Tambang Patungan Tiongkok-Indonesia Diduga Langgar Hukum
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 14 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Proyek penambangan seng (Zn) PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara (Sumut) diduga melanggar hukum. DPM yang merupakan perusahaan patungan konglomerat pertambangan China Nonferrous Metal Industry's Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. yang berbasis di Beijing (NFC) dan raksasa pertambangan batu bara Indonesia, Bumi Resources, itu melakukan kegiatan pembangunan fasilitas penampungan tailing (limbah tambang) di lokasi yang persetujuan lingkungannya belum diumumkan oleh pemerintah.
Hal tersebut diungkap dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Rabu (13/10/2021). Pada 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menginformasikan kepada PT DPM bahwa perubahan desain proyek memerlukan persetujuan lingkungan baru. Proses persetujuan lingkungan dimaksudkan untuk menjaga lingkungan dan masyarakat setempat yang bermukim dekat dengan proyek-proyek pembangunan. PT DPM selanjutnya menyerahkan adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang antara lain meminta perubahan lokasi fasilitas penyimpanan tailing.
Kemudian pada Juli 2021, PT DPM diketahui memulai pekerjaan lapangan berupa pembangunan fasilitas penampungan tailing, yang konon tingginya sekitar 25 meter, di lokasi yang persetujuan lingkungannya belum diumumkan oleh pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kegiatan pekerjaan PT DPM itu dikatergorikan sebagai kejahatan lingkungan.
Sejak itu, seruan agar tambang tersebut dihentikan kemudian mulai muncul. Diikuti dengan sebuah petisi masyarakat yang menuntut agar tambang itu dihentikan, dan setelah memperoleh tanda tangan dari 2.200 orang, petisi itu selanjutnya diserahkan kepada KLHK.
Direktur Bantuan Hukum Sumatera Utara (Bakumsu) Tongam Pangabean, yang merupakan perwakilan hukum masyarakat terdampak mengatakan, persetujuan fasilitas penampungan tailing DPM belum diumumkan kepada publik sesuai persyaratan hukumnya. Namun fakta di lapangan, saat ini pembangunan fasilitas itu sudah terlihat mulai dikerjakan. Dirinya meyakini pihak PT DPM telah mengabaikan hukum di Indonesia.
"Persetujuan fasilitas penampungan tailing belum diumumkan secara publik sesuai persyaratan hukumnya. Namun, saat ini sudah bisa kita lihat pekerjaan lapangannya (sudah dimulai). Kami percaya DPM sudah mengabaikan hukum di Indonesia," kata Tongam Panggabean, Rabu (13/10/2021).
Menurut Tongam, pihak PT DPM menamakan pekerjaan di lapangan itu sebagai pengujian kolom batu. Dikatakan, kolom batu merupakan cara untuk mengekstrak air dari bawah fasilitas penampungan tailing untuk mengurangi risiko likuifaksi jika terjadi gempa bumi, karena pondasi di mana tailing berada tidak stabil.
"Kami meminta Pemerintah Indonesia untuk mencabut izin sebelumnya yang sudah diberikan untuk tambang ini dan menuntut perusahaan tersebut," ujar Tongam.
Di kesempatan yang sama, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Pusat Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Adrianus Eryan mengatakan, hukum di Indonesia melarang perusahaan pertambangan memulai pekerjaan lapangan yang berkaitan dengan fasilitas penampungan tailing, portal tambang dan fasilitas penyimpanan bahan peledak sebelum mendapatkan persetujuan lingkungan dari pemerintah secara resmi.
"Jika DPM telah melakukan aktivitas tanpa izin yang disyaratkan, yaitu Persetujuan Lingkungan, maka diangap ilegal," kata Adrianus.
Lokasi pembangunan fasilitas tailing PT DPM ini menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi masyarakat Desa Bongkaras yang berada dekat fasilitas itu. Barisman Hasugian, warga Dusun 3 Desa Bongkaras mengatakan, dilihat dari dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya (Amdal), PT DPM bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan jebolnya fasiltas penampungan tailing.
"Sementara kita tahu daerah ini merupakan zona dengan risiko gempat yang sangat tinggi dan lokasinya tidak stabil. Karena alasan tersebut, 2.200 orang telah menandatangani petisi meminta penghentian tambang," ujar Barisman.
Menteria Situngkir, warga Bongkaras lainnya juga bilang, ada 10 desa yang terletak di bawah lokasi tambang. Sedangkan sebagian besar pasokan air bersih warga desa-desa itu berasal dari area hilir tambang. Limbang tambang yang mengandung racun, ia pastikan bakal meracuni warga.
Diakones Sarah Naibaho dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) mengungkapkan, rencana PT DPM yang akan merelokasi Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) untuk pembangunan Tailing storage facility (TSF) dalam adendum dokumen Amdal PT DPM Tahun 2021 mengabaikan keputusan pimpinan HKBP atas penolakan relokasi.
"Sejak awal pimpinan HKBP menolak relokasi gereja untuk kepentingan TSF demi keselamatan masyarakat di wilayah proyek. Oleh karena itu tertanggal 9 Juni 2021 Ephous Gereja Huria Kristen Batak Protestan secara resmi membuat surat penolakan, menolak relokasi yang sudah disampaikan ke KLHK dan ke PT DPM," kata Sarah Naibaho.
