sosial. Namun catatan JATAM menunjukkan praktik pengolahan dan tambang nikel di Indonesia tak lepas dari perusakan lingkungan dan merugikan masyarakat.
Kabar kesepakatan pembelian nikel Indonesia diembus oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Ia menyebutkan Tesla telah membeli produk Nickel dari Zhejiang Huayou dan CNGR Advanced Material. Kedua perusahaan ini mendapatkan nikel dan mengolah sebagian proses di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah. .
“Mereka sudah membeli dua produk yang bagus dari Indonesia. Satu dari Huayou satu lagi dari mana, tanda tangan kontrak untuk lima tahun,” ucap dia dalam wawancara di CNBC Indonesia.
Pembelian ini untuk memenuhi kebutuhan pembuatan baterai lithium. Sedangkan nilai kontraknya mencapai 5 miliar Dolar AS.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menganggap rencana Tesla ini menimbulkan ironi. Tesla memiliki kesepakatan terkait aspek Environmental Social and Governance (ESG) dalam berinvestasi. Rapat tahunan pemegang saham perusahaan ini pada September 2020, sepakat untuk menerapkan praktik bisnis yang tidak mencemari lingkungan sekaligus tetap memperhatikan aspek sosial.Sedangkan industri dan pertambangan nikel di Indonesia memiliki kenyataan lain.
Zhejiang Huayou merupakan perusahaan yang bergerak dalam penelitian, pengembangan, dan pembuatan bahan baterai lithium energi baru dan produk bahan baru kobalt. Perusahaan ini berkantor pusat di Zona Pengembangan Ekonomi Tongxiang, Zhejiang, Cina.
Sementara CNGR Advanced Material merupakan anak perusahaan dari Hunan CNGR Holding Group Co., Ltd, berfokus pada penyedia layanan profesional dan komprehensif bahan energi canggih untuk baterai lithium dan berbasis di Cina Barat, Zona Pengembangan Ekonomi Dalong, Guizhou.
Zhejiang Huayou telah menandatangani Perjanjian Kerangka Kerjasama (Framework Cooperation Agreement) dengan PT Vale Indonesia untuk mengembangkan proyek pengolahan High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara pada Rabu (27/4/22).
Sementara CNGR Advanced Material telah berinvestasi dalam dua proyek nikel matte dengan Riqueza tahun lalu di Sulawesi, dengan total kapasitas tahunan 60.000 ton. Perusahaan juga mencapai kesepakatan dengan raksasa nikel Tsingshan Holding Group, yang akan memasok produk sebanyak 40.000 ton.
CNGR Advanced Material juga telah menandatangani perjanjian dengan Riqueza International Pte Ltd yang berbasis di Singapura untuk bersama-sama berinvestasi dalam tiga proyek di kawasan industri Weda Bay untuk memproduksi nikel matte di Maluku Utara. Selain itu, perusahaan ini akan berinvestasi di tiga proyek baru di Indonesia untuk memproduksi nikel matte, yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tahunan sebesar 120.000 ton untuk memenuhi peningkatan permintaan produk yang digunakan dalam pembuatan baterai mobil listrik.
Kerusakan Lingkungan dan Buruknya Dampak Sosial Industri Nikel di Indonesia
CNGR Advanced Material, yang menjalin kesepakatan bisnis dengan Tsingshan Holding Group, secara tidak langsung berkontribusi pada penghancuran ruang hidup warga di Morowali dan Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Tsingshan Group dan Bintang Delapan Group merupakan pendiri PT IMIP. Aktivitas PT Bintang Delapan telah memicu bencana banjir bandang, menyebabkan dua orang meninggal dunia, serta ratusan rumah penduduk dan bangunan pemerintah, serta fasilitas umum rusak parah di tiga desa yakni Desa Dampala, Le Le, dan Desa Siumbatu, Morowali pada 8 Juni 2019.
Aktivitas PT IMIP juga memicu terjadinya pencemaran air laut di wilayah Desa Kurisa, Bahodopi. Air laut tiba-tiba berubah warna menjadi hitam pada Juni 2021 lalu. Warga menduga timbunan batu bara yang masif tersebut terseret ke pembuangan air panas PLTU berdaya 65x2 megawatt milik PT IMIP saat hujan deras dan mengalir langsung ke laut.
Para nelayan, yang merupakan profesi mayoritas warga Desa Kurisa, adalah pihak yang paling terdampak. Hasil tangkapan anjlok. Selama tiga tahun terakhir, ikan di tambak sering mati karena suhu air laut kerap berubah panas akibat pembuangan dari sistem pendinginan turbin PLTU Batubara.
