900 Ribu Hektare Sawit dan Tambang Dalam Kawasan Hutan di Kalteng
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Selasa, 21 Juni 2022
Editor :
BETAHITA.ID - Perkebunan sawit dan tambang dalam Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) luasnya mencapai 967.409,01 hektare. Angka itu dihasilkan dari identifikasi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap kegiatan usaha tanpa izin di bidang kehutanan yang terbangun di Kawasan Hutan di Kalteng, hingga 31 Mei 2022 lalu.
"Dari hasil tim kerja KLHK pada akhir Mei 2022 kemarin itu tercatat seluas 967.409,01 hektare," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IV DPR RI, awal Juni 2022 lalu, yang disiarkan secara langsung melalui kanal You Tube Komisi IV DPR RI.
Menteri Siti menyebut, berdasarkan pengelompokan pelaku pengguna Kawasan Hutan, korporasi menguasai paling besar Kawasan Hutan untuk sawit dan Tambang seluas 793.515,77 hektare. Sedangkan kelompok masyarakat seluas 93.840,33 hektare, koperasi sebesar 16.258,47 hektare dan perorangan 35.231,10 hektare.
"Dan yang belum dapat diidentifikasi juga ada ternyata, 28.561,97 hektare dari 967.409 hektare. Ini masih kita terus dalami. Kenapa dia tidak berhasil diidentifikasi? Karena orangnya waktu didatangi tidak ada dan tempatnya sangat sulit. Jadi ini masih terus kita selesaikan," terang Menteri Siti.
Angka luas 967.409,01 hektare itu berasal dari perkebunan sawit ilegal seluas 855.558,68 hektare perkebunan sawit dan pertambangan seluas 111.850,33 hektare. Ratusan ribu hektare sawit dan tambang ilegal ini tersebar di seluruh kabupaten dan kota se-Kalteng.
Dari 967.409 hektare tersebut, sekitar 938.847,04 hektare di antaranya sudah teridentifikasi kepemilikan atau pelaku pengguna Kawasan Hutannya. Secara rinci, 938.847,04 hektare itu terdiri dari areal perkebunan sawit seluas 831.333,20 hektare, dan sisanya 107.512,48 hektare merupakan areal pertambangan.
Menteri Siti bilang, kegiatan pertambangan di dalam Kawasan Hutan seluas 107.512,48 hektare itu sebagian besar dilakukan oleh kelompok masyarakat. Dengan luasan sekitar 65.148,94 hektare. Sedangkan koperasi, korporasi dan perorangan masing-masing luasannya sekitar 1.212,18 hektare, 21.994,12 hektare dan 19.157,24 hektare. Menteri Siti berani memastikan, aktivitas penambangan oleh kelompok masyarakat itu tanpa izin, alias ilegal.
"Tapi ini juga pekerjaan rumah baru nanti mungkin kita perlu dalami di diskusi perbaikan pemulijhan lingkungan. 65 ribu biasanya emas, kalau di Kalteng zirconia atau mungkin batu bara. Nanti dicek satu-satu, karena datanya ada."
Berdasarkan data yang dihasilkan, korporasi menjadi pelaku utama kegiatan perkebunan sawit di dalam Kawasan Hutan. Mereka menguasai lahan Kawasan Hutan seluas 771.521,65 hektare. Sedangkan kelompok masyarakat seluas 28.691,39 hektare, koperasi 15.046,29 hektare dan perorangan 16.073,86 hektare.
Kepala Kantor Seksi Wilayah I Palangka Raya, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Wilayah Kalimantan, Irmansyah mengaku belum mendapat petunjuk lebih lanjut dari pusat terkait sawit dan tambang ilegal dalam Kawasan Hutan di Kalteng ini.
"Sudah ada (instruksi Dirjen Gakkum). Cuman saya yang belum secara utuh menerima hal itu, karena itu ada tim khusus yang dibentuk oleh KLHK di bawah kendali Sekjen KLHK dalam hal inventarisasi, pemotretan kondisi, pengenaan sanksi dan lain-lain," kata Irmansyah, Selasa (14/6/2022).
