10,3 Juta Orang di Dunia Mengungsi Akibat Perubahan Iklim

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Senin, 29 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Dalam enam bulan terakhir, sekitar 10,3 juta orang di dunia terpaksa mengungsi akibat banyaknya bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Banjir dan kekeringan, menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, mendominasi faktor penyebab pemaksaan berpindahnya jutaan orang di dunia keluar dari tempat tinggalnya. Sebagian besar dari mereka berada di Asia.

International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies mengatakan Rabu pekan lalu, sekitar 2,3 juta orang lainnya di dunia mengungsi akibat konflik dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan sebagian besar pengungsian sekarang dipicu oleh perubahan iklim.

Meskipun laporan itu hanya mencakup periode enam bulan dari September 2020 hingga Februari 2021, angka tersebut menyoroti tren global perpindahan terkait iklim yang semakin cepat, kata Helen Brunt, Koordinator Migrasi dan Perpindahan Asia Pasifik untuk IFRC.

“Hal-hal menjadi lebih buruk karena perubahan iklim memperburuk faktor-faktor yang ada seperti kemiskinan, konflik, dan ketidakstabilan politik,” kata Brunt seperti dilansir Reuters. “Dampak yang bertambah membuat pemulihan menjadi lebih lama dan lebih sulit: orang-orang hampir tidak punya waktu untuk pulih dan mereka dihantam oleh bencana lain.”

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan bencana berulang, berdampak pada kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi. Foto: Greenpeace Indonesia

Sekitar 60% dari pengungsi iklim dalam enam bulan terakhir itu berada di Asia, termasuk Indonesia, menurut laporan IFRC. Perusahaan konsultan McKinsey & Co mengatakan bahwa Asia “menonjol karena lebih terpapar risiko fisik iklim daripada bagian lain dunia tanpa adanya adaptasi dan mitigasi”.

Statistik dari Internal Displacement Monitoring Center (IDMC) menunjukkan bahwa rata-rata 22,7 juta orang mengungsi setiap tahunnya. Angka tersebut termasuk perpindahan yang disebabkan oleh fenomena geofisika seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, tetapi sebagian besar tergeser oleh peristiwa terkait anomali cuaca akibat perubahan iklim.

Secara global, 17,2 juta orang mengungsi pada 2018 dan 24,9 juta pada 2019. Angka setahun pada 2020 belum tersedia, tetapi laporan tengah tahun IDMC menunjukkan ada 9,8 juta pengungsi karena bencana alam pada paruh pertama tahun lalu.

Lebih dari 1 miliar orang diperkirakan akan menghadapi migrasi paksa pada tahun 2050 karena konflik dan faktor ekologi, sebuah laporan dari Institute for Economics and Peace ditemukan tahun lalu. Faktor ekologi ini juga terkait dengan perubahan iklim.

Di Indonesia sendiri, bencana iklim seperti banjir juga merupakan momok yang selalu menyebabkan banyak orang terpaksa harus mengungsi setiap tahunnya. Banjir awal tahun 2020 di ibu kota Jakarta misalnya, seperti diberitakan Kompas.id, telah menyebabkan setidaknya 31.232 orang terpaksa harus mengungsi.

Penelitian LIPI

Hasil penelitian LIPI dari catatan rekaman iklim di karang teluk Kupang Timor sejak 1914 menunjukkan bahwa variabilitas suhu dan salinitas pada skala antar tahun di wilayah tersebut berkorelasi kuat dengan Indian Ocean Dipole (IOD), sedangkan El Nino Southern Oscillation ENSO hanya berkorelasi dengan suhu.

Indian Ocean Dipole (IOD) adalah kondisi interaksi laut-atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia tropis. Selama fenomena IOD positif, suhu permukaan laut secara anomali menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di bagian timur lebih dingin dari normalnya.

Studi ini menunjukkan pengaruh mode iklim Indo-Pasifik terhadap variabilitas suhu dan salinitas di jalur arus lintas indonesia (Arlindo) sangat kompleks. Penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature tahun 2020, hasil kerjasama tim LIPI dengan peneliti dari Australia, Amerika Serikat, Taiwan, dan Cina menghasilkan rekonstruksi variabilitas IOD menggunakan arsip iklim karang dari wilayah bagian timur Samudra Hindia (yaitu di pesisir barat Sumatra dan selat Sunda).

“Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa fenomena seperti IOD positif seperti yang terjadi pada tahun 2019 lalu dulunya jarang terjadi, namun sekarang peristiwa semacam ini menjadi lebih sering terjadi,” kata peneliti iklim dan lingkungan masa lampau Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Sri Yudawati Cahyarini

Artinya, akibat perubahan iklim bencana makin sering terjadi.

NATIONAL GEOGRAPHIC |

SHARE