Negara Kaya Harus Setop Produksi Minyak dan Gas Pada 2034

Penulis : Kennial Laia

Energi

Jumat, 25 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Krisis iklim saat ini disebabkan oleh emisi dari pembakaran energi fosil. Salah satu solusinya adalah transisi ke energi bersih dan terbarukan di seluruh dunia.

Studi terbaru menyatakan bahwa untuk mencapai transisi yang adil, negara kaya harus menyetop semua produksi minyak dan gas selama 12 tahun ke depan. Sementara itu negara termiskin harus diberikan tenggang waktu selama 28 tahun.

Studi tersebut, dipimpin oleh Prof Kevin Anderson dari Tyndall Centre for Climate Change Research di Manchester University, Inggris, menemukan bahwa negara kaya seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia memiliki waktu hingga 2034 untuk menghentikan semua produksi minyak dan gasnya. Ini akan memberi dunia 50% peluang untuk mencegah kerusakan iklim yang katastrofik.

Sementara itu negara-negara termiskin yang juga sangat bergantung pada bahan bakar fosil harus diberikan waktu hingga 2050.  

Studi terbaru mengungkap bahwa Indonesia adalah salah satu negara berkapasitas ekonomi rendah yang harus diberi waktu untuk mengakhiri produksi minyak dan gas pada 2045, dengan pengurangan 18% pada 2030. Foto: Greenpeace Indonesia

Anderson mengatakan bahwa saat ini harus ada pergeseran cepat dari “ekonomi bahan bakar fosil”. Caranya juga harus adil dan merata.

“Ada perbedaan besar dalam kemampuan negara untuk mengakhiri produksi minyak dan gas, sambil mempertahankan ekonomi yang dinamis dan memberikan transisi yang adil bagi warganya,” kata Anderson, dikutip The Guardian, Selasa, 22 Maret 2022.

Laporan tersebut mengkaji kekayaan masing-masing negara dan seberapa bergantung ekonominya pada produksi bahan bakar fosil. Ditemukan bahwa banyak negara miskin akan dilumpuhkan secara ekonomi dan politik oleh perpindahan cepat dari minyak dan gas, sementara negara-negara kaya mampu mengakhiri produksi bahan bakar fosil dan  tetap relatif makmur.

Sebagai contoh, ditemukan bahwa pendapatan minyak dan gas menyumbang 8% terhadap produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat. Namun tanpanya, PDB per kapita negara tersebut masih akan mencapai $60.000 Rp 861 juta) – tertinggi kedua secara global.

Sementara itu, negara-negara seperti Sudan Selatan, Republik Kongo dan Gabon, meskipun merupakan produsen kecil minyak dan gas, memiliki sedikit pendapatan ekonomi lainnya dan akan hancur oleh transformasi energi yang cepat.

Christiana Figueres, mantan kepala iklim PBB yang mengawasi KTT Paris 2015, menyambut baik temuan tersebut.

“Studi baru ini adalah pengingat bahwa semua negara harus menghentikan produksi minyak dan gas secara bertahap dengan cepat. Negara-negara kaya menjadi yang tercepat. Dan juga harus dipastikan transisi yang adil bagi pekerja dan masyarakat yang bergantung padanya.”

Temuan laporan tersebut terbit di tengah fokus baru pada keadilan iklim di antara kelompok masyarakat sipil dan negara-negara di selatan global – khususnya pada konferensi COP26 tahun lalu di Glasgow.

Namun Anderson memperingatkan banyak negara kaya yang hanya "janji di bibir" terkait gagasan tersebut. “Saya tidak melihat adanya rasa keadilan yang dianggap serius oleh para pembuat kebijakan di bagian dunia yang kaya,” katanya.

Studi tersebut, yang ditugaskan oleh International Institute for Sustainable Development, menghitung seberapa banyak produksi minyak dan gas di masa depan yang konsisten dengan target iklim Paris sebesar 1,5 derajat Celcius – dan dampaknya ini bagi 88 negara yang bertanggung jawab atas 99,97% pasokan global minyak dan gas.

Ditemukan bahwa agar peluang 50% membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C berhasil, maka:

  • 19 negara “berkapasitas tertinggi”, dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita lebih dari $50.000 (Rp 718 juta) harus mengakhiri produksi pada tahun 2034, dengan pemotongan sebesar 74% pada 2030. Kelompok ini menghasilkan 35% minyak dan gas global. Daftarnya termasuk Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Kanada, Australia, dan Uni Emirat Arab.
  • 14 negara “berkapasitas tinggi”, dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita hampir $28.000 (Rp 402 juta), harus mengakhiri produksi pada tahun 2039, dengan pengurangan 43% pada 2030. Mereka menghasilkan 30% minyak dan gas global, termasuk Arab Saudi, Kuwait, dan Kazakstan. 14,358
  • 11 negara “berkapasitas menengah”, dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita sebesar $17.000 (Rp 244 juta), harus mengakhiri produksi pada 2043, dengan pengurangan 28% pada 2030. Mereka menghasilkan 11% minyak dan gas global, termasuk termasuk China, Brasil, dan Meksiko.
  • 19 negara “berkapasitas rendah” dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita $10.000 (Rp 143,5 juta), harus mengakhiri produksi pada 2045, dengan pengurangan 18% pada 2030. Mereka memproduksi 13% minyak dan gas global, termasuk Indonesia, Iran, dan Mesir.
  • 25 negara “berkapasitas terendah”, dengan rata-rata PDB non-minyak per kapita $3.600 (Rp 51,6 juta), harus mengakhiri produksi pada 2050 dengan pengurangan 14% pada 2030. Mereka memproduksi 11% minyak dan gas global, termasuk Irak, Libya, Angola, dan Sudan Selatan.

Studi tersebut menemukan, bahkan dengan skala waktu ini, negara-negara miskin akan membutuhkan dukungan keuangan untuk melakukan transisi jika mereka ingin menghindari pergolakan ekonomi dan politik yang besar.

Lidy Nacpil, juru kampanye keadilan iklim dan koordinator Asian Peoples’ Movement on Debt and Development, mengatakan: “Penghapusan minyak dan gas yang cepat, adil dan merata masih dimungkinkan, dengan kerangka waktu yang disarankan dalam laporan ini, selama negara-negara kaya memberikan dukungan finansial, teknis, dan politik yang substansial, dan membatalkan utang.”

 

The Guardian

SHARE