Angka Hutan Alam Tersisa di Areal Izin Kehutanan yang Dicabut
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Senin, 21 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Awal Januari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pencabutan ribuan izin pertambangan, kehutanan dan Hak Guna Usaha (HGU). Khusus sektor kehutanan, jumlah izin konsesi kehutanan yang dicabut sebanyak 192 izin, dengan total luas areal sekitar 3.126.439 hektare. Izin-izin ini dicabut lantaran pemegang izin tidak aktif dan tidak membuat rencana kerja, serta lahan ditelantarkan.
"Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan, kita cabut," kata Presiden Joko Widodo dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Bogor.
Sejalan dengan pengumuman pencabutan izin tersebut, beredar pula Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. SK tersebut ditetapkan pada 5 Januari 2022, sehari sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan izin.
Izin konsesi kawasan hutan yang menjadi obyek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan ini meliputi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA--merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami, PBPH Tanaman Budidaya atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) atau Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak atau Izin Pengusahaan Pariwisata Alam.
Dalam Surat Keputusan (SK) itu MenLHK Siti Nurbaya memerintahkan Direktur Jenderal, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan, dan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, untuk atas nama Menteri meneribitkan Keputusan tentang Pencabutan Izin setiap Perusahaan Pemegang Izin, serta menyusun dan menetapkan peta arahan pemanfaatan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat Keputusan (SK) MenLHK tersebut memuat tiga lampiran. Yang pertama berisi Daftar SK Izin Konsesi Kawasan Hutan Dicabut Selama Periode September 2015 sampai dengan Juni 2021. Pada lampiran pertama ini ada 42 SK izin konsesi yang dicabut dengan total luas areal sekitar 812.796,93 hektare. Izin-izin yang dicabut ini berada di 15 wilayah provinsi.
Lampiran kedua berisi Daftar Perizinan/Perusahaan Konsesi Kehutanan yang Dilakukan Pencabutan. Dalam daftar ini ada 192 nomor SK izin konsesi kehutanan dengan total luas sekitar 3.126.439,36 hektare. 192 izin yang dicabut itu berada di 24 wilayah provinsi.
Sedangkan lampiran ketiga, berisi tentang Daftar Perizinan/Perusahaan Konsesi Kehutanan untuk Dilakukan Evaluasi. Daftar ini memuat 106 izin yang dievaluasi. Total luas areal izin yang dievaluasi seluas 1.369.567,55 hektare, yang berada di 20 wilayah provinsi.
Areal konsesi kehutanan yang izin-izin yang dicabut itu tidak seluruhnya termanfaatkan. Masih ada sebagian areal yang masih berupa hutan alam yang masih baik dan luas.
Berdasarkan analisis tutupan hutan alam dan gambut yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara, setidaknya ada 1.778.582,637 hektare hutan alam dan 386.734,59 hektare gambut yang berada di areal izin-izin konsesi kawasan hutan yang dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu--pada periode September 2015-Juni 2021 dan 5 Januari 2022.
Bila dirinci 28.958,42 hektare tutupan hutan alam berada di 12 areal izin dari 42 izin yang dicabut pada periode September 2015-Juni 2021. 12 areal izin itu berada di 6 wilayah provinsi. Terluas berada di Provinsi Sulawesi Barat 15.725,2 hektare, Provinsi Riau 4.796,91 hektare dan Provinsi Sulawesi Tenggara 4.544,49 hektare.
Selain hutan alam, 3 areal izin dari 42 izin juga terindikasi memiliki gambut seluas 27.983,22 hektare. 3 areal izin bergambut ini seluruhnya berada di Provinsi Riau.
Kemudian sekitar 1.749.624,213 hektare tutupan hutan alam lainnya berada di 144 areal izin dari 192 izin yang dicabut pada 5 Januari 2022 lalu. Tutupan hutan alam itu berada di 21 wilayah provinsi.
Data menyebutkan, tutupan hutan alam terluas di areal izin yang dicabut pada 5 Januari 2022, berada di Provinsi Papua dengan luas mencapai 672.231,84 hektare. Disusul Provinsi Papua Barat seluas 418.069,92 hektare dan Provinsi Aceh 148.597,79 hektare.
Dari 192 izin yang dicabut awal 2022 itu, 50 areal izin di antaranya bergambut. Total luasnya sekitar 358.751,37 hektare terletak di 11 wilayah provinsi.
