PBB: Bencana Kekeringan Dapat Menjadi Pandemi Berikutnya
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Sabtu, 19 Juni 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan kekeringan sebagai resiko tersembunyi dari krisis global, dan berpotensi menjadi “pandemi berikutnya” jika negara-negara di dunia tidak mengambil tindakan urgen terkait pengelolaan air dan tanah, serta mengatasi darurat iklim.
Saat ini setidaknya terdapat 1,5 miliar jiwa yang secara langsung terdampak oleh kekeringan pada abad ini, dengan perkiraan kerugian ekonomi mencapai $124 miliar. PBB memperkirakan angka sesungguhnya jauh lebih tinggi karena angka saat ini tidak memasukkan dampak yang terjadi di negara berkembang, menurut laporan yang diterbitkan Kantor PBB untuk Pengurangi Resiko Bencana (UNDRR), Kamis, 17 Juni 2021.
Mami Mizutori, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk pengurangan resiko bencana, mengatakan sebagian besar orang akan menderita kekurangan air beberapa tahun mendatang. Dalam periode tertentu, permintaan akan melebihi pasokan. Kekeringan juga menjadi faktor utama dalam degradasi lahan dan penurunan hasil panen utama.
“Kekeringan sebentar lagi akan menjadi pandemi berikutnya, tak ada vaksin untuk menyembuhkannya,” kata Mizutori, dalam keterangan tertulis di situs UNDRR.
(Baca Juga: Kekeringan dan Krisis Air Landa Taiwan)
Kekeringan tidak hanya akan terjadi di wilayah gurun Afrika, namun juga menyebar ke berbagai tempat. Pada akhir abad ini, banyak negara di dunia diperkirakan mengalami kekeringan dalam berbagai bentu—kecuali segelintir negara, tulis laporan tersebut.
Menurut Mizutori, manusia telah mengalami berbagai bentuk kekeringan selama 5,000 tahun. “Namun apa yang kita lihat sekarang sangat berbeda. Aktivitas manusia telah memperburuk kekeringan dan meningkatkan dampaknya.” Kondisi in pun mengancam upaya-upaya saat ini untuk menangkat manusia dari garis kemiskinan, tulis laporan berjudul Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction: Special Report on Drought 2021.
Negara-negara maju juga tidak kebal dari kekeringan. Beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat, Australia, dan Eropa bagian selatan telah mengalaminya. Di Amerika Serikat, kerugian yang ditmbulkan mencapai $6 miliar per tahun, dan Eropa menderita kerugian ekonomi sekitar 9 miliar Euro. Angka itu pun dinilai masih konservatif.
Laporan itu juga menyebut pertumbuhan populasi turut mengekspos lebih banyak jiwa terhadap dampak kekeringan di berbagai wilayah di dunia. Perubahan pola hujan yang disebabkan oleh perubahan iklim disebut sebagai faktor utama kekeringan, namun laporan itu juga mengidentifikasi penggunaan air yang tidak efisien. Degradasi lahan akibat aktivitas pertanian intensif dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan juga menyumbang memburuknya kekeringan.
Deforestasi, penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan, penggembalaan dan ekstrasi air berlebihan untuk pertanian juga menjadi masalah utama. Mizutori mendesak pemerintah untuk melakukan pencegahan kekeringan dengan mereformasi dan mengatur pengambilan, penyimpanan, dan penggunaan air; serta pengelolaan lahan.
Menurutnya, sistem peringatan dini juga dapat membantu orang dari bahwa, dan teknik perkiraan cuaca yang lebih canggih saat ini tersedia. Mizutori menambahkan, kerja sama dengan masyarakat lokal penting lantaran masyarakat lokal dan masyarakat adat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang dapat membantu memberikan informasi soal di mana dan bagaimana air disimpan serta bagaimana memprediksi dampak dari periode kekeringan.
SHARE