Greenpeace: Skema Carbon Offset Jokowi Pembenaran Babat Hutan

Penulis : Tim Betahita

Lingkungan

Rabu, 10 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Greenpeace Indonesia menyebut skema carbon offset yang ada dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang ditandatangani oleh Joko Widodo beberapa waktu lalu tidak bisa mencegah krisis iklim yang sudah terjadi saat ini.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia M.Iqbal Damanik mengatakan, carbon offset justru bisa digunakan oleh para perusahaan sebagai pembenaran mereka untuk membabat hutan atau melakukan konsesi lahan. Salah satu aspek pemicu perubahan iklim.

"Carbon offset bukan solusi yang itu untuk mencegah terjadinya krisis iklim yang sudah terjadi saat ini. Carbon offset hanya sebuah mekanisme agar para poluter pencemar melegitimasi pencemaran mereka dengan menggunakan hutan hutan yang ada saat ini," kata Damanik dalam zoombinar,

Carbon offset sendiri adalah penukaran emisi. Sebagai contoh, emisi yang dihasilkan di suatu tempat dapat ditukar dengan pengurangan emisi di tempat lain. Skema ini adalah salah satu pilihan yang diperbolehkan dalam perdagangan karbon (carbon trading).

Presiden Jokowi meninjau karhutla di Kelurahan Guntung Payung, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalsel, Juli 2019. (Setpres)

Bercermin pada negara-negara lain, Iqbal berkata, skema ini masih bisa 'diakali'. Negara atau perusahaan, kata Iqbal, bisa membeli kuota emisi negara atau perusahaan lain yang masih rendah untuk dilimpahkan ke sana.

Iqbal menilai, dengan 'akal -akalan' itu, mereka juga tetap bisa diakui memenuhi target pengurangan emisi.

"Kalau ditarik pada konteks Indonesia maka carbon offseting atau mekanisme karbon ini memberikan hak poluter pada korporasi," ujarnya.

"Ibaratnya, kamu sering menebang pohon di Sumatera tapi ikutan menanam pohon di Jakarta. Ya, sama saja bohong," imbuhnya.

Diketahui, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon beberapa waktu lalu. Perpres itu didalamnya juga mengatur tentang pasar karbon atau perdagangan karbon.

Dalam Perpres itu dijelaskan, ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur. Pertama, yaitu perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment). Kedua, pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi menyatakan carbon pricing dapat menjadi insentif untuk pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim.

"Carbon pricing diharapkan mendukung instrumen lain yang juga dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/11) lalu.

CNN Indonesia |

SHARE