NGO: Dana Transisi Energi di Indonesia Harus Inklusif, Transparan
Penulis : Tim Betahita
Energi
Kamis, 21 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Aktivis iklim Indonesia menyerukan agar pendanaan transisi energi di dalam negeri tetap inklusif dan transparan serta tepat sasaran. Seruan tersebut menyusul pasca berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven (G7) di Elmau, Jerman, akhir Juni lalu.
Salah satu kesepakatan dalam KTT G7 adalah kolaborasi dengan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mempercepat agenda transisi energi bersih melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JTEP).
Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan Indonesia selaku tuan rumah forum G20 tahun ini harus menegaskan dan menyepakati akselerasi transisi energi.
“Transisi energi harus memenuhi nilai keadilan, inklusif, dan demokratis serta dilaksanakan dengan tata kelola yang bersih dan tidak korup. Transisi energi yang terbarukan juga harus menerapkan ekonomi sirkular dari hulu ke hilir sehingga bisa menjadi solusi sesungguhnya bagi lingkungan dan iklim,” kata Tata kepada media dalam diskusi daring, Selasa, 19 Juli 2022.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sebesar 25-30 miliar USD (sekitar 442 triliun) selama delapan tahun ke depan untuk mengakselerasi transisi energi.
Menurut Tata, JETP antara Indonesia dengan negara G7 secara umum akan dilakukan dengan mendekarbonisasi sistem energi dan meningkatkan efisiensi energi. Walau terlihat ambisius, namun saat ini tidak satupun dari negara G7 ataupun Indonesia yang aksi iklimnya sejalan dengan Kesepakatan Paris.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia misalnya masih melakukan langkah-langkah kontradiktif dengan berusaha membangun setidaknya 13,5 GW PLTU batu bara baru dalam berbagai tahapan termasuk tahap pendanaan, di luar PLTU batu bara captive untuk industri.
Sebelumnya, Prancis, Jerman, Inggris, AS, dan Uni Eropa sebagai negara G7 telah meluncurkan program Just Energy Transition Partnership dengan Afrika Selatan. Kemitraan sebesar $8,5 miliar (sekitar Rp 120 triliun) tersebut mendukung dekarbonisasi Afrika Selatan dengan berfokus pada sistem kelistrikan, untuk membantunya mencapai tujuan yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC) terbarunya.
Upaya tersebut dilakukan dengan memberikan pembiayaan awal sebesar $8,5 miliar (sekitar 120 triliun) melalui berbagai mekanisme termasuk hibah, pinjaman lunak dan investasi, dan instrumen pembagian risiko, termasuk untuk memobilisasi sektor swasta.
Managing Director 350.org Asia Sisilia Nurmala Dewi mengatakan, terdapat banyak kesamaan kondisi dan tantangan antara Indonesia dan Afrika Selatan selaku penerima dana JETP.
Sisilia menilai, target NDC Indonesia dalam menurunkan emisi karbon tidak lebih ambisius dibandingkan dengan Afrika Selatan. “Oleh karena itu, penting untuk publik bisa memantau lebih jauh bagaimana detil kesepakatan JETP termasuk mekanisme dan porsi pendanaan yang diberikan. Di Afrika Selatan, porsi dukungan pendanaan untuk transisi energi sangat besar, namun sedikit yang diberikan untuk aspek keadilan.”
“Idealnya, rumusan just energy transition itu harus ambisius, demokratis, dan prosesnya dibuka bagi keterlibatan mereka yang terdampak (pekerja, masyarakat di wilayah batubara, anak muda),” tegasnya.
Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program, Trend Asia, menyatakan agar JETP menjadi perwujudan nyata tanggung jawab negara maju dalam upaya bersama secara global mengurangi emisi dan mengatasi laju perubahan iklim. Dus, pendanaan ke negara berkembang tersebut harus dalam bentuk hibah, bukan pinjaman agar tidak memberatkan negara berkembang dan upaya akselerasi transisi energi menjadi lebih optimal.
Selain itu, pendanaan JETP yang diterima Indonesia harus tepat sasaran. Sebagai contoh, dana tersebut tidak digunakan untuk memensiunkan PLTU yang telah melewati masa operasi dan sudah harus berhenti.
Di sisi lain, inisiatif JETP semestinya juga perlu disertai dengan kesiapan pemerintah untuk menyiapkan kebijakan dan panduan yang jelas dalam menjalankan pensiun dini PLTU. “Salah satunya adalah dengan segera mengesahkan Perpres mengenai Penghentian Operasi PLTU yang hingga sekarang belum dilakukan pemerintah” imbuh Andri.
SHARE