Kekhawatiran dan ketakutan yang disampaikan oleh masyarakat dan gereja itu sangat beralasan. Pakar masalah lingkungan tambang timbal-seng, Dr. Steven Emerman menyatakan, jika pihak Nonferrous Metal Industry's Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. membangun proyek ini di negara asalnya, Tiongkok (China), TSF ini akan masuk kategori ilegal, karena aspek keamanannya. Saat ini, Emermen telah selesai meninjau versi revisi Analisis Dampak Lingkungan (Andal) PT DPM dan mencatat bahwa tak satupun persoalan yang ada di versi sebelumnya yang dibahas.
"Namun, sekarang sudah jelas bahwa setelah penutupan bendungan, 15 persen kemungkinan air kolam tailing akan mengalir melalui pelimpah darurat dan masuk ke saluran air hilir tanpa dilakukan pengolahan. Frekuensi pembuangan air limbah tambang yang tanpa diolah yang cukup sering dan kemungkinan besar mengandung racun seharusnya tidak bisa dibenarkan menurut standar mana pun," kata Emermen.
Pembangunan TSF PT DPM juga menyimpan risiko besar jebolnya bendungan tailing yang bisa mendatangkan bencana. Lokasi TSF yang diusulkan, berada di salah satu zona gempa paling aktif di dunia dan dekat dengan garis patahan yang pernah menyebabkan tsunami Boxing Day pada 2004 silam. Dr. Richard Meehan, pakar berpengalaman selama 50 tahun dalam bidang stabilitas bendungan di zona gempa, menyatakan kekhawatiran yang besar terhadap bendungan tailing yang akan dibangun oleh perusahaan tersebut.
"Selain risiko gempa yang ekstrem, dalam adendum Amdal 2019, DPM mencoba menutupi ketidakstabilan geologi di lokasi bendungan yang diusulkan itu. Kini, di dalam adendum Amdal April 2021 mereka, DPM mengakui lokasi bendungan di sejumlah tempat memang memiliki endapan abu vulkanik sedalam 50 meter yang tidak stabil," terang Meehan.
Lebih lanjut Meehan menjelaskan, sekuat apapun dinding bendungan, yang bahkan jenis beton besar sekalipun, jika itu berada di atas pondasi yang tidak stabil, maka akan rusak karena amblas/turun, terbelah atau bergeser.
"Dengan menimbuni dinding bendungan yang amblas tersebut atau jebolnya satu titik lokal yang kemudian membesar dan akan dapat mengosongkan TSF dengan mengalirkan ke lahan yang di bawahnya."
Meehan juga mencatat, PT DPM telah menggunakan metode lama untuk menganalisis stabilitas bendungan. Standar kuno tersebut bahkan tidak diterapkan dengan tepat. Kalaupun dibangun, bendungan itu hampir bisa dipastikan akan runtuh atau jebol.
"Mereka mengusulkan stabilitasi kolom batu, tetapi teknik-teknik ini belum teruji dan kemungkinan tidak memadai. Dengan banyak penduduk yang tinggal di bawah bendungan yang diusulkan ini, bukan saat yang tepat untuk menggunakan teknologi yang belum teruji di sini."
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengatakan, rencana tambang PT DPM ini berasal dari rezim pemerintah Presiden Suharto. Menurutnya, sejak awal seharusnya proyek pertambangan ini tidak diberikan izin, dan bahkan masyarakat tidak menginginkan keberadaan tambang ini.
"Hari ini kita menyaksikan perusahaan tersebut beroperasi tanpa mengindahkan hukum di Indonesia dan melanggar standar internasional. Masyarakat tidak menginginkan tambang ini ada. Keberadaannya bisa membahayakan masyarakat dan lingkungan. Maka harus dihentikan," ucap Merah.
Proyek DPM menjadi subjek pengaduan kepada Compliance Advisor Ombudsman lembaga International Finance Corporation. Ombudsman menerima pengaduan pada bulan Maret tahun lalu karena klien perantara keuangan IFC, Postal Savings Bank of China, merupakan penyokong keuangan terbesar dari pengembang utama tambang.
Latar Belakang Kasus
Dikutip dari situs Bakumsu, DPM merupakan perusahaan patungan Indonesia antara konglomerat pertambangan yang berbasis di Beijing, China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC) dan Bumi Resources Minerals, anak perusahaan dari raksasa pertambangan batu bara Indonesia, Bumi Resources.
Wilayah konsensinya mengandung sekitar 5 persen dari cadangan seng dunia. Proyek ini berawal sejak 1998, saat PT DPM menerima izin dari Pemerintah Indonesia untuk mengeksplorasi logam di sebuah wilayah seluas 27.420 hektare. Proyek ini diprediksi menghabiskan biaya sekitar USD453 juta. Penambangan diharapkan dimulai 42 bulan setelah semua dana dan asuransi didapatkan. Menurut draf adendum Amdal PT DPM tahun 2019, umur tambang adalah 10 tahun.
