Moratorium Sawit: Mengapa Tak Harus Berakhir?
Penulis : Tim Betahita
Sawit
Senin, 20 September 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Masa berlaku Instruksi Presiden No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang dikenal dengan nama moratorium sawit berakhir kemarin, 19 September 2021. Apakah pemerintah akan melanjutkan moratorium sawit yang telah berjalan selama 3 tahun ini atau akan mengakhirinya?
Sejumlah pihak menyuarakan agar Presiden Joko Widodo meneruskan kebijakan moratorium sawit ini.
Setidaknya, seperti dikutip dari Kompas.com, ada 4 alasan mereka agar moratorium sawit diperpanjang. Mulai dari tata kelola perizinan sawit yang belum selesai, tata kelola produkivitas sawit juga masih belum maksimal, belum adanya kepastian landasan aturan untuk sektor sawit yang berkelanjutan, dan memastikan komitmen Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim.
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menyebutkan, berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2020, terdapat 11, 9 juta ha izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin di Indonesia. Teguh menjelaskan, dari data tersebut masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya.
“Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” Teguh dalam siaran pers.
Sementara CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar menjelaskan, penambahan evaluasi izin ini, perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara. Sampai saat ini, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit yang ada di kawasan hutan seperti di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya.
“Tinjauan perizinan terkati dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara. Dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, ternyata hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit. Dilaporkan juga bahwa potensi kerugian negara dari pajak sangat besar,” jelas Bustar.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2017 menemukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO (Crude Palm Oil) sebesar Rp 11 triliun di tahun 2016.
Dari dana tersebut, sebanyak 81,8 persen dialokasikan untuk subsidi biodiesel, di mana yang mendapat porsi subsidi paling besar adalah pengusaha.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, dana perkebunan sawit seharusnya dapat digunakan untuk program-program yang berkaitan langsung dengan pengembangan dan produktivitas perkebunan sawit.
Misalnya peremajaan perkebunan sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan SDM di sektor perkebunan sawit. “Saat ini, dana ini lebih banyak digunakan untuk program subsidi biodiesel dan justru tidak banyak menyentuh petani, melainkan porsinya lebih banyak ke pengusaha,” jelas Nadia.
Nadia menjelaskan, moratorium ini perlu diperpanjang supaya persoalan produktivitas bisa lebih maksimal dan pembagian hasil bagian perimbangan antara pusat dan daerah bisa lebih jelas dan tertuntaskan.
“Pemerintah perlu membuat semacam formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Studi yang kami lakukan menemukan, penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran, sehingga tidak bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani sawit,” ujar Nadia.
Selain itu Nadia menekankan perlunya perbaikan formula penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sehingga lebih adil untuk kesejahteraan petani dan tidak hanya menguntungkan pengusaha. Di sisi lain, munculnya Peraturan Pemerintah yang baru sebagai turunan dari Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang terkait dengan setor sawit disinyalir tidak dapat menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia.
“Peraturan Pemerintah Turunan dari PP No. 23 dan PP No. 24 UUCK tidak tegas mengatur sawit tidak boleh ekpansi di kawasan hutan. Malah sebaliknya memperbolehkan konversi kawasan hutan yang dibuka untuk sawit,” jelasnya.
Dalam UUCK pasal 29 di bagian perubahan Undang-undang Perkebunan disebutkan Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat 2 (dua) tahun setelah pemberian status hak atas tanah. “Ini artinya, pemilik izin perkebunan harus mengusahakan seratus persen agar lahan sawit dapat ditanami dalam tempo paling lama dua tahun. Padahal, masih cukup luas keberadaan hutan alam di dalam izin sawit yang harus diselamatkan untuk mencegah bencana dan memenuhi komitmen iklim,” ungkap Teguh.
Teguh menilai, PP turunan UUCK merupakan peraturan yang melompat dari alur proses yang sudah dibuat sebelumnya dan justru mendorong percepatan pembukaan lahan sawit di kawasan hutan. “Peraturan ini menjadi kontradiktif dari perbaikan tata kelola yang sedang dilakukan, sehingga kebijakan moratorium sawit itu tetap diperlukan untuk menyelesaikan tata kelola lahan,” tambahnya.
Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi adalah sebesar 17,2 persen hingga 24,5 persen pada 2030 mendatang.
“Dengan adanya komitmen iklim tersebut, seharusnya memperkuat perpanjangan moratorium sawit. Ini diperlukan agar ambisi untuk mencapai net zero karbon di sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030 dan agenda “Indonesia FOLU 2030” bisa dicapai,” kata Teguh Surya.
Teguh menambahkan dengan adanya moratorium, sawit Indonesia akan memiliki nilai tambah (produk sawit berkelanjutan) di pasar global dan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan bisa ditahan. Hal ini akan sangat membantu dalam menurunkan laju deforestasi secara signifikan karena ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi,” ungkapnya.
Pembuktian komitmen pemerintah Indonesia untuk melakukan mitigasi perubahan iklim akan membuka peluang strategis untuk perkembangan bisnis sawit berkelanjutan di dunia internasional.
Sementara itu Bupati Sorong, Papua Barat Johny Kamuru menjelaskan, kebijakan moratorium sawit merupakan salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong untuk melakukan evaluasi beberapa perusahaan sawit tersebut. Selain itu, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari juga menjadi dorongan terhadap pentingnya evaluasi.
“Kami menyayangkan apabila moratorium sawit tidak diperpanjang, apalagi di tengah upaya kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” kata Johny.
Sebagai infromasi, Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat telah mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha pada 4 perkebunan sawit besar. Keempat perkebunan itu yakni PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS), dan PT Cipta Papua Plantation. Keempatnya dinilai tidak melaksanakan kewajibannya dalam izin usaha perkebunan (IUP) yang mereka dapatkan. Keputusan Pemkab Sorong tersebut digugat 3 perusahaan sawit tersebut, yakni IKL, PLA, dan SAS. Mereka mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus 2021.
SHARE