Kebijakan Fiskal dan Ketimpangan

Penulis : Redaksi Betahita

Analisis

Kamis, 13 April 2017

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Ada tiga alat ukur dalam literatur ekonomi dalam mengelompokan tingkat kesejahteraan suatu negara: miskin, menengah dan kaya. Varian yang lebih luas dikembangkan oleh Bank Dunia dengan membaginya menjadi lima kategori: berpendapatan rendah, berpendapatan menengah bawah, berpendapatan menengah, berpendapatan menengah atas dan berpendapatan tinggi.

Bank Dunia mengukurnya dari rata-rata pendapatan perkapita. Mengukur kesejahteraan hanya dalam satu instrumen, yaitu rata-rata pendapatan perkapita tak dapat menunjukan riil kesejahteraan semua penduduk. Karena secara statistik, pengukuran dengan metode rata-rata (mean) sangat peka terhadap data ekstrim dan kurang representatif.

Perlu ada instrumen lain. Salah satunya adalah Indeks Gini (IG). IG mengukur tingkat distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan semakin merata (equality) jika IG mendekati nol. Sebaliknya, distribusi pendapatan semakin tidak merata (inequality) jika nilai IG mendekati satu.

Idealnya, suatu negara disebut sejahtera ketika rata-rata pendapatan perkapitanya tinggi dan IG-nya rendah. Artinya, pendapatan yang tinggi terdistribusi secara merata ke setiap penduduk.

Buruh menurunkan tandan buah sawit (TBS) dari mobil truk di Pelabuhan Rakyat Lalosalo, Desa Sei Pancang, Kecamatan Sebatik Utara, Nunukan, Kaltara, Minggu (29/3). Ribuan ton TBS setiap pekan terpaksa diekspor ke Tawau, Malaysia diangkut menggunakan kapal kayu akibat belum adanya pabrik CPO (crude palm oil) di wilayah itu./Foto: ANTARA/M Rusman.

Indonesia dalam dua dekade terakhir mengalami peningkatan pendapatan perkapita. Tahun 2000 menurut data Bank Dunia, pendapatan perkapita sebesar US$ 560, masuk kategori berpendapatan rendah.

Saat ini, pendapatan perkapita sudah meningkat menjadi US$ 3.374, masuk kategori pendapatan menengah bawah. Di saat yang sama, IG meningkat dari 0,30 menjadi 0,39. Maknanya, terjadi ketimpangan pendapatan yang semakin melebar. Dan, perekonomian hanya dinikmati segelintir orang.

Solusi fiskal

Ketimpangan telah membuat distribusi ekonomi tidak berkeadilan. Jika dibiarkan akan menyebabkan kerentanan sosial yang berimbas pada risiko konflik dan disintegrasi sosial dalam masyarakat. Yang menjadi embrio perpecahan bangsa.

Merajut keadilan ekonomi sudah menjadi kebutuhan mendesak yang tak bisa ditawar lagi. Kecepatan akselerasi pembangunan harus diimbangi dengan pemerataan distribusi. Pemerintah punya banyak instrumen untuk hal ini, salah satunya adalah instrumen fiskal.

Kewenangan pengaturan fiskal pemerintah bisa menjadi senjata pemerataan. Disisi penerimaan, instrumen pajak dapat menjadi alat ampuh pemerataan distribusi pendapatan yang selama ini mandul. Kemandulannya dapat dilihat dari rendahnya kontribusi pajak dari orang kaya di Indonesia.

Banyak orang kaya di Indonesia yang tidak membayar pajak dan menyembunyikan asetnya di negara suaka pajak. Fakta menarik adalah data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukan 8 orang terkaya di Indonesia tidak punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Disisi lain, kontribusi pajak yang dibayar buruh dan karyawan terus meningkat.

Ketidakadilan pajak ini harus diputus dengan meningkatkan kontribusi pajak dari orang kaya. Rezim pajak yang memanjakan orang kaya tak bisa diterapkan lagi. Pemerintah harus fokus mengejar pajak orang kaya dimana pun mereka menyembunyikan hartanya.

Di sisi belanja, ruang fiskal yang semakin lebar harus didistribusikan untuk mendorong pemerataan pembangunan. Bukan sekedar mengejar target pertumbuhan. Belanja infrastruktur yang besar dan tak terarah justru memberikan insentif pada ketimpangan karena hanya dinikmati oleh kelompok menengah ke atas.

Ruang belanja sosial: pendidikan, kesehatan dan kemiskinan dipenuhi mengisi pos-pos belanja yang tak ada relevansinya terhadap pemerataan distribusi pendapatan bagi penduduk miskin. Program-program belanja sosial habis untuk kegiatan rutin birokrasi. Yang terjadi adalah penduduk miskin semakin sulit mendapatkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

Reformasi fiskal secara struktural harus dilakukan pemerintah untuk merajut kembali keadilan ekonomi di tengah ketimpangan yang semakin menganga. Pemerintah tak bisa bertaruh, demi akselerasi pertumbuhan mengorbankan keadilan.

Padahal, negeri ini dibangun bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh penduduknya. Bukan justru untuk menciptakan jurang ketimpangan antara si kaya dengan si miskin.

Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Yayasan Auriga Nusantara

SHARE