Petani Mukomuko Masih Terancam Kriminalisasi

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 06 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Petani Muko-Muko, Bengkulu, mendesak pemerintah menuntaskan konflik petani dengan perusahaan perkebunan sawit. PT Daria Dharma Pratama (DDP). Mereka rentan kena kriminalisasi. 

Petani Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, mengeluhkan hingga kini tak ada penyelesaian atas polemik mereka dengan PT DDP terkait bekas lahan perkebunan PT Bina Bumi Sejahtera (BBS). Mereka merasa konflik ini membuat mereka sering diperiksa polisi atas pencurian buah sawit. 

"Sudah puluhan petani yang dilaporkan oleh pihak perusahaan PT DDP sebagai pencuri sawit padahal tanaman itu mereka tanam sendiri di atas lahan yang ditelantarkan perusahaan," kata Saman Lating, kuasa hukum dua orang petani Mukomuko yang kembali mendapat panggilan karena dinilai menguasai dan menduduki lahan perkebunan PT DDP.

Dua kliennya, Darmin dan Suharto, yang merupakan petani di Kecamatan Malin Deman  kembali mendapatkan surat permintaan klarifikasi atas kisruh penguasaan lahan HGU PT BBS yang terlantar dari Kepolisian Resor Mukomuko.

Masyarakat yang ditangkap menjalani proses BAP tanpa pendampingan atau kuasa hukum./Foto: Akar Foundation

Polisi meminta keterangan terkait kegiatan tidak sah menggunakan, menguasai, mengerjakan dana atau menduduki lahan usaha perkebunan serta memanen dan atau memungut hasil perkebunan di dalam lokasi HGU PT BBS area 1 divisi 6 Blok T 16.

Padahal kata Lating, hingga kini, perusahaan PT DDP tidak mampu menunjukkan legalitas dalam melakukan aktivitas usaha perkebunan kelapa sawit di atas lahan HGU PT BBS yang telah ditelantarkan sejak 1997.

"Kami tanyakan kepada penyidik, karena ini hukum pidana ada yang merasa dirugikan, ada yang melapor. Kalau PT DDP yang melaporkan mereka harus menunjukkan legalitasnya," kata Saman Lating, saat memberi keterangan di Polres Mukomuko, pada Jumat malam (3/6/2022) seperti dikutip dari Antaranews

Darmin menyatakan panggilan polisi berulang terhadap dirinya menunjukkan tidak ada niat baik dari berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya dan ratusan petani lainnya di atas bekas HGU PT.BBS. 

“Perlu saya tegaskan, sejak tahun 2014 pihak perusahaan telah menyatakan bahwa lahan yang saya garap dan kuasai tersebut tidak boleh digarap oleh perusahaan PT DDP,” kata Darmin saat memenuhi panggilan di Polres Mukomuko, Jumat.

Sementara Suharto menyatakan tanah yang digarapnya adalah tanah yang tidak produktif karena ditelantarkan oleh perusahaan yang telah mendapatkan izin berupa HGU. Penelantaran lahan adalah perbuatan yang merugikan negara dan seharusnya negara melakukan evaluasi dan mencabut HGU yang sudah terlantar tersebut.

“Saya merawat lahan tersebut karena tidak ada yang merawat dan selama saya merawat tidak ada pihak yang berkeberatan. Sampai dengan adanya pengakuan secara sepihak oleh PT DDP,” kata Suharto.

Lating mengatakan pihaknya sempat berdebat dengan penyidik Kepolisian Resor Mukomuko terkait konflik pengusahaan lahan HGU PT BBS. Polisi hanya menyebutkan ada akta jual beli dari PT BBS ke DDP.

"Yang kami pertanyakan akta jual beli itu terkait apa saja karena syarat melaksanakan aktivitas perkebunan harus ada izin prinsip, izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan HGU, tetapi mereka tidak bisa menunjukkan, kita harus tahu legalitas itu," ujarnya.

Ia menyatakan, polisi memiliki hak menerima laporan dari siapa saja, tetapi mereka juga harus melihat yang melapor ini pemilik sah atau tidak.

Menurutnya penyidik polisi harus mengetahui terlebih dahulu legalitas PT DDP sebelum melakukan proses hukum. Jangan-jangan, kata dia, justru pihak perusahaan yang menyerobot lahan masyarakat.

"Kalau DDP menanam sawit tahun sekitar tahun 2008-2009, sementara mereka melakukan transaksi jual beli diatas 2010 berarti mereka menanam sawit di lahan yang bukan milik mereka," ujarnya.

Lebih lanjut, ia mendorong penyidik Kepolisian Resor Mukomuko untuk lebih profesional menangani masalah konflik lahan antara petani dan perusahaan perkebunan itu.

Pada 20 Mei lalu, polisi menangkap sekitar 40 petani Kecamatan Malin Deman yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS). Penangkapan ini menjadi perhatian karena polisi memaksa mereka telanjang dada dan jalan sambil jongkok. 

Penangkapan ini diselesaikan setelah Mabes Polri, Ketua DPRD Mukomuko Ali Saftaini, dan pihak perusahaan bertemu. Petani tersebut dibebaskan dengan proses keadilan restoratif pada 24 Mei. 

  

SHARE