Pemutihan Aktivitas di Kawasan Hutan Dianggap Pembangkangan
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Rabu, 13 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemutihan aktivitas ilegal perusahaan dalam kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dianggap sebagai pembangkangan konstitusi. Pemutihan ini dilakukan dengan dasar UU Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
KLHK menyatakan mengakomodir 14 perusahaan tambang yang selama ini melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan untuk terus beroperasi, meskipun telah melakukan pelanggaran hukum. Akomodasi terhadap pelanggaran ini dilakukan dengan menggunakan pasal 110A dan pasal 110B UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
"Saat ini ya yang sudah kami keluarkan sekitar Rp70 miliar. Ini dari sekitar 14 perusahaan korporasi. Ada dua Pemda yang tidak kami kenakan denda," ucap Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK), Rasio Ridho Sani, dalam paparannya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) Penyelesaian Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan Komisi IV DPR RI dengan Sekjen KLHK, Rabu (6/7/2022).
Tak hanya itu, pada rapat yang sama ia mengungkapkan akan ada 869 perusahaan lagi yang selama ini beroperasi di kawasan hutan yang bisa diampuni. "Jadi yang sudah ada di kami, list-nya 869 (subjek hukum) yang akan segera kami tindak lanjuti. Data lain masih banyak yang belum," imbuhnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap langkah ini sebagai upaya pembangkangan terhadap konstitusi. Mekanisme keterlanjuran ini diatur oleh pasal 110A dan 110B Undang-undang Cipta Kerja dan dapat menghapus sanksi pidana yang sebelumnya diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Selanjutnya mekanisme keterlanjuran diatur lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 2021.
Namun pemberian pengampunan kepada perusahaan tambang yang selama ini melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan untuk terus beroperasi.
“Meskipun nyata-nyata telah melakukan pelanggaran hukum, apalagi dengan menggunakan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi sebagai dasar melakukan tindakan pengampunan ini bertentangan dengan prinsip konstitusional,” ucap Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore.
Pemerintah seharusnya melaksanakan putusan MK, dan berhenti mengambil keputusan yang menciderai demokrasi, mengancam keselamatan lingkungan dan tidak sejalan konstitusi.
Ia beranggapan pengampunan pelanggaran hukum oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi dalam kawasan hutan ini mempertegas penyelewengan konsepsi perizinan oleh pemerintah. Izin pada sektor pertambangan seharusnya tidak hanya dipergunakan untuk pemenuhan administrasi untuk penarikan retribusi, namun sebagai upaya pembatasan dan kontrol perusakan. Izin sebagai retribusi dan administrasi semata mendorong adanya mekanisme keterlanjuran (upaya pemutihan pelanggaran) yang menjadi preseden buruk penegakan hukum pertambangan.
“Kemudahan investasi sektor tambang yang serampangan menyebabkan perusakan besar pada berbagai wilayah penting dan ekosistem esensial yang selama ini memberikan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat serta menjadi sumber penghidupan mereka,” jelasnya.
Walhi mencatat pemberian Izin Usaha Pertambangan hingga tahun 2021 telah menguasai lahan lebih dari 11 juta hektar, sekitar hampir 5 juta hektar diantaranya berada dalam wilayah tutupan hutan. Operasi pertambangan dalam kawasan hutan akan menyebabkan kerusakan kawasan hutan dalam bentuk deforestasi dan pembongkaran batuan dan mineral.
Pembukaan kawasan hutan ini pada akhirnya akan menyebabkan limpasan air hujan tidak lagi bisa terserap, serta meningkatnya pelepasan sedimen tanah, akibatnya kerusakan kualitas lahan hutan akan mendorong sedimentasi pada alur sungai dan ketidakstabilan tanah. Selain itu, buangan kimia hasil tambang pada kawasan hutan akan merusak kualitas air tanah dan pada akhirnya menurunkan kualitas ekosistem secara keseluruhan.
SHARE