Akhir Pekan dan Beijing yang Dikunci Polusi

Penulis : Tim Betahita

Lingkungan

Senin, 08 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah kota Beijing menutup jalan raya dan taman bermain sekolah jelang akhir pekan lalu akibat polusi udara yang parah seperti dilansir Straits Times.

Polusi asap tebal menyelimuti sebagian besar China utara pada hari Jumat, dengan jarak pandang di beberapa wilayah anjlok hingga menjadi kurang dari 200 meter, menurut kantor cuaca negara itu.

Pihak berwenang di Beijing menyalahkan polusi pada "kondisi cuaca yang tidak menguntungkan dan penyebaran polusi regional" ketika sekolah-sekolah di ibukota, yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin pada Februari, mendapat perintah untuk menghentikan kelas pendidikan jasmani dan kegiatan di luar ruangan.

Jalan raya ke kota-kota besar termasuk Shanghai, Tianjin dan Harbin ditutup pada hari Jumat karena jarak pandang yang buruk.

ilustrasi polusi udara dari pabrik yang meresahkan warga. (Pixabay)

Polutan yang terdeteksi Jumat pagi oleh stasiun pemantauan di Kedubes AS di Beijing mencapai tingkat "sangat tidak sehat" untuk populasi umum.

Tingkat partikel kecil di Beijing, atau PM 2.5, yang menembus jauh ke dalam paru-paru manusia dan menyebabkan penyakit pernapasan berkisar sekitar 220 ppm, jauh di atas batas yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia WHO, yaitu 15 ppm.

Kabut asap kemungkinan akan bertahan hingga setidaknya Sabtu malam, menurut pejabat Beijing.

China mengatakan awal pekan ini, mereka menggenjot produksi batu bara harian lebih dari satu juta ton untuk mengurangi kekurangan energi yang memaksa pabrik tutup dalam beberapa bulan terakhir.

Industrialisasi yang cepat membuat China tidak asing dengan polusi udara, meskipun episode kabut asap yang parah menjadi lebih jarang dalam beberapa tahun terakhir karena pihak berwenang semakin memprioritaskan perlindungan lingkungan.

Beijing berjanji membawa emisi karbon dioksida yang memanaskan planet ke puncaknya pada tahun 2030 dan menguranginya menjadi nol emisi pada tahun 2060.

China menghasilkan sekitar 60 persen energinya dari pembakaran batu bara.

Pembunuh Senyap

Berdasar data Badan Kesehatan Dunia atau WHO, per tahun polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini.

Menyikapi hal ini, WHO memperketat panduan kualitas udara, dengan harapan setiap negara dapat memangkas polutan untuk mencegah kematian dan penyakit yang disebabkan oleh polusi udara. Pedoman baru ini menargetkan pemangkasan polutan dari emisi bahan bakar fosil.

“Polusi udara merupakan ancaman bagi kesehatan manusia di semua negara,” jelas direktur jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Pada 2019, WHO menilai jika 90 persen populasi di dunia bernafas dengan udara yang tidak sehat, berdasarkan pedoman sebelumnya.

Menghirup udara kotor dapat merusak bagian dalam organ dalam tubuh. Tidak hanya paru-paru, tetapi juga otak hingga bayi yang sedang dalam kandungan.

”Polusi udara memengaruhi semua bagian tubuh, mulai dari otak hingga bayi yang sedang tumbuh di dalam rahim ibu,” kata Tedros.

Pada anak-anak, polusi udara dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan fungsi paru-paru, infeksi pernafasan, dan asma yang parah. Sementara pada orang dewasa, penyakit jantung iskemik, stroke, hingga kematian dini. WHO juga menunjukan efek lain dari polusi udara seperti diabetes dan neurodegeneratif.

Ini menempatkan polusi udara setara dengan risiko penyakit dari merokok dan mengonsumsi makanan yang tidak sehat.

Dijuluki sebagai silent killer oleh WHO, polusi udara dapat memotong kehidupan populasi manusia secara global rata-rata dua tahun. Bahkan, beberapa kota di Indonesia memiliki kualitas udara yang buruk dan dinilai dapat memperpendek umur hingga 6,4 tahun, berdasarkan riset AQLI 2020.

Perketat Pedoman

WHO terakhir memperbarui pedoman kualitas udara atau AQGs pada 2005, memberikan dampak signifikan dalam kebijakan membersihkan udara sedunia. Namun, selama 16 tahun berjalan, Badan Kesehatan PBB mengatakan bahwa banyak bukti kuat dan jelas yang muncul, menunjukan bagaimana polusi udara memengaruhi kesehatan pada konsentrasi yang lebih rendah daripada yang dipahami sebelumnya.

“Bukti yang terkumpul cukup untuk membenarkan tindakan untuk mengurangi paparan populasi terhadap polutan udara utama, tidak hanya di negara atau wilayah tertentu tetapi dalam skala global,” kata organisasi itu.

Pedoman kualitas udara WHO terbaru merekomendasikan tingkat udara baru untuk melindungi kesehatan populasi dengan mengurangi enam polutan seperti ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon dioksida, yang diantaranya merupakan emisi bahan bakar fosil.

Bertepatan dengan menjelangnya konferensi iklim COP26 yang dimulai pada 31 Oktober di Glasglow, PBB berharap, pedoman baru ini akan mendorong 194 negara untuk bertekad mengurangi emisi bahan bakar fosil, yang juga mendorong perubahan iklim.

Pada pedoman baru, WHO mengurangi kadar PM10 dan PM2,5, yang merupakan partikel berdiameter sama atau lebih kecil dari 10 dan 2,5 mikrometer—atau kurang dari sepertiga puluh lebar rambut manusia. Itu cukup kecil untuk menembus ke dalam paru-paru dan bahkan memasuki aliran darah, menyebabkan masalah kardiovaskuler dan pernapasan hingga mempengaruhi organ lain.

Berdasarkan pedoman baru, kadar PM2,5 tahunan tidak boleh lebih tinggi dari 5 mikrogram atau dalam kadar hariannya hanya 15 mikrogram per meter kubik. Sementara pedoman sebelumnya, kadar tahunan PM2,5 pada 10 mikrogram dan harian sebesar 25 mikrogram.

Greenpeace mencatat bahwa banyak kota besar di seluruh dunia telah melanggar pedoman 2005 dan mengatakan tindakan yang lebih berarti sangat diperlukan. Pada 2020, 79 dari 100 kota terpadat di dunia melanggar batasan kadar PM2,5 berdasarkan pedoman 2005. Pedoman baru ini, diperkirakan akan meningkat menjadi 92 jika para pemerintah negara tidak melakukan aksi nyata.

SHARE