Irmansyah menyebut, Gakkum menjadi salah satu pelaksana kegiatan dalam tim khusus dimaksud. Karena penghitungan sanksi dan denda bagi pengguna Kawasan Hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan menjadi tugas Gakkum.
"Kita di daerah tergabung dalam tim lapangan. Anggota pelaksana verifikasi lapangan. Sepengetahuan saya untuk yang tambang sudah ada yang dikeluarkan sanksi dendanya," ungkap Irmansyah.
Pelaku Pengguna Kawasan Hutan secara Ilegal Harusnya Dipidana
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata menilai, dari hasil evaluasi kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan itu, KLHK sudah seharusnya melakukan penegakan hukum pidana terhadap para pelaku, baru kemudian dilakukan pengenaan sanksi administratif.
Alasannya, karena proses ini sudah cukup lama berjalan. Sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 2020 lalu, kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan sudah teridentifikasi, dan KLHK telah memegang data perusahaan nakal yang berkegiatan di dalam Kawasan Hutan tanpa izin.
"Dan sampai hampir 2 tahun proses berjalan, kelihatannya proses untuk pengurusan izin tersebut tidak dilakukan oleh perusahaan. Dan ini yang kemudian menjadi temuan KLHK lagi dalam evaluasi yang baru dilakukan," ujar Bayu, Selasa (14/6/2022).
Sehingga, lanjut Bayu, pemerintah semestinya tidak bisa serta merta melakukan "pengampunan" atau “pemutihan” kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan, dengan skema Pasal 110A dan atau 110 B. Kemudian selain dikenakan sanksi pidana, perusahaan nakal itu juga mestinya diwajibkan melakukan pemulihan lingkungan atau ekosistem di areal Kawasan hutan yang teridentifikasi rusak oleh aktivitas mereka.
Bayu juga menyoroti soal transparansi data pelaku kegiatan di dalam Kawasan Hutan secara ilegal yang terkesan ditutupi oleh pihak KLHK. Menurut Bayu, pemerintah, dalam hal ini KLHK seharusnya membuka data dan proses evaluasi kegiatan di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan kepada publik, khususnya kepada masyarakat di sekitar areal perusahaan yang telah melakukan kejahatan kehutanan.
Sebab, keterbukaan data dan proses evaluasi itu dapat memaksimalkan peran masyarakat dalam membantu mengawal dan mengawasi proses-proses yang sudah dilakukan oleh KLHK.
"Dan jika sanksi sudah diberikan maka masyarakat di kampung desa-lah yang paling cepat bisa memberikan laporan terkait kondisi lapangan. Jika sanksi penghentian operasional atau pencabutan izin diberikan, tapi perusahaan masih beroperasi, maka pemerintah dapat melakukan tindakan yang lebih kepada perusahaan," ujar Bayu.
Berdasarkan ketentuannya, kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan tanpa perizinan bidang kehutanan ini skema penyelesaiannya ditetapkan menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yakni Pasal 110A dan Pasal 110B. Dua pasal ini kemudian dianggap sebagai pengampunan terhadap para pelanggar Kawasan Hutan.
Mengapa demikian? Karena sanksi pidana yang pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hapus bagi para pelanggar Kawasan Hutan yang berkegiatan usaha sebelum UU Cipta Kerja terbit.
Sanksi bagi para pelanggar Kawasan Hutan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.
Pasal 3 ayat 1, PP ini menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku."
Kemudian, pada ayat 2 disebutkan, "Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melewati jangka waktu 3 tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku, setiap orang dikenai Sanksi Administratif."
Selanjutnya ayat 3 menyebut, "Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif."
Sanksi administratif dimaksud ayat 2 dan ayat 3 diatur dalam ayat 4, yakni berupa: Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, Denda Administratif, Pencabutan Perizinan Berusaha, dan/atau Paksaan pemerintah.
SHARE