Pemerintah Dianggap Kesampingkan Fakta Kriminalisasi UU Minerba
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Minggu, 09 Januari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemerintah menyebut kriminalisasi terhadap dua pemohon Judicial Review UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Minerba, Nur Aini (pemohon 3) dan Yaman (pemohon 4) tidak relevan dengan perkara yang mereka ajukan. Tim Advokasi UU Minerba pun menganggap keterangan ini menunjukkan pengabaian terjadinya kriminalisasi terhadap warga terdampak aktivitas pertambangan.
Kuasa hukum pemerintah, Ridwan Jamaluddin, menyatakan latar kasus hukum yang menjerat Nur Aini dan Yaman tak relevan jika menjadi alasan judicial review Pasal 162 UU Minerba. Menurutnya kasus yang terjadi pada Nur Aini terjadi pada Januari 2020, sedangkan perubahan Pasal 162 UU Minerba sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja baru terjadi pada Juni 2020.
Pemerintah pun berpandangan keberadaan UU Minerba tidak membuat para pemohon dirugikan, dikurangi haknya, dan terhalang-halangi dalam kegiatan sehari-harinya.
“Pemohon perkara a quo tidak dapat menunjukkan secara nyata kerugian konstitusional maupun kerugian melekat,” lanjut Ridwan, yang juga menjabat sebagai Dirjen Minerba Kementerian ESDM, pada persidangan daring Mahkamah Konstitusi Rabu (5/2/2022).
Pasal 162 UU Minerba sendiri berisi ancaman pidana bagi setiap orang yang mengganggu kegiatan pertambangan. Selama ini pasal ini telah menjadi dasar hukum polisi untuk mendudukkan warga penolak tambang sebagai tersangka. Pasal ini menjadi salah satu pasal yang diajukan dalam uji materi persidangan.
Tim Advokasi UU Minerba dari Jaringan Advokasi Tambang, Muhammad Jamil, menganggap pernyataan Ridwan ini tidak dapat dibenarkan. Pasal itu, kata dia, justru memberikan kepastian hukum untuk memidanakan masyarakat yang melawan aktivitas pertambangan.
“Rumusan pasal tersebut sangat karet pada frasa ‘setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan’. Hal ini terbukti dari jumlah kasus kriminalisasi yang terus meningkat,” kata dia.
Nur Aini, atau kerap disapa Paini, adalah warga Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi. Ia dan beberapa warga desa terlibat aksi penolakan tambang PT. Merdeka Copper Gold (MCG) di areal Gunung Salakan dengan membangun tenda penolakan di Dusun Pancer, Banyuwangi pada awal Januari 2020.
Ia mendapat surat panggilan dari Polres Banyuwangi pada pertengahan Juni 2020 sebagai saksi terlapor perkara dugaan tindak pidana merintangi dan mengganggu usaha pertambangan emas. Dasar hukum dalam surat panggilan bernomor S.PGL/329/IV/2020 Satreskrim itu adalah Pasal 162 UU Minerba.
Sedangkan Yaman adalah Nelayan Desa Matras, Sungailiat, Bangka. Ia dan sebanyak 12 nelayan lainnya juga dipanggil Direktorat Polairud Polda Babel karena dianggap merintangi dan mengganggu tambang timah kapal isap pasir Indosiam Phuket 1 dan Sor Chokedee.
Pasal ini tak hanya membahayakan warga namun juga pembela HAM. Pemidanaan menggunakan pasal ini pun terus terjadi hingga kini. Upaya kriminalisasi terbaru terjadi terhadap warga terjadi di Kabupaten Seluma, Bengkulu, sepuluh orang warga dan pendamping yang menolak tambang pasir ilegal ditangkap dan ditahan selama 24 jam oleh aparat dengan menggunakan Pasal 162 UU Minerba.
Selain soal kriminalisasi, Tim Advokasi UU Minerba juga merasa pemerintah tidak merespons secara gamblang terkait persoalan jaminan tata ruang dalam persidangan. Hal ini menguatkan bukti bahwa pengaturan terkait jaminan tata ruang tersebut bertentangan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
“Pemerintah juga tidak serius dalam merespon permohonan pengujian UU dimana dalam keterangan pemerintah yang disampaikan dalam sidang JR minerba hari ini yang tidak menguraikan dengan jelas problem pemberian jaminan tata ruang yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup,” ujar Tim Advokasi UU Minerba dari LBH Bandung, Lasma Natalia.
SHARE