Kisah Perempuan Adat Papua: Hutan, Ruang Hidup Yang Kian Terancam
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Senin, 10 Mei 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Mama Alfonsia menunjuk sebatang pohon. Ukurannya tidak terlalu besar, dengan diameter sekitar 14 cm. Daunnya berwarna hijau muda dan beberapa buah berbentuk lonjong tampak mulai matang dengan warna kekuningan. Mama Alfonsia memanggilnya pohon gnemo atau biasa dikenal dengan tanaman melinjo.
Mama Alfonsia memilih pohon muda itu bukan tanpa alasan. Jika terlalu tua, seratnya terlalu keras dan tidak cocok untuk dijadikan benang rajut. Sementara serat yang muda dan segar itu paling cocok dijadikan bahan baku tas tradisional enok, sebutan dalam bahasa suku Wambon/Mandobo, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Sementara itu tas khas ini dikenal dengan sebutan noken oleh umum.
Setelah itu, Mama Alfonsia mulai mengupas kulit pohon itu. Dengan hati-hati dia mengeluarkan getah dari serat menggunakan parang. Dia menjelaskan, serat yang telah kering nantinya akan dijemur selama satu atau dua hari. Tahap ini sangat penting karena berpengaruh pada warna benang.
“Jika matahari tidak terlalu berkelimpahan, warna benang nanti cenderung gelap dan coklat. Begitu juga sebaliknya,” jelas Mama Alfonsia.
Setelah jadi, Mama Alfonsia akan mulai mengerjakan enok. Menurutnya, perempuan adat di Tanah Papua menghabiskan 4-5 jam dalam sehari untuk merajut tas tersebut. Hal itu dilakukan pada malam hari saat pekerjaan domestik telah selesai.
Salome, pengrajin enok dari Kampung Subur, Boven Digoel, mengaminkan. Kampungnya yang tidak memiliki listrik dan sinyal internet dan televisi, menjadikan kegiatan merajut sebagai aktivitas pokok pada malam hari. Tua maupun muda, semuanya merajut.
“Biasa sa kerjakan sampe cape tertidur,” tukas Salome.
Salome menjelaskan, satu enok berukuran kecil membutuhkan waktu satu hingga dua minggu sejak pengambilan bahan baku di hutan. Sedangkan enok berukuran sedang dan besar membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua bulan, tergantung masing-masing pengrajin.
Enok memang jadi ciri khas bagi orang asli papua. Tas ini awet (tahan hingga 10 tahun) karena benangnya yang kokoh dan tidak gampang bolong. Enok juga bisa memuat benda berat dan besar, seperti hewan buruan dan juga bisa berfungsi sebagai kain gendong bayi.
Bukan sembarang tas, enok memiliki nilai budaya dan merupakan bagian dari tradisi Orang Asli Papua. Tas ini menjadi aksesoris wajib perempuan ketika mengikuti ritual adat. Manfaat ekonomisnya pun cukup tinggi, terutama yang berasal dari hutan. Untuk harga enok dari serat kayu harganya dibanderol sekitar Rp 350.000 hingga Rp 1 juta. Sementara itu enok yang dibuat dengan benang biasa dihargai mulai dari Rp 50.000.
Menurut Yayasan Pusaka, tingginya manfaat itu menjadikan pohon gnemo penting bagi penghidupan perempuan adat di Suku Mandobo. Hal itu sama pentingnya dengan pohon mangga hutan yang menjadi bahan baku koteka bagi laki-laki suku tersebut. `
“Merajut enok tidak sekedar menjadi pengisi waktu senggang. Ia adalah gambaran dari curahan waktu kerja perempuan dalam satu hari. Merajut adalah kerja produktif perempuan,” tulis peneliti Yayasan Pusaka Rassela Malinda dalam laporan terbaru berjudul Mama ke Hutan.
Hutan menjadi ruang hidup dan produktif bagi perempuan. Di Tanah Papua, perempuan bisa menghabiskan enam hingga delapan jam di dalam hutan. Mereka mencari bahan makanan, berburu, ataupun meramu obat-obatan tradisional.
Lain lagi dengan Mama Albertina dari Kampung Subur. Ketika suaminya meninggal beberapa tahun lalu, dia dilanda kesedihan dan ketakutan karena bingung cara menghidupi anak-anaknya. Mama Albertina akhirnya memutuskan untuk hidup di hutan.
“Saya memutuskan tinggal di Dusun,” begitulah solusi yang didapatkan Mama Albertina setelah merenung. Dusun adalah istilah yang sering digunakan untuk merujuk Hutan tempat mencari makan.
