Skema 30x30: Ilusi Konservasi dan Ancaman Perampasan Wilayah Adat
Penulis : Andre Barahamin*
OPINI
Jumat, 03 Juni 2022
Editor :
BETAHITA.ID - Saat mayoritas masyarakat adat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, masih memperjuangkan pengakuan dan haknya, bencana lain justru sedang mengintai. Katastrofi ini berakar dari Skema 30x30, diusulkan oleh organisasi non-pemerintah di sektor konservasi seperti World Wildlife Fund (WWF) dan Conservation International (CI). Gagasan ini menargetkan 30% dari daratan dan lautan di Bumi menjadi kawasan lindung pada 2030.
Rancangan tersebut sudah mulai dinegosiasikan di Jenewa pada 14 Maret tahun ini, dan dikenal sebagai Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global pasca-2020. Rencana ini menetapkan beberapa tujuan utama yang bersifat umum dan sekitar dua puluh target spesifik. Dalam mempromosikan Skema 30x30, para pendukungnya menyebarkan ilusi bahwa mengubah 30 persen daratan dunia menjadi kawasan lindung akan membantu mengimplementasikan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan secara signifikan dapat membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Keanekaragaman Hayati PBB berikutnya yang rencananya akan diadakan di Kunming, di Cina bagian selatan dari 25 April hingga 8 Mei tahun ini, Skema 30x30 ini dapat ditetapkan secara resmi.
Ide ini disambut baik oleh perusahaan perusak lingkungan. Media arus utama juga menilai ide ini sebagai langkah strategis dan komprehensif yang dibutuhkan dunia saat ini. Asia Tenggara sendiri hanya mencakup 3% dari permukaan bumi tetapi merupakan rumah bagi tiga dari 17 negara yang memiliki tingkat keberagaman hayati tinggi di di dunia, yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Namun pertanyaannya, apakah ini benar-benar solusi radikal yang dibutuhkan umat manusia untuk mencegah kepunahan keragaman hayati atau gerbang bencana baru yang mengancam masyarakat adat?
Ilusi Puritan Konservasi dan Kolonialisme Ekologis
Argumen utama dari Skema 30x30 didasarkan pada keyakinan yang salah bahwa rencana aksi tersebut akan membantu mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan memburuknya krisis iklim. Dalam dokumen berjudul Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca-2020, diklaim bahwa “banyak proposal baru-baru ini seputar melindungi 30% atau lebih permukaan darat dan laut pada 2030, dengan kemungkinan target yang lebih tinggi ditetapkan kemudian”. Dokumen ini mencantumkan delapan referensi untuk mendukung pernyataan tersebut.
Namun, jika diperiksa dengan teliti, klaim tersebut sama sekali tidak ilmiah. Dua dari delapan makalah yang diajukan membahas tentang satwa laut dan merasionalisasi Skema 30x30. Lima studi lainnya membicarakan model konservasi daratan, sedangkan satu dokumen merupakan resolusi kongres badan konservasi internasional bernama International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Dua makalah yang paling dijadikan referensi berpijak pada ideologi “Half Earth”, yang ditulis oleh ilmuwan utama WWF Eric Dinerstein. Tokoh lain yang menyokong gagasan ini adalah ahli biologi Amerika Serikat E.O. Wilson. Keyakinan ini memandang bahwa untuk mencegah kepunahan biodiversitas dan memburuknya krisis iklim, maka separuh bumi harus dijadikan kawasan lindung.
Pandangan ini menafikan fakta antropologis bahwa alam – baik itu hutan belantara maupun samudra lepas, tidak pernah lepas dari interaksinya dengan manusia. Menyangkal fakta bahwa hutan belantara yang dianggap murni, justru berasal dari pilihan-pilihan sadar komunitas-komunitas manusia yang memutuskan untuk membatasi interaksi mereka dengan wilayah tertentu dengan berbagai alasan: spiritual, ekologis, kultural, sosial, dan ekonomi.
Keyakinan Dinerstein dan Wilson tidak lain merupakan refleksi dari mental kolonialistik yang bersemayam di alam berpikir para pemuja konservasi, yang tidak bisa lepas dari hak istimewa hasil warisan dari periode gelap merkantilisme dan imperialisme global.
