Penelitian Hubungkan Bahaya Iklim dengan Risiko Penyakit Menular
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Selasa, 09 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Bencana iklim seperti banjir, gelombang panas dan kekeringan diperkirakan memperburuk lebih dari separuh ratusan penyakit menular yang diketahui manusia, termasuk malaria, hantavirus, kolera dan antraks.
Para peneliti mempelajari literatur medis kasus penyakit menular yang dapat diidap manusia dan menemukan 218 dari 375 atau 58 persen penularan penyakit itu bakal diperburuk oleh satu dari 10 jenis cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim. Hasil penelitian ini dimuat dalam jurnal Nature Climate Change.
Sejak masa Hippocrates dokter telah menghubungkan penyakit dengan cuaca tetapi penelitian ini menunjukkan seberapa luas pengaruh iklim terhadap kesehatan manusia.
“Jika iklim berubah, risiko penyakit ini juga berubah,” kata rekan penulis studi Dr. Jonathan Patz, Direktur Institut Kesehatan Global di Universitas Wisconsin-Madison seperti dikutp dari AP.
Dokter, selaiknya Patz, mengatakan para ahli kesehatan perlu memikirkan penyakit sebagai gejala Bumi yang sakit.
Dr. Carlos del Rio, spesialis penyakit menular Universitas Emory, yang bukan bagian dari penelitian menyebutkan temuan penelitian ini menakutkan dan menggambarkan dengan baik konsekuensi besar perubahan iklim pada patogen manusia.
“Kita yang berada dalam penyakit menular dan mikrobiologi perlu menjadikan perubahan iklim sebagai salah satu prioritas kita, dan kita semua perlu bekerja sama untuk mencegah apa yang tidak diragukan lagi akan menjadi bencana akibat perubahan iklim,” ucapnya.
Selain melihat penyakit menular, para peneliti memperluas pencarian untuk melihat semua jenis penyakit manusia termasuk penyakit tidak menular seperti asma, alergi, dan bahkan gigitan hewan. Mereka melihat seberapa banyak penyakit yang dapat dihubungkan dengan bahaya iklim dalam beberapa cara, termasuk penyakit menular. Total 286 penyakit unik dan 223 di antaranya tampaknya diperparah oleh bahaya iklim, sembilan penyakit memiliki dampak yang kurang, dan 54 memiliki kasus diperparah sekaligus dan diminimalkan.
Studi baru tidak melakukan perhitungan untuk menghubungkan perubahan penyakit tertentu, peluang atau tingkatannya dengan perubahan iklim, tetapi menemukan kasus dimana cuaca ekstrem merupakan faktor yang mungkin terjadi di antara banyak faktor. Studi ini memetakan 1.006 koneksi dari bahaya iklim hingga penyakit.
Penulis utama studi Camilo Mora, seorang analis data iklim di University of Hawaii, mengatakan yang penting untuk dicatat adalah bahwa penelitian ini bukan tentang memprediksi kasus di masa depan.
"Tidak ada spekulasi apa pun di sini," kata Mora. "Ini adalah hal-hal yang sudah terjadi."
Salah satu contoh yang diketahui Mora secara langsung. Sekitar lima tahun yang lalu, rumah Mora di pedesaan Kolombia kebanjiran. Air untuk pertama kalinya menggenangi ruang tamu dan menjadi tempat berkembang biak ideal bagi nyamuk dan Mora pun tertular Chikungunya, virus jahat yang disebarkan oleh gigitan nyamuk. Meskipun selamat, dia masih merasakan nyeri sendi bertahun-tahun kemudian.
Terkadang perubahan iklim bertindak dengan cara yang aneh. Mora memasukkan data kasus tahun 2016 di Siberia ketika bangkai rusa berusia puluhan tahun mati karena antraks ditemukan saat lapisan es mencair karena pemanasan. Seorang anak menyentuhnya dan terjangkit antraks.
Mora awalnya ingin mencari kasus medis untuk melihat bagaimana COVID-19 bersinggungan dengan bahaya iklim jika ada. Dia menemukan kasus-kasus di mana cuaca ekstrem memperburuk dan mengurangi peluang COVID-19. Pada beberapa kasus, panas yang ekstrem di daerah miskin membuat orang berkumpul bersama untuk mendinginkan diri dan menularkan penyakit. Pada situasi lain, hujan lebat mengurangi penyebaran COVID-19 karena orang-orang tinggal di rumah dan di dalam ruangan, jauh dari orang lain.
Pakar iklim dan kesehatan masyarakat University of Washington, Kristie Ebi, khawatir dengan bagaimana kesimpulan ditarik dan beberapa metode dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan fakta bahwa pembakaran batu bara, minyak dan gas alam telah menyebabkan cuaca ekstrem yang lebih sering dan intens, dan penelitian telah menunjukkan pola cuaca terkait dengan banyak masalah kesehatan.
“Namun, korelasi bukanlah sebab-akibat. Para penulis tidak membahas sejauh mana bahaya iklim yang ditinjau berubah selama periode waktu penelitian dan sejauh mana setiap perubahan dikaitkan dengan perubahan iklim,” kata Ebi dalam email.
Tetapi Dr. Aaron Bernstein, direktur sementara Pusat Iklim, Kesehatan, dan Lingkungan Global di Harvard School of Public Health, Emory's del Rio, dan tiga pakar luar lainnya mengatakan penelitian ini merupakan peringatan yang baik tentang iklim dan kesehatan untuk saat ini dan masa depan. Terutama saat pemanasan global dan hilangnya habitat mendorong hewan dan penyakit mereka lebih dekat ke manusia.
“Tapi tentu saja itu hanya melaporkan apa yang sudah kita ketahui dan apa yang belum diketahui tentang patogen mungkin lebih menarik tentang bagaimana mencegah perubahan iklim lebih lanjut dapat mencegah bencana di masa depan seperti COVID-19,” ucapnya.
SHARE