Hari HAM Sedunia, Kasus Pejuang Lingkungan 2021 Meningkat Tajam

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

HAM

Jumat, 10 Desember 2021

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Hari ini, 10 Desember 2021, seluruh umat manusia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Sudah 73 tahun hari itu diperingati, tapi kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi. Termasuk kepada para pejuang lingkungan atau environmental defenders di Indonesia. Di 2021 ini kasus pejuang lingkungan di Indonesia jumlah meningkat tajam.

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra mengatakan, kasus-kasus hukum, intimidasi dan kekerasan yang dialami oleh para pejuang lingkungan atau environmental defenders pada 2021 meningkat tajam dari tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan Auriga, tercatat setidaknya terdapat 23 kasus terjadi di tahun ini.

"Jumlah kasus hukum terhadap environmental defenders sepanjang tahun 2021 di Indonesia sebanyak 23 kasus, jauh lebih tinggi dari tahun 2020 yang tercatat 13 kasus," kata Roni, Jumat (10/12/2021).

Peningkatan tajam kasus ini, lanjut Roni, berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah yang mendorong kemudahan investasi dan masifnya pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN). Peningkatan kasus ini, setidaknya dapat memberikan gambaran posisi pemerintah terhadap warganya, khususnya para environmental defenders.

Sekitar 29 KK masyarakat adat Pubabu di Besipae, NTT, menjadi korban penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT yang terjadi pada 18 Agustus 2020 kemarin./Foto: Walhi NTT

"Untuk menghentikan laju kasus hukum terhadap environmental defenders ini, sudah seharusnya pengambil kebijakan segera merumuskan aturan anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP)," kata Roni.

Berdasarkan catatan, kasus tertinggi terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Tengah, masing-masing 3 kasus. Dilanjutkan kasus yang terjadi di DKI Jakarta, NTT, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara dengan masing-masing 2 kasus. Sedangkan di Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, Maluku, Papua Barat, Bangka Belitung, NTB dan Kalimantan Timur masing-masing terjadi 1 kasus.

Lebih dari 50 persen kasus hukum yang dihadapi oleh environmental defenders di 2021 ini di antaranya adalah kriminalisasi, berupa penangkapan dan penahanan oleh penegak hukum dengan berbagai macam tuduhan hukum diantaranya, pengeroyokan, ujaran kebencian, menghalang-halangi, menolak perintah aparat yang berwenang, pengancaman, perusakan, dan aksi melewati jam yang ditetapkan.

Selanjutnya ada 4 kasus berupa ancaman fisik. Ancaman fisik di 2021 telah mengakibatkan 2 orang environmental defenders meninggal dunia. Mereka adalah Jurkani seorang advokat, dan Arman Damopolii anggota masyarakat adat. Satu kasus berupa teror bom molotov yang dialamatkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan 1 kasus berupa gugatan hukum yang ajukan oleh perusahaan perkebunan sawit terhadap Bupati Sorong.

Dilihat berdasarkan sektor, pertambangan masih menempati posisi tertinggi, seperti tahun-tahun sebelumnya. Di 2021, setidaknya tercatat 8 kasus, diikuti oleh sektor perkebunan dan pencemaran lingkungan dengan 4 kasus, dan kasus di sektor kehutanan dan PSN sebanyak 3 kasus, serta 1 kasus terkait dengan hak atas tanah. Menariknya di tahun 2021 ini ada sektor baru yaitu Proyek Strategis Nasional berupa pembangunan waduk dan proyek tambang untuk pembangunan waduk.

Roni menguraikan, keberadaann Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang secara nyata disebut untuk kemudahan investasi, tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat melakukan pengawasan terhadap proses investasi. Bahkan UU Cipta Kerja juga tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang melakukan upaya pembelaan terhadap lingkungan hidup, termasuk melindungi wilayah kelolanya dari gempuran investasi. Tidak hanya itu, pasal-pasal kriminalisasi bagi masyarakat pun bermunculan di dalam UU Cipta Kerja, contohnya di sektor tambang, dan panas bumi.

"Keberadaan pasal-pasal ini tentu dengan jelas akan mengancam perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh environmental defenders," kata Roni.

Saat ini, imbuh Roni, setidaknya ada 2 UU yang memberikan perlindungan terhadap para pejuang lingkungan, yaitu Pasal 66 UU PPLH dan Pasal 58 ayat (2) UU P3H. Namun keduanya tidak berjalan efektif. Buktinya setiap tahun tetap saja terjadi kasus hukum yang dialami oleh environmental defenders.

Apalagi dengan keberadaan UU Cipta Kerja yang tambah membuka ruang untuk tindakan kriminalisasi itu, jika selama ini upaya kriminalisasi menggunakan pasal-pasal yang tersebar di KUHP dan UU sektoral, seperti ITE--dengan UU Cipta Kerja--setiap demontrasi bisa dikriminalisasi karena dapat dianggap sebagai upaya menghalang-halangi.

"Jika pemerintah benar-benar ingin melindungi sengenap warga negaranya, termasuk memberikan ruang warganya untuk berpartisipasi, maka sudah seharusnya Pemerintah membentuk UU yang benar-benar memberikan perlindungan hukum, atau setidak-tidaknya ada kesepakatan bersama para aparat penegak hukum untuk tidak melanjutkan setiap laporan yang terkait dengan SLAPP."