Dinerstein dan Wilson serta keyakinan “Half-Earth” membicarakan pembatasan interaksi manusia dengan alam dengan landasan historis model konservasi yang diperkenalkan imigran kulit putih di Amerika Utara yang mengusir penduduk asli keluar dari wilayah adat mereka. Melalui Conservation Refugees: The Hundred-Year Confict between Global Conservation and Native Peoples, M. Dowie menjelaskan bahwa hal tersebut melahirkan para puritan yang terobsesi dengan melakukan imitasi bentuk namun melupakan esensi mendasar dari hancurnya zona-zona konservasi yang terbentuk secara alamiah di wilayah-wilayah adat di seluruh dunia dihancurkan oleh ekpansi wilayah yang dikenal dengan sebutan kolonialisme.
Seturut penegasan R.H. Grove, dalam Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island Edens and the Origins of Environmentalism yang menyimpulkan bahwa kolonialisme adalah hambatan utama dari upaya-upaya penelitian dan praktik ekologi dalam memahami dan merumuskan hubungan yang lebih positif antara manusia dan ekosistem. Grove juga menjelaskan bahwa selain kolonialisme, ekologi sebagai disiplin ilmu – dan mereka yang menyebut diri mereka sebagai ahli ekologi – juga telah dibentuk dan terpenjara oleh pendekatan Barat yang eksklusif dan anti-sejarah. Kendala historis ini membuat pendekatan konservasi jauh dari iklim yang inklusif dan menafikan keberagaman nilai spiritual, kultural, dan sosial yang dimiliki umat manusia.
Ancaman Perampasan Wilayah Adat
Bahaya utama dari irasionalitas Skema 30x30 ini adalah adanya ancaman serius dan mengerikan yang implisit mengenai potensi perampasan wilayah adat dalam skala luas di masa depan.
Dalam salah satu makalah yang ditulis oleh Dinerstein dan delapan penulis lain, yang terbit di jurnal Science Advances, diusulkan sebuah gagasan mengenai “jaring pengaman global” untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati yang tersisa. Tidak jauh dengan makalah Dinerstein sebelumnya, ide besarnya adalah menggabungkan kebutuhan mengenai konservasi keanekaragaman hayati dengan langkah-langkah untuk mencegah emisi gas rumah kaca.
Makalah ini mengidentifikasi “50% dari wilayah terestrial yang, jika dilestarikan, akan membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati lebih lanjut, mencegah emisi CO2 dari konversi lahan, dan meningkatkan penghilangan karbon alami”. Namun juga mengakui bahwa ada tumpang tindih yang signifikan antara wilayah adat dengan area yang dianggap perlu untuk membentuk “jaring pengaman global” ini. Dinerstein dan para koleganya mengakui bahwa bahwa “tumpang tindihnya begitu besar” sehingga, untuk mencapai target wilayah konservasi wilayah 30% pada tahun 2030 hanya akan efektif dengan mengintegrasikan wilayah-wilayah adat.
Problemnya adalah sikap CBD dan sebagian besar pemerintah yang menjadi anggotanya yang tidak secara resmi memasukkan kontribusi wilayah-wilayah adat terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Sikap tersebut tidak lepas dari basis pemikiran yang dominan di dalam tubuh CBD yang mengartikan “konservasi” dan “kawasan lindung” sebagai sesuatu yang meski disahkan oleh pemerintah dan mesti secara spesifik dikelola untuk mencapai target konservasi jangka panjang.
Meskipun Dinerstein sendiri dalam makalahnya mengakui bahwa target Skema 30x30 sendiri sejatinya telah tercapai jika ikut mengintegrasikan kontribusi dari konservasi tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di wilayah-wilayah adat.
Keengganan CBD dan negara-negara anggotanya mengakui kontribusi masyarakat adat sangat jelas tidak lepas dari kenyataan bahwa wilayah-wilayah adat merupakan incaran serius dari ekspansi perusahaan-perusahaan global – yang bertanggungjawab atas memburuknya krisis iklim, meningkatnya kekerasan terhadap masyarakat adat, dan konflik tenurial.
Perusahaan pencemar lingkungan seperti Unilever, Danone dan Amazon, misalnya, merepresentasikan kubu yang begitu bersemangat dengan ide Skema 30x30. Pasalnya, rencana aksi ini membuka peluang untuk melakukan subtitusi melalui model perdagangan karbon sebagai kompensasi langsung atas kontribusinya dalam emisi gas rumah kaca.
