Standard Chartered Dikecam Soal Investasinya di Energi Kotor
Penulis : Sandy Indra Pratama
Energi
Selasa, 30 Maret 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Standard Chartered Bank (SCB) menginvestasikan miliaran dollar ke perusahaan bahan bakar fosil di seluruh dunia. Dalam hitungan para aktivis lingkungan, secara total, melalui bisnis kotor tersebut, mereka telah menyalurkan USD 24 miliar ke perusahaan batu bara, minyak dan gas sejak Perjanjian Paris.
Hal itu bertolak belakang dengan pernyataan mereka pada September 2018, yang mengatakan bahwa mereka mendukung perjanjian Paris yang bersetuju soal energi bersih dan terbarukan. Paradoks itu kemudian membuat para aktivis lingkungan Indonesia bergerak.
Jumat lalu, dua banner bertuliskan “Standard Chartered Bank, Uang Batu Baramu Membunuhku” terbentang di Jalan Prof.Dr.Satrio, Jakarta Selatan. Itu merupakan bentuk peringatan kepada Bank tersebut untuk berhenti mendanai industri batu bara yang sudah banyak menyebabkan korban jiwa. Sekaligus menyampaikan kepada publik bahwa perusahaan keuangan asal Inggris tersebut masih mengucurkan uangnya melalui investasi kotor.
Di Indonesia, SCB aktif membiayai PLN Persero, Indonesia Asahan Aluminium, dan Adaro Energy. SCB juga dinilai ikut andil dalam bencana banjir besar yang terjadi di Kalimantan Selatan awal tahun ini.
Alasannya, perusahaan perbankan yang bermarkas di London itu diketahui sebagai salah satu pemodal perusahaan Adaro Energy, yang mengoperasikan salah satu tambang batu bara terbesar di Kalimantan Selatan sekaligus salah satu pertambangan penyebab degradasi daerah tangkapan Sungai Barito.
“Standard Chartered Bank terus mendanai kehancuran di Indonesia dengan memberi modal pinjaman kepada perusahaan batu bara yang menghancurkan kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan dan masa depan kami semua. Kami baru saja mengalami banjir terbesar di Kalimantan Selatan dalam 50 tahun terakhir dan itu karena deforestasi oleh perusahaan batu bara yang dilakukan dengan tidak terkendali. Standard Chartered harus berhenti membiayai Adaro sekarang juga!” kata Salsabila Khairunisa aktivis Jeda untuk Iklim.
Data dari Market Force, sebuah lembaga yang mengekspos pendanaan perusak lingkungan, mengungkap bahwa Adaro tidak mempunyai rencana untuk mendemonstrasikan bagaimana mereka akan menghentikan penggunaan batu bara dan mendiversifikasi bisnisnya dengan cara yang sejalan dengan upaya Perjanjian Iklim Paris.
Pada tahun 2020, Adaro tercatat memproduksi 54,53 Mt, dan pada tahun 2021 akan terus fokus pada bisnis batu bara dengan menetapkan target produksi batubara sebesar 52 - 54 Mt.
Tidak hanya di sektor pertambangan, SCB juga memiliki andil memperparah kerusakan lingkungan melalui pembiayaan kepada PLN persero untuk pembangunan PLTU batu bara Jawa 9 & 10 di Suralaya, Banten.
“Sudah bisa dilihat banyak fakta kerusakan dan bencana yang diakibatkan industri ekstraktif terutama batu bara. Bahkan pada 2020, BNPB mencatat terjadi peningkatan bencana ekologis yang didominasi bencana akibat perubahan iklim serta bencana hidrometereorologi,” kata Rehwinda, pengkampanye WALHI DKI Jakarta.
Dalam catatan BNPB sebanyak 1.944 bencana terjadi pada tahun lalu. Sebanyak 730 di antaranya adalah banjir dan 523 kejadian puting beliung. Dengan fakta-fakta tersebut, upaya mitigasi nyatanya malah berjalan mundur. Pemerintah justru tetap "ngebut" mengesahkan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
“Bahkan baru-baru ini, Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 malah menghapus limbah FABA (Fly Ash Bottom Ash) batu bara dari limbah B3. Menurunnya standard lingkungan hidup, termasuk dihapusnya limbah FABA batu bara dari kategori limbah B3 itu, tentu saja dapat meningkatkan resiko pembiayaan pada energi kotor," ujar Rehwinda.
SCB dalam laman resminya memang sempat mengumumkan dukungannya terhadap Kesepakatan Paris. Bahkan mereka dengan ebrani mendeklarasikan siap melakukan pembiayaan untuk energi bersih dan terbarukan senilai 35 miliar dollar Amerika Serikat. Hal ini yang menjadi patoan para aktivis untuk kemudian menagih janji dari SCB.
SHARE