Roni memprediksi, meningkatnya kasus-kasus environmental defenders di 2021 ini, akan membuka peluang semakin tingginya angka kasus environmental defenders di 2022. Apalagi saat ini pemerintah sedang menggalakkan pembangunan yang diberi nama proyek strategis nasional. Proyek yang bebas hambatan.

"Upaya yang perlu dilakukan saat ini adalah memperkuat posisi masyarakat, dan mendorong para pengambil kebijakan untuk segera membuat regulasi yang memberikan perlindungan hukum bagi para environmental defenders. Karena perjuangan yang dilakukan oleh para environmental defenders bukan untuk diri mereka atau menentang pembangunan, tetapi untuk memastikan bahwa generasi depan tetap bisa menikmati lingkungan yang sehat dan baik," imbuh Roni.

Masyarakat Adat adalah Pejuang HAM

“Ketika Negara abai terhadap isu HAM, yang lahir adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan dan konflik sosial yang tidak berkesudahan. Sejarah bangsa ini menunjukkan demikian,” ujar Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Jumat (10/12/2021). Delima adalah salah satu pegiat dan pendamping masyarakat adat di Kawasan Toba.

Lebih lanjut Delima mengatakan, HAM adalah sebuah keniscayaan. Pertama, tanpa HAM demokrasi hanya akan menjadi proses pembuatan keputusan bersama yang melibatkan semua orang tapi sebatas formalitas saja. Kedua, tanpa HAM pembangunan ekonomi hanya akan menjadi hiruk pikuk kemajuan dan modernitas yang hanya menguntungkan segelintir elit dan kelas dominan saja. Ketiga, tanpa HAM kehidupan bersama akan ditandai hal-hal tidak menyenangkan seperti prasangka, intoleransi, diskriminasi, sinisme, dan lain sebagainya.

"Ketiga hal itulah yang saat ini dialami oleh masyarakat adat di nusantara, termasuk di Tano Batak. Sehingga mereka berjuang melawan penindasan negara. Mereka sadar, bahwa penegakan HAM tidak jatuh dari langit. Harus diperjuangkan. Berjuang agar negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak mereka di wilayah adatnya."

Delima melanjutkan, masyarakat adat telah berjuang melakukan perombakan institusional dengan mendesak pemerintah segera menerbitkan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Seperangkat aturan dan regulasi yang dengan tegas mengakui, menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat.

Selain itu, masyarakat adat juga tidak kenal lelah berjuang ‘mengetok’ institusi Negara agar berbunyi, dan benar-benar memproduksi sistem yang mengindahkan dan bersandar pada prinsip-prinsip HAM. Jika tidak, aturan main dan sistem kelembagaan yang dengan tegas menghormati dan menegakkan HAM sekalipun dengan mudah bisa dimanipulasi penguasa, kelompok-kelompok yang kuat dan dominan dan para elit pada umumnya.

"Sebagai contoh, sudah menjadi hal yang umum dilihat di Indonesia, betapa hukum selalu sulit ditegakkan ketika berurusan dengan ‘para pemain kelas kakap’. Sebaliknya hukum tampak begitu berwibawa ketika harus menangkap dan mengadili ‘orang kecil’," kata Delima.

Hal itu dialami oleh masyarakat adat di Tano Batak, kriminalisasi dilakukan oleh PT TPL dengan dukungan Negara. Masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah adatnya dengan mudah diskriminalisasi, sementara ketika masyarakat adat yang melaporkan perusakan lahan dan tindakan kriminal yang dilakukan karyawan PT TPL, pihak kepolisian tidak meresponnya.

"Setidaknya itu yang pernah terjadi di Pandumaan-Sipituhuta, Sihaporas, Natumingka, Aek Raja dan wilayah lainnya."

Menurut Delima, masyarakat adat yang selama ini merasa tertindas dan terpinggirkan sangat menyadari bahwa HAM harus diperjuangkan. Sudah sepatutnya, masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan perlu lantang menyuarakan tuntutannya. Untuk itu perlu selalu bisa mengorganisir dirinya dari waktu ke waktu agar tidak mudah dilemahkan oleh kelompok-kelompok dominan, dan perlu menampilkan dirinya sebagai sebuah gerakan yang bisa menerjemahkan kepedulian pada perlindungan atas HAM-nya menjadi tuntutan-tuntutan yang nyata.

"Oleh karena itu, pada hari HAM ke-73 ini masyarakat adat menyampaikan pesan kepada Pak Presiden Jokowi, antara lain, menerbitkan segera undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Menepati janji yang kerap diucapkan untuk segera menerbitkan SK Hutan Adat Masyarakat Adat di Nusantara."

Kemudian menepati janji yang diucapkan di Istana Negara pada Agustus 2021 lalu kepada Tim 11 Ajak Tutup TPL, terkait penerbitan 15 SK Hutan Adat sampai Desember 2021, selain lima SK Pencadangan Hutan Adat yang sudah diberikan sebelumnya. Selanjutnya memerintahkan kepolisian untuk mengedepankan prinsip imparsial dalam penanganan konflik agraria di Tanah Batak dan menghentikan upaya-upaya kriminalisasi yang dilakukan perusahaan. Terakhir melakukan audit total terhadap PT Toba Pulp Lestari dan segera Mencabut izinnya.

SHARE