PT DPM mengusulkan penggunaan teknik penambangan bawah tanah saat mengekstraksi bijih dan membawanya ke permukaan. Bijih kemudian akan dikonsentrasikan di fasilitas yang akan dibangun di dekat tambang. Bijih konsentrat kemungkinan akan dikirim ke Tiongkok, di mana bijih akan dihaluskan dan digunakan untuk berbagai barang konsumen dan industri, khususnya mobil.
Saat ini NFC menjual seng ke sebuah perusahaan yang bernama Wanxiang Group, produsen suku cadang mobil terbesar dunia. Satu dari tiga mobil di jalan raya di seluruh dunia memiliki suku cadang yang dirakit oleh Grup Wanxiang. Pelanggannya termasuk Volkswagen, Ford, Citroën, Mazda, General Motors, Suzuki, Fiat, Toyota, dan Daimler Chrysler. Apabila DPM beroperasi, maka setidaknya seng yang ditambangnya akan berakhir di mobil-mobil yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
DPM mengklaim, sebagian besar limbah dari tambang akan dicampur dengan semen dan disuntikkan kembali ke bawah tanah, jutaan meter kubik sisa limbah beracun akan disimpan di bendungan tailing yang menurut perusahaan akan berlokasi 2 kilometer dari tambang, di balik tembok bendungan setinggi 25 meter.
Jika tidak dibangun dengan tepat dan dipelihara, kolam tailing bisa jebol, melepaskan limbah beracun ke lingkungan sekitar. Bahkan PT DPM yang mengklaim menerapkan langkah-langkah keamanan yang lebih modern memiliki tingkat kegagalan yang tinggi, 2 hingga 5 per tahun di seluruh dunia.
Masalah utama dengan bendungan tailing yang diusulkan adalah lokasinya. Laporan ahli yang ditugaskan oleh konsorsium lembaga masyarakat sipil mengenai risiko seismik yang ditimbulkan oleh proyek DPM menyimpulkan bahwa tambang DPM terletak di salah satu daerah berisiko tertinggi di dunia, terletak di dekat megathrust subduksi Sumatera yang pada 2004 dan 2005 lalu menghasilkan gempa bumi masing-masing berkekuatan 9 dan 8 skala richter.
Lokasi tambang juga hanya berjarak 15 kilometer dari Sesar Besar Sumatera yang menghasilkan gempa bumi dalam waktu lama atau berulang, terkenal mampu merusak bangunan sipil seperti bendungan tailing, terutama tailing basah, seperti yang akan dihasilkan PT DPM. Faktor ini, ditambah dengan curah hujan tahunan yang sangat deras di kawasan itu, membuat penulis studi memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade setelah ‘penutupan’ endapan, kerusakan bendungan tailing secara tiba-tiba yang ditimbulkan oleh gempa akan mengalirkan gelombang lumpur cair di wilayah hilir ke arah utara.
Dampak sosial dan lingkungan dari keruntuhan bisa menjadi bencana besar. Bendungan yang runtuh di wilayah lain di dunia--bahkan tanpa risiko gempa yang tinggi--telah menghancurkan banyak desa, menewaskan ratusan orang, dan meracuni lingkungan selama beberapa generasi lamanya. Dalam kasus ini, ada 11 desa yang berada di sekitar atau di bagian hilir tambang Dairi Prima Mineral.
Kajian Dr. Richard Meehan terhadap adendum Amdal PT DPM menyimpulkan bahwa bukan saja risiko tidak ditimbang secara memadai, informasi geologis dari lokasi bendungan tailing yang diusulkan pun tampaknya dirahasiakan mungkin karena memang tidak pernah ada, yang semakin memperbesar kekhawatiran mengenai komitmen tambang terhadap keselamatan dan perlindungan lingkungan.
Kajian terhadap amdal PT DPM oleh tenaga ahli teknis Dr. Steve Emerman menyimpulkan, tambang DPM, seandainya dibangun di Tiongkok, maka akan melanggar peraturan baru di Tiongkok yang dibuat setelah bencana bendungan tailing di Brasil. Praktik ini ilegal di sana karena bisa membawa risiko yang tidak dapat diterima bagi kehidupan manusia, meski begitu PT DPM tampaknya berniat membangun tambang dan bendungan tailingnya di Sumatera Utara.
Tambang timbal-seng seperti yang dimiliki DPM merupakan sebagian dari sejumlah tambang paling bermasalah secara lingkungan di dunia. Tambang akan mengekstraksi bijih sulfida, yang dapat membentuk asam sulfat saat bereaksi dengan air dan oksigen. Kondisi asam dapat menyebabkan drainase tambang bersifat asam di mana logam berat larut dalam air dan kemudian menyebar ke seluruh sistem perairan.
Dr. Steve Emerman juga menemukan bahwa adendum Amdal DPM tidak memperhitungkan risiko ini menurut standar internasional. Risiko banjir dipandang sebelah mata dan tidak ada ketentuan yang layak perihal menampung racun. Semua persoalan ini menunjukkan bahwa tambang seng tidak seharusnya memilih lokasi seperti itu, dengan kondisi seperti itu.
SHARE