Pendekatan Hak Masyarakat Adat Sebagai Solusi
Laporan terbaru dari Rights and Resources Initiative (RRI) menunjukkan bahwa proposal untuk mengubah 30% bumi menjadi kawasan lindung dengan pendekatan konservasi merupakan berpotensi pelanggaran serius hak asasi manusia. Tanpa pemahaman nilai dan praktik tradisional masyarakat adat, upaya ini hanya akan menghambat berkembangnya konservasi yang dilandaskan pada kearifkan lokal.
Belum lagi menyoal bagaimana ketimpangan kekuasaan yang bersumber dari situasi di mana pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih lemah atau bahkan diabaikan. Dus, skema ini hanya akan melahirkan lebih banyak konflik, dan berdampak pada lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa tingkat deforestasi jauh lebih rendah di wilayah adat. Di samping itu, masyarakat adat juga merupakan garda terdepan yang menjaga 80% dari total keanekaragaman hayati dunia dan selama bergenerasi melindungi daerah-daerah ini, yang membuat wilayah-wilayah adat menjadi lokasi-lokasi strategis cadangan karbon yang sangat besar.
Kontribusi masyarakat adat mempertahankan hutan yang tersisa tidak dapat disangkal. Namun, wilayah adatnya justru paling rentan. Menurut laporan RRI, hingga saat ini hanya 8,7% wilayah yang dikuasai oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang diakui secara hukum.
Melihat fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa Skema 30x30 itu salah. Pasalnya, gagasan ini seringkali memandang tanah hanya sebagai “alam”, ketimbang lanskap yang hidup dan dikelola di mana manusia bagian fondasinya. Belum lagi menyoal bagaimana proses penentuan lokasi kawasan lindung lebih sering dilakukan tanpa kesepakatan yang adil dengan komunitas masyarakat adat.
Model pengelolaan eksklusif oleh organisasi konservasi terbukti lebih sering mengecualikan atau membatasi aktivitas manusia, termasuk segala sesuatu yang dilakukan masyarakat adat seperti berburu, bercocok tanam, meramu dan memancing. Kegiatan ritual yang penting seperti penguburan dan ibadah keagamaan yang berlokasi di dalam kawasan lindung juga dilarang atau dibatasi atas nama purifikasi.
Para penjaga hutan yang didanai oleh LSM konservasi seperti WWF misalnya, secara sepihak melucuti akses masyarakat adat terhadap wilayah adat mereka dan dalam banyak kasus, melakukan kekejaman terhadap mereka yang menolak pembatasan tersebut. Akibatnya, konservasi justru tidak menjadi solusi namun menjadi masalah tambahan bagi masyarakat adat yang masih berjuang mendapatkan pengakuan atas hak dan wilayah adatnya.
Membangun lebih banyak kawasan lindung demi konservasi sejatinya juga merupakan ilusi bahwa kita sedang melakukan sesuatu untuk melindungi bumi. Sebuah studi terhadap 12.000 kawasan konservasi di 152 negara menunjukkan bahwa inisiatif yang dipimpin oleh masyarakat adat jauh lebih efektif daripada program yang dijalankan oleh pemain eksternal, termasuk pemerintah daerah, LSM, dan atau perusahaan. Ide seperti Skema 30x30 juga mengaburkan akar penyebab krisis iklim: konsumsi berlebihan. Dalam dua dekade terakhir, 100 perusahaan pencemar lingkungan merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dan penyebab 71% emisi iklim secara global.
Datanya jelas: mengakui wilayah adat dan keberadaan komunitas masyarakat adat justru jauh lebih murah dan mudah dilakukan. Pendekatan konservasi berbasis hak masyarakat adat seperti yang diusulkan dalam laporan RRI, akan mengakui model pengelolaan yang berkelanjutan yang telah lebih dulu eksis di komunitas-komunitas adat. Pendekatan ini juga memberi ruang bagi masyarakat adat untuk memimpin upaya konservasi, dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi.
*Antropolog, anggota Komunitas Adat Ginimbale – Watunapatto, dan Senior Forest Campaigner di Kaoem Telapak
SHARE