16 Tahun Tragedi Lapindo, Aktivis Sebut Pemerintah Masih Abai
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Senin, 30 Mei 2022
Editor :
BETAHITA.ID - Minggu (29/5/2022) kemarin, 16 tahun lalu, semburan lumpur Lapindo melenyapkan rumah-rumah warga, sekolah, masjid, dan lahan garapan yang tersebar di 12 Desa di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sebagiannya memutuskan bertahan, meski penuh risiko.
Selama 16 tahun, derita berkepanjangan yang dialami warga korban itu tak terurus, warga dibiarkan menderita. Lahan pertanian, sumur-sumur air, udara, air sungai, ekosistem laut, tercemar berat, semuanya berimplikasi pada kehidupan ekonomi, sosial, dan kesehatan warga.
Air sumur yang sebelumnya digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga di sekitar lokasi semburan lumpur Lapindo, kini tidak lagi dapat digunakan. Air berbau karat, berwarna keruh coklat-kekuningan, dan asin. Untuk minum dan memasak, warga terpaksa membeli air bersih dalam kemasan jerigen, dengan harga Rp2.500 per 25 liter.
Data tiga puskesmas--Porong, Tanggulangin, dan Jabon--menunjukkan tingginya jumlah pasien penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di Porong terdapat 3.144 pasien, di Jabon sebanyak 3.623, dan di Tanggulangin selama 2020, jumlahnya mencapai 28.713 pasien.
Warga juga mengaku jika semakin banyak anak yang terdeteksi mengalami gangguan pertumbuhan (stunting). Warga menduga gangguan itu ada kaitannya dengan kondisi lingkungan, khususnya udara dan air yang kian memburuk.
Seperti yang dialami Harwati, salah seorang warga Porong korban bencana lumpur Lapindo. Harwati bilang, sejak 2006 dirinya dan keluarga sering mengalami masalah kesehatan. Bahkan sang suami meninggal dunia, akibat tak mampu membayar biaya yang besar untuk pengobatan. Pernyataan pihak PT Lapindo yang menyebut akan menanggung biaya pengobatan warga yang sakit secara penuh, disebut Harwati hanyalah omong kosong.
"Itu penyakit yang ada di tubuh kita, setiap harinya setiap bulannya pasti terjadi di tubuh kita, karena lingkungan yang kita sudah kita tempati ini sudah tidak sehat. Terutama bau lumpur lapindo itu, asap itu, kalau tidak terbiasa atau perut kosong, ini sudah pusing, mual dan sesak nafas gitu. Kita ini dianggap seperti kelinci percobaan di lumpur lapindo ini," kata Harwati, warga Porong, dalam konferensi pers peringatan 16 Tahun Tragedi Lapindo yang disiarkan via You Tube, Minggu (29/5/2022).
Harwati memandang, nyaris tak ada wujud nyata kehadiran pemerintah yang dirasakan warga Porong korban bencana lumpur Lapindo, terutama dalam hal berbaikan kesejahteraan para korban. Karena menurut Harwati, tidak ada perbaikan ekonomi yang terjadi pascatragedi lumpur lapindo. Yang terjadi justru warga korban harus pontang-panting pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kondisi ekonomi yang turun drastis.
"Dan harus memulai segalanya dari nol. Apalagi anak-anak sekolah yang tadinya cukup berjalan kaki, karena sekolahnya dekat, sekarang harus naik angkot atau di antar oleh orang tua atau harus dijemput. Itu apakah pernah terpikirkan oleh orang-orang yang merusak tanah kelahiran kita?"
Tidak hanya persoalan kesehatan dan ekonomi, Harwati mengaku dirinya juga mengalami permasalahan administrasi kependudukan. Selama belasan tahun Nomor Induk Kependudukannya (NIK) dan itu berdampak pada hak-hak dirinya sebagai warga negara Indonesia. Kasus ini juga terjadi pada warga Porong lainnya.
Bambang Catur Nusantara dari Pos Koordinasi Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (PoskoKKLuLa) mengatakan, semburan lumpur sejak 2006 lalu itu, juga telah menyebabkan pencemaran logam berat seperti timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Selenium (Se) pada lahan-lahan pertanian maupun tambak ikan sekitar lumpur Lapindo. Kandungan logam berat pada lahan pertanian telah melebihi baku mutu nilai ambang batas, yakni, Pb 0.157–7.156 ppm, Cd 0.024–2.360 ppm, Se 0.081–7.841 ppm.
Kandungan logam berat hasil pertanian juga di atas baku mutu ambang batas (Pb 0,305–1,611 ppm, Cd 0,034–0,086 ppm, Se0,066–1,086 ppm). Kandungan logam berat itu menyebabkan produk pertanian tidak aman dikonsumsi dan produktivitasnya menurun.