Areal gambut terluas di areal izin yang dicabut 5 Januari 2022 ini, juga terindikasi berada di Provinsi Papua luasnya sekitar 164.562,71 hektare. Selanjutnya Provinsi Papua Barat 83.588,98 hektare dan Provinsi Kalimantan Tengah seluas 47.768.20 hektare.
Bukan hanya di areal izin yang dicabut saja. Hutan alam juga teridentifikasi berada pada 67 areal izin yang dievaluasi oleh KLHK, yang berada di 17 wilayah provinsi. Totalnya tutupan hutan alam ini sekitar 641.796,12 hektare.
Tutupan hutan alam terluas terdapat di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 149.826,55 hektare, diikuti Provinsi Kalimantan Barat seluas 135.752,98 hektare dan Provinsi Papua dengan luas 78.977,54 hektare.
Di antara 106 izin yang dievaluasi itu, 18 izin di antaranya juga terdapat gambut. Total luas gambut di areal izin tersebut sebesar 170.854,71 hektare. Gambut terluas dalam areal izin yang dievaluasi ini berada di Provinsi Riau seluas 72.773,33 hektare, Provinsi Papua 20.742,67 hektare dan Provinsi Aceh seluas 19.018,41 hektare.
Bila dijumlahkan, luas hutan alam yang berada di areal izin yang dicabut (periode September 2015-Juni 2021 dan 5 Januari 2022) dan izin dievaluasi luasnya mencapai sekitar 2.420.378,75 hektare, berada di 23 wilayah provinsi. Sebagian besar hutan alam itu berada di wilayah provinsi kaya hutan alam di Indonesia, seperti Papua, Papua Barat, Kalimantan Timur, Maluku Utara, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan.
Sedangkan luas areal gambut di areal izin yang dicabut dan dievaluasi, totalnya mencapai 557.589,31 hektare berada di 12 wilayah provinsi, seperti Papua, Riau, Papua Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Menurut hitungan Auriga Nusantara, luas tutupan hutan alam di Indonesia saat ini kurang lebih 88 juta hektare. Dari angka tersebut, 80 persennya berada di 10 provinsi kaya-hutan, seperti Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, dan Maluku Utara.
Hutan alam terluas berada di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat), angkanya mencapai 33,84 juta hektare. Kemudian sejumlah provinsi di Pulau Borneo, yakni seluas 7,27 juta hektare berada di Kalimantan Tengah, 6,49 juta hektare di Kalimantan Timur, 5,66 juta hektare di Kalimantan Utara, dan 5,51 juta hektare di Kalimantan Barat.
Selanjutnya, Kepulauan Maluku (Maluku dan Maluku Utara) memiliki tutupan hutan seluas 4,98 juta hektare dan Sulawesi Tengah 3,80 juta hektare. Di sebelah barat, tepatnya Nangroe Aceh Darussalam, kanopi hutannya mencapai 3,06 juta hektare.
Peneliti Auriga Nusantara, Adhitya Adhyaksa mengatakan, poligon izin yang dicabut yang digunakan dalam analisis data tutupan hutan alam dan gambut ini didapatkan dengan mencocokkan nama, jenis izin, nomor SK, lokasi dan luasan, antara daftar izin yang dicabut dengan data Webgis KLHK Tahun 2022 dan arsip data Auriga 2018-2021.
Selain itu, pengecekan data dalam SK yang dicabut--termasuk verifikasi jenis izin yang dicabut--juga dilakukan melalui data yang tersedia pada serial Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2018-2020. Poligon izin dicabut yang teridentifikasi itu kemudian di-overlay atau ditumpangsusunkan dengan tutupan lahan KLHK Tahun 2020 dan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Tahun 2017.
"Data yang ditampilkan adalah data yang ditemukan dalam Webgis KLHK dan arsip data milik Auriga. Ada beberapa areal izin yang tidak kita miliki atau dapatkan poligonnya. Sehingga untuk beberapa areal izin itu tidak dapat kita ketahui, apakah ada tutupan hutan alam ataupun gambutnya," kata Adhit, Jumat (18/2/2022).
Tampak dari ketinggian areal hutan alam yang dibabat oleh PT Tunas Sawa Erma untuk perkebunan sawit. Izin persetujuan pelepasan kawasan hutan perusahaan tersebut termasuk dalam izin konsesi kehutanan yang dicabut oleh Menteri LHK pada 5 Januari 2022 lalu./Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace
Direktur Kehutanan Yayasan Auriga, Supintri menambahkan, langkah pemerintah melakukan evaluasi yang kemudian dilanjutkan dengan pencabutan terhadap ratusan izin konsesi kehutanan Januari lalu itu setidaknya patut diapresiasi. Apalagi ternyata di areal izin-izin yang dicabut itu tutupan hutan alam dan gambutnya cukup luas dan layak diselamatkan.