Selama kurang lebih lima tahun, Mama Albertina dan anak-anaknya hidup di dalam hutan. Dia membangun bivak dari kayu-kayu di sekitar hutan dan mulai berkebun. Untuk pangan, Mama Albertina memangkur sagu dan menanam sayur dan umbi-umbian. Secara berkala dia berburu dan menjaring ikan, mencari kayu bakar, serta mencari tanaman obat ketika dibutuhkan.
Mama Albertina hanya turun ke kampung untuk mengunjungi atau mengirimkan makanan kepada anaknya yang bersekolah. Terkadang dia juga pergi ke pasar untuk menjual surplus sagu untuk memenuhi kebutuhan lain yang harus dibeli dengan uang.
“Saya merasa aman di dalam Hutan. Semua kebutuhan saya terpenuhi, tinggal mau atau tidak kerja. Kalau di kampung, saya merasa susah,” tuturnya.
Hutan dan hidup berubah, karena alih fungsi lahan
Cerita-cerita itu menunjukkan betapa pentingnya hutan bagi keberlangsungan hidup orang Papua, terutama perempuan adatnya. Menurut Rassela, perempuan adat bisa menghabiskan enam hingga delapan jam di dalam hutan. Kegiatannya mulai dari meramu, mencari bahan makanan, ataupun mengambil serat kayu enok.
“Hutan merupakan ruang produksi sekaligus reproduksi sosial bagi perempuan. Hutan adalah ruang kelola perempuan dengan akses seluas-luasnya untuk melangsungkan hidup dan penghidupan,” ujar Rassela.
Namun, cerita-cerita mungkin takkan kita dengar lagi di masa mendatang. Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, investasi berbasis tanah skala besar di pulau tersebut, seperti kelapa sawit dan hutan tanaman industri, telah menggoyang relasi perempuan terhadap alam. Dampaknya pun langsung pada penghidupan perempuan itu sendiri.
Akibatnya, akses terhadap hutan kini terbatas akibat proses akuisisi lahan untuk pembukaan kebun. Secara bertahap, ruang kelola masyarakat adat dipersempit, sumber pangan menjadi terbatas, dan konsumsi rumah tangga pun tergantung pada pasar.
Riset dari Yayasan Auriga Nusantara menyebut deforestasi di Tanah Papua meningkat dari tahun ke tahun. Dari total luas 33 juta hektare, hutan alam seluas 663.443 hektare lenyap selama periode 2001-2019. Hal ini disebabkan oleh ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.
Di Provinsi Papua, Boven Digoel merupakan satu dari tiga kabupaten yang mengalami deforestasi terbesar, dengan luas mencapai 51.600 hektare. Sementara itu Kabupaten Nabire kehilangan hutan seluas 123.049 hektare dan Nabire 32.924 hektare.
Hilangnya hutan menghilangkan ruang hidup perempuan adat Papua. Perubahan tersebut dirasakan oleh Mama Okto, perempuan adat Yeinan dari Kampung Kweel, Kabupaten Merauke.
Mama Okto bercerita, dulu masyarakat masih bisa melihat binatang buruan di pinggiran kampung. Namun kini masyarakat membutuhkan waktu berminggu-minggu dan wilayah jelajahnya semakin jauh. Ketika berhasil pun, keluarganya hanya memakan tulang binatang buruan. Sementara itu dagingnya dijual.
Mama Okto menyadari perubahan itu terjadi kebun kelapa sawit milik sebuah perusahaan dibuka di sekitar kampungnya.
“Hutan sudah berubah. Dulu kita cari makan bukan untuk dijual tapi untuk makan sendiri. Sekarang kita terpaksa menjual karena kebutuhan ekonomi yang mendesak,” keluhnya.
Rassela mengatakan, ekspansi perkebunan kelapa sawit dan bisnis kehutanan mengubah perempuan adat dari produsen mandiri (peladang dan peramu) menjadi buruh harian upahan. Karena bekerja di kebun sawit, waktu mencari pangan di hutan berkurang. Akibatnya perempuan terpaksa membeli bahan makanan di pasar.
“Dan degradasi terhadap lingkungan merupakan opresi langsung atas hidup perempuan,” tulisnya.
Mama Okto merasakan sentimen tersebut. Hari-harinya kini dipenuhi pertanyaan tentang masa depan yang tidak pasti. Keberlangsungan anak cucu seiring dengan perubahan bentang alam akibat investasi maupun proyek pembangunan yang menyingkirkan mereka.
“Kita harus berpikir lebih jauh anak cucu jadi apa?” tanyanya.
Serial tulisan tentang perempuan adat Papua dan hutan ini diadaptasi Betahita dari laporan Yayasan Pusaka berjudul Mama ke Hutan.
SHARE