"Kawan-kawan yang ada di tanggul, yang sudah meninggal itu. Patut diduga sebenarnya karena intensitas yang sangat tinggi pada wilayah yang memang memiliki risiko tinggi pada udaranya. Kita memeriksa H2S di sekitar wilayah itu dan memang sangat tinggi. Lalu juga ada Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH)," kata Catur dalam konferensi pers dimaksud.
Tak hanya itu, perairan Selat Madura juga terindikasi mengalami pencemaran akibat lumpur-lumpur yang mengalir ke Kali Porong. Logam-logam berat yang terkandung dalam lumpur ikut terbawa arus dan menyebar ke muara sungai di sisi timur yang terhubung dengan Selat Madura. Hasil perikanan pun tak laik konsumsi karena kandungan logam cukup tinggi, seperti kadmium, timbal dan selenium.
Tragedi Lapindo yang sejak awal kemunculan menyemburkan 180.000 meter kubik lumpur itu, juga menyumbang emisi gas metan terbesar di muka bumi. Penelitian dari Adriano Mazzini dkk., menyebutkan, lumpur Lapindo menyebabkan emisi gas metan terbesar yang pernah tercatat dari satu manifestasi gas alam. Hal itu dipengaruhi tekanan fluida dari batuan sedimen bersuhu tinggi sebagai konsekuensi keberadaan gunung api magmatik di sekitar.
Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2) dalam periode 100 tahun. Gas ini banyak terlepas ke atmosfer oleh sumber alami dan antropogenik.
Sekitar 30 persen metan dari fosil, seperti batu bara dan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 100-145 juta ton per tahun. Emisi gas metan tinggi dari situs Lapindo dipastikan berdampak terhadap lapisan ozon di atmosfer, pada akhirnya memperparah krisis iklim.
Kini, derita berkepanjangan warga selama 16 tahun itu, alih-alih dipulihkan, pemerintah justru tengah mengincar rare earth dan lithium yang terkandung dalam lumpur Lapindo. Langkah ini, akan memperparah derita warga, sekaligus menunjukkan betapa pengurus negara hari ini begitu tamak, tidak peduli dengan keselamatan warganya sendiri.
F. Trijambore Christanto dari Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, bencana lumpur Lapindo itu terjadi sedemikian buruk akibat obral perizinan atau liberalisasasi perizinan yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta risiko terhadap masyarakat.
Itu tampak dari lokasi pengeboran yang berada dekat sekali dengan pemukiman masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari sumur-sumur PT Lapindo Brantas yang bertebaran di desa-desa padat penduduk di wilayah pengeboran PT Lapindo Brantas di blok Brantas, yang membentang Jombang sampai selat Madura.
"UU Minerba sejak semua perizinan menjadi kewenangan pemerintah pusat, itu menyebabkan kemudian tata kelola di daerah itu menjadi tidak diperhitungkan. Pemberian izin tidak tajam melihat daya dukung dan daya tampung dan risiko yang dihadapi masyarakat. Pemerintah pusat tidak memahami, apa yang sedang dihadapi masyarakatnya," kata Rere.
Ki Bagus dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pemerintah tak pernah belajar dari bencana lumpur Lapindo. Karena 3 tahun setelah kejadian semburan lumpur, terbit UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009, walaupun ada semangat desentralisasi perizinan, namun di satu sisi pengawasan dan penegakan hukumnya sama sekali tidak kuat.
Ini yang menjadi potret bahwa pemerintah tidak belajar dari semburan lumpur Lapindo. Pascaterbitnya UU Minerba 4 Tahun 2009 itu, ada lonjakan penerbitan perizinan tambang besar-besaran. Alih-alih belajar dari bagaimana kerusakan lingkungan akibat tambang di wilayah padat huni, pemerintah malah melakukan obral perizinan tambang.
"Sebelumnya hanya ada 4 ribuan izin tambang di seluruh Indonesia, kemudian meningkat dari 2009 sampai ke 2013, hampir 12 ribu izin tambang di seluruh Indonesia. Hampir 300 persen lonajakan izin tambang yang dilahirkan akibat UU Nomor 4 Tahun 2009," kata Ki Bagus.
Permasalahan tak henti di situ. Pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang isinya mengizinkan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi tambang energi panas bumi di dalam kawasan konservasi dan fungsi lindung. Akibatnya beberapa kawasan konservasi dan lindung dilepaskan untuk kegiatan tambang.
"Dan akhirnya bisa kita lihat hasilnya di Sorik Marapi, semburan lumpur yang terjadi akibat eksporasi tambang panas bumi. Kemudian di Mataloko, di Ulumbu, masyarakat harus setiap hari menghirup udara yang tercemar oleh gas yang keluar dari proyek panas bumi," urai Bagus.
SHARE