Berdasarkan hasil analisis tutupan hutan alam dan gambut di areal izin-izin yang dicabut, menunjukkan ada sekitar 1,7 juta hektare tutupan hutan alam dan sekitar 386 ribu hektare lahan gambut berada dalam konsesi yang dicabut.
"Menurut kami momen ini bisa menjadi jalan untuk melindungi hutan alam tersisa, apalagi kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung dan konservasi di beberapa tempat telah banyak mengalami kerusakan, bahkan ada yang tidak layak lagi disebut hutan," kata Supin, Jumat (18/2/2022).
Pencabutan izin dan mempertahankan hutan alam tersisa di areal izin dicabut dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat, bahkan dunia internasional, bahwa Pemerintah Indonesia mengimplementasikan komitmennya terutama terkait perlindungan hutan, dan upaya mengurangi deforestasi.
Supin bilang, di beberapa tempat, tentu dengan kajian yang komprehensif seperti melihat keanekaragaman hayati yang ada, kelerengan dan curah hujan, areal hutan alam tersisa di bekas izin ini justru dapat ditingkatkan fungsinya menjadi kawasan hutan dengan fungsi lindung atau konservasi.
Pencabutan izin ini telah menjadi harapan, dan sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo saat membahas kelanjutan kerja sama penurunan emisi GRK Indonesia-Norwegia dan kebijakan instrumen nilai ekonomi karbon, pada Juli 2020 yang lalu.
Yang mana kehutanan dijanjikan akan menjadi sektor utama yang berkontribusi menurunkan emisi karbon. Jika eks-areal izin ini kemudian diberikan kembali untuk menjadi areal eksploitasi yang baru, maka ke depan akan terjadi deforestasi 1,7 juta hektare hutan di Indonesia, dan akan terjadi kerusakan 386 ribu hektare lahan gambut.
"Yang artinya Pemerintah Indonesia berpotensi akan gagal memenuhi komitmennya dan gagal pula menurunkan angka deforestasi," kata Supin.
Habitat Satwa Dilindungi dalam Areal Izin Kehutanan yang Dicabut dan Dievaluasi
Induk orangutan bersama anaknya di Taman Nasional Tanjung Puting./Foto: Betahita/Raden Ariyo
Adhit menambahkan, hasil analisis spasial juga menunjukkan bahwa sebagian areal izin yang dicabut mengalami tumpang tindih dengan habitat satwa dilindingi. Terutama habitat satwa endemik Indonesia seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).
Jumlah areal izin konsesi kehutanan yang dicabut dan dievaluasi yang tumpang tindih dengan habitat harimau sumatera ada 22 areal izin, dengan total luas mencapai sekitar 237.278,33 hektare. Dari luasan tersebut 156.365,21 hektare bertutupan hutan alam.
Areal izin yang dicabut dan dievaluasi yang tumpang tindih dengan habitat gajah, jumlahnya 12 areal izin. Total luas habitat dalam areal izin tersebut sekitar 170.447,51 hektare, dan 123.988,47 hektare dari luasan itu berupa hutan alam.
Selanjutnya, areal izin yang dicabut dan dievaluasi yang tumpang tindih dengan habitat badak, sebanyak 5 areal izin. Dengan total luas sebesar 37.008,03 hektare. Seluas 23.888,34 hektare dari luasan itu merupakan hutan alam.
Kemudian jumlah areal izin yang dicabut dan dievaluasi yang tumpang tindi dengan habitat orangutan sebanyak 75 areal izin. Bila dijumlahkan luasnya mencapai 310.690,34 hektare, sekitar 246.269,07 hektare di antaranya masih berupa hutan alam.
Apabila hutan alam yang ada areal-areal izin yang tumpang tindih dengan habitat satwa endemik itu dipertahankan, kemudian areal kawasan hutan yang sudah rusak karena beralih fungsi itu dihutankan kembali, maka itu akan menjadi sesuatu yang baik ke depannya. Setidaknya keanekaragaman hayati berpotensi pulih kembali, dan konflik satwa dan manusia akibat rebutan ruang hidup juga bisa diminimalisasi.
SHARE