Komitmen Pemerintah Kurangi Emisi Energi Masih Rendah
Penulis : Aryo Bhawono
Energi
Rabu, 22 Desember 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Komitmen pemerintah mencapai emisi nol (net zero emission) pada 2050 dianggap rendah. Hingga kini pemerintah masih mengedepankan energi fosil, terutama batu bara, untuk pemenuhan energi.
Peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR), Julius C. Adiatma, menyebutkan sejauh ini komitmen pemerintah untuk menekan emisi belum sesuai dengan Paris Agreement. Laporan ‘Indonesia Energy Transition Outlook 2022' yang disusunnya menuliskan pemerintah memang meluncurkan strategi penurunan emisi pada awal 2021, termasuk mengurangi penggunaan batu bara di sektor ketenagalistrikan.
Namun ia khawatir strategi yang dipilih pemerintah masih mengedepankan energi fosil. Alasan yang dikedepankan pemerintah adalah soal dana. Peralihan menjadi energi terbarukan dianggap membebani negara. Terbukti, ketergantungan Indonesia terhadap batu bara masih tinggi.
Hal tersebut bisa dilihat dari produksi batu bara yang kembali meningkat dibandingkan pada 2020.Produksi batu bara pada 2021 mencapai lebih dari 600 juta ton.
"Padahal kita tahu di rancangan UU Energi Nasional pemerintah menargetkan agar tidak memproduksi batu bara terlalu jor- joran, paling banyak 400 juta ton satu tahun. Tapi kenyataannya sejak itu disahkan 2017 sampai sekarang tidak pernah terjadi produksi batu bara di bawah 400 juta ton," ungkapnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Angka produksi ini memiliki kecenderungan akan meningkat setiap tahun. Hal ini bertentangan dengan tren global, yakni saat konsumsi batu bara negara lain mulai stagnan dan diperkirakan segera menurun dalam waktu dekat.
"Kalau negara ini membuat komitmen yang sesuai dengan Paris Agreement dengan net zero di 2050, 2030 konsumsi batu bara bisa turun 50 persen," imbuh Julius.
Tindak-tanduk pemerintah memperlakukan pengusaha batu bara sendiri menunjukkan bahwa mereka belum rela melepaskan ketergantungan batu bara ini. Pemerintah masih berusaha membuka demand dari batu bara melalui program hilirisasi.
Hilirisasi ini, kata dia, bukan strategi yang menguntungkan karena secara hitung-hitungan ekonomi harus diakui juga (batu bara) membutuhkan subsidi yang lebih besar.
Selain itu sepanjang beberapa tahun terakhir, termasuk 2021, investasi pembangkit energi terbarukan masih di bawah 2 Miliar Dolar AS. Angka masih jauh dibandingkan investasi pada pembangkit energi fosil. Sedangkan berdasarkan pemodelan yang ia buat, jika ingin mencapai NEZ pada 2050, kebutuhan investasi di energi terbarukan sekitar US$20 miliar per tahun.
Saat peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook 2022 yang digelar IESR pada Selasa (21/12/2021), PLN menyebutkan ada pertimbangan trilemma energi mencakup security, equity. dan environmental sustainability, sebelum melakukan peralihan energi dari fosil menuju energi terbarukan. Misalnya saja energi tenaga surya yang saat ini digadang memiliki harga kompetitif. Kelemahan tenaga surya adalah soal ketersediaan selama 24 jam.
Tim Pengendalian RUPTL PLN, Arif Sugiarto, mengungkapkan selama ini jaminan ketersediaan energi 24 jam dari EBT baru bisa dilakukan oleh pembangkit panas bumi, hidro, dan biomassa. Sedangkan Energi surya masih bergantung pada baterai, yang saat ini harganya masih mahal.
“Baterai ini masih mahal. Kita semua berharap teknologi ini dalam 5-10 tahun ke depan bisa semakin murah. Itu akan menjadi game changer,” ucap dia.
SHARE