Perusahaan Sawit Papua Gugat Pencabutan Izin Jokowi
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Kamis, 23 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID -
Perusahaan perkebunan sawit di Papua yang dicabut izinnya mengajukan gugatan. Pegiat lingkungan pun mewanti-wanti pemerintah untuk menghadapi gugatan ini secara serius demi mempertahankan hutan masyarakat adat.
Tiga perusahaan perkebunan sawit di Papua yang dicabut izinnya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai tindak lanjut pencabutan izin yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal tahun lalu melakukan gugatan ke PTUN Jakarta pada Selasa 14 Juni lalu. Mereka adalah PT Permata Nusa Mandiri (PNM), PT Menara Wasior (MW), dan PT Tunas Agung Sejahtera (TAS).
Dikutip dari situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, PT PNM mengajukan gugatan terhadap Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia dengan nomor perkara 167/G/2022/PTUN.JKT. Mereka meminta PTUN Jakarta membatalkan Surat Keputusan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 20220329-21-78718 tentang Pencabutan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan kepada perusahaan tersebut.
Sedangkan PT MW mengajukan gugatan yang sama melalui gugatan nomor 166/G/2022/PTUN.JKT, dan PT TAS dengan nomor gugatan 168/G/2022/PTUN.JKT.
Pencabutan izin ini sendiri dilakukan setelah pengumuman pencabutan izin ditindaklanjuti dengan pembentukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang dibentuk Presiden Jokowi melalui Keppres No 1 Tahun 2022. Satgas ini menindaklanjuti pencabutan izin usaha pertambangan, izin pinjam pakai Kawasan hutan, hak guna usaha, dan hak guna bagunan yang tidak produktif.
Hasil kerja satgas tersebut, berlanjut dengan pengumuman pencabutan pelepasan Kawasan hutan oleh Kepala BKPM pada 29 Maret 2022. Tiga perusahaan yang dicabut di Papua antara lain PT PNM, PT Menara Wasior MW, dan PT TAS dengan total luas 84.521,72 hektar.
Staf Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea, menyatakan gugatan ini merupakan serangan balik dari perusahaan. Padahal harapan masyarakat untuk mempertahankan hutannya dengan pencabutan izin tersebut sangat besar. Masyarakat adat wilayah tersebut untuk tetap dipertahankan sebagai hutan, salah satunya sebagai sumber pangan bagi masyarakat adat.
“Gugatan ini, akan memperpanjang jalan perjuangan masyarakat merebut kembali wilayah adat mereka” ujar Tigor Hutapea melalui rilis pers.
Masyarakat adat tentunya akan mendukung langkah pemerintah mempertahankan upaya pencabutan tersebut. Selain itu, untuk mempertahankan hutan tersisa, pemerintah harus mempercepat pengakuan masyarakat adat serta penetapan wilayah mereka.
Penelusuran yang dilakukan oleh Tigor berdasar dokumen resmi pemerintah menunjukkan ketiga perusahaan yang mengajukan gugatan tersebut tampak memiliki hubungan dengan Grup Salim dan Grup Indogunta. Kedua grup ini dikenal sebagai korporasi yang menguasai sejumlah kebun sawit, dan industri turunannya
Selain itu lokasi konsesi PT PNM berada di lembah Grime Nawa yang terletak di dekat Danau Sentani. Bupati Jayapura telah menerbitkan penetapan lokasi itu sebagai hutan adat di kawasan itu pada 2018.
Walau demikian, perusahaan terus beroperasi dan membuka lahan pada 2019 dan 2020 beberapa hari setelah pengumuman pencabutan izin oleh KLHK. Kehadiran perusahaan ini, kata Tigor, bagi masyarakat bagaikan raksasa menakutkan yang rakus dan selalu mengancam ruang hidup mereka.
“Hutan di Grime Nawa, dan daerah sekitarnya memiliki beragam potensi. Bahkan masyarakat telah mengelolanya sebagai wilayah konservasi berbasis masyarakat adat” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Menurut Sekar, jika kehadiran perusahaan kebun sawit tetap dipertahankan, justru keragaman hayati ini akan semakin terancam dan bahkan punah.
PT TAS dan PT PNM merupakan dua perusahaan yang menikmati pelepasan kawasan hutan semasa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Pelepasan tersebut ia berikan menjelang akhir masa jabatan sebagai menteri kehutanan, kini Presiden Jokowi kembali mengangkat Zulkifli sebagai Menteri Perdagangan.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi serangan balik perusahaan ini, pemerintah harus menghadapinya dengan transparan, pemerintah harus membuka ke publik semua pertimbangan dan hasil evaluasi yang dilakukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan.
SHARE