Untuk menunjang operasinya, PT IMIP menggantungkan kebutuhan listriknya dari PLTU batu bara. Hingga saat ini sudah terbangun tiga PLTU dengan total kapasitas mencapai 1.180 megawatt dari total sepuluh PLTU yang akan dibangun dan digunakan oleh PT IMIP. Akibatnya, warga di Desa Fatufia - lokasi PLTU PT IMIP - terpapar debu dari stockpile batubara berbentuk butiran halus hitam.
Ancaman lainnya adalah terkait rencana pemerintah untuk mengizinkan pembuangan limbah tailing ke laut dalam Morowali melalui proyek Deep Sea Tailing Placement yang berdampak buruk bagi lebih dari 7.000 keluarga nelayan perikanan tangkap. Apalagi, perairan Morowali termasuk dalam coral triangle, yaitu kawasan perairan di barat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia, yang mengandung keragaman spesies yang sangat tinggi (hampir 600 spesies terumbu karang) dan menjadi penopang biota laut di sekitarnya. Setidaknya terdapat 3.000 ha terumbu karang di bawah Laut Morowali, khususnya untuk sekitar 710 ha di Kecamatan Bahodopi.
Sementara itu, transaksi bisnis antara Zhejiang Huayou dan Vale Indonesia juga mempertaruhkan keselamatan warga di Luwu Timur dan Pomalaa, Sulawesi Selatan. Keberadaan PT Vale Indonesia telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Malili, Luwu Timur.
Pada 2014, tumpahan minyak dari PT Vale Indonesia telah mencemari laut Lampia. Lalu, pada 2018, Danau Mahalona juga tercemar berat akibat sedimentasi tanah bekas penambangan. Pada Agustus 2021, operasi PT Vale juga mencemari perairan Pulau Mori, mengakibatkan terganggunya biota perairan, kesehatan, dan mata pencaharian warga.
Pada 2016, PT Vale diduga merampas lahan pertanian dan tanah masyarakat adat Sorowako, Kecamatan Nuha, Luwu Timur. Selain itu, PT Vale melakukan kriminalisasi terhadap tujuh aktivis dan masyarakat adat lingkar tambang pada Maret 2022. Kriminalisasi terhadap warga ini bermula ketika masyarakat adat lingkar tambang menggelar demonstrasi menuntut pertanggungjawaban PT Vale atas penambangan perusahaan di atas tanah adat masyarakat.
Sementara di Weda, investasi Tsingshan Holding Group dan Huayou dalam PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), telah memicu perampasan lahan dan perusakan lingkungan yang sangat masif. PT IWIP diduga telah merampas lahan warga Lelilef Sawai yang merupakan kebun warga yang ditanami pala, cengkeh, kelapa dan langsa. Aktivitas PT IWIP juga telah mencemari empat sungai yang menjadi sumber air utama warga, yakni Ake Wosia, Ake Sake, Seslewe Sini dan Kobe. Aktivitas pertambangan PT IWIP di dalam kawasan hutan juga menjadi penyebab banjir parah yang terus berulang setiap tahunnya. Yang paling parah terjadi pada 8 September 2021, banjir besar merendam rumah-rumah warga di Lelilef Woybulen dan Trans Kobe di Kecamatan Weda Tengah.
Tak hanya mencemari sungai, kawasan pesisir dan laut di wilayah Weda juga hancur akibat aktivitas PT IWIP. Bendungan tempat penampungan limbah B3 milik PT IWIP di Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, jebol dan diduga tumpah hingga mengalir ke laut pada 30 Januari 2022. Ditambah lagi perairan laut Lolaro, dekat kawasan PT IWIP, salah satu wilayah tangkap nelayan, sejak beroperasinya PT IWIP, para perempuan nelayan alami kesulitan akibat ikan yang semakin berkurang karena limbah tambang hasil pembukaan lahan membuat laut tercemar, berwarna hitam dan kecoklatan.
Tak berhenti di situ, dua perusahaan tambang nikel yang diduga terafiliasi dengan PT IWIP, yakni PT Zhong Hai Rare Metal Mining dan PT First Pacific Mining Indonesia, yang beroperasi di Desa Sagea, Weda Utara, mengancam keberadaan bentang alam karst yang ada di kawasan Weda, termasuk wisata Goa Karst Bokimaruru. Kawasan karst ini merupakan sumber air terpenting bagi masyarakat di desa-desa sekitar.
“Dalih perusahaan dan pemerintah yang terus mempromosikan mobil listrik sebagai hal penting dalam persaingan 'global' melawan perubahan iklim telah mengabaikan dampak negatif dari ekstraksi mineral dan bijih logam yang diperlukan untuk memproduksi mobil seperti itu, dan hanya disebut sebagai dampak lokal,” ucap Koordinator Jatam, Melky Nahar.
SHARE