Penasihat KLHK Beberkan Keterlibatan KPK Hapus Limbah Batu Bara
Penulis : Tim Betahita
Tambang
Kamis, 25 Maret 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Agus Pambagio mengungkap keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kebijakan (FABA) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Ia mengaku pihaknya bersama KLHK yang meminta KPK melakukan riset dan analisa terhadap pengelolaan FABA PLTU di PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero).
"Itu (pengelolaan limbah FABA PLTU) jadi cost korupsi. Lalu kami minta KPK meneliti. Dan itu benar," tuturnya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, kemarin.
Agus menceritakan wacana pencabutan limbah FABA dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) sudah dibahas KLHK sejak dua tahun lalu. Ia menyebut ada tiga faktor yang menyebabkan pembahasan tersebut, yakni pengujian klinis, biaya pengelolaan yang mahal dan potensi korupsi.
Ia mengatakan ketika FABA PLTU masih dalam kategori B3, ada beberapa aturan yang membebani dari sisi biaya. Contohnya, kata dia, perusahaan harus membuat analisis dampak lingkungan (amdal) sebelum mengelola limbah.
Sementara, Agus menyebut untuk membuat amdal dibutuhkan ongkos sekitar Rp400 juta. Belum lagi jika PLTU berada di luar Pulau Jawa.
Ia mengatakan saat ini pengelolaan limbah B3 baru ada di Jawa, sehingga ada biaya ongkos pengiriman limbah.
Faktor-faktor ini menurutnya membuat banyak PLTU memilih tidak mengelola FABA. Namun ketika limbah B3 ditumpuk dalam waktu dan mencapai ketinggian tertentu, peraturan perundang-undangan menginstruksikan denda hingga Rp3 miliar kepada PLTU.
"Itu denda Rp1-3 miliar. Lalu ada oknum-oknum aparat yang bilang tidak usah dibayar, sekian ratus juta saja pada saya. Kan itu jadi cost korupsi," beber Agus.
Agus mengatakan penemuan itu pun sejalan dengan hasil riset KPK terhadap pengelolaan FABA di PT PLN. Dalam kajiannya, tutur Agus, KPK menemukan ada ruang potensi korupsi jika FABA PLTU masih diatur dalam kategori B3.
Terkait potensi longgarnya pengawasan FABA PLTU karena sudah tidak masuk kategori B3, ia mengaku sudah menyarankan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya agar membentuk tim pengawasan khusus.
Namun klaim Agus soal biaya pengelolaan dalam pertimbangan pencabutan FABA dari B3 itu ditampik Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati. Ia enggan menyatakan pertimbangan pencabutan FABA PLTU dari B3 karena biaya pengelolaan yang mahal.
"Tidak betul (pencabutan) karena alasannya adalah pengelolaan limbah B3 mahal sehingga (FABA PLTU) dikeluarkan dari limbah non3. Pertimbangannya adalah bahwa dengan kajian teknis dan uji karakteristik, maka (FABA PLTU) tidak memenuhi limbah B3," kata Vivien kepada CNNIndonesia.com.
Ia mengatakan KLHK juga tidak akan membentuk tim pengawasan khusus. Pengawasan terhadap FABA PLTU tetap dilakukan seperti halnya pengawasan terhadap B3 sesuai aturan pengelolaan lingkungan oleh pejabat pengawas lingkungan.
Meskipun demikian, Vivien menegaskan dengan dikeluarkannya FABA PLTU dari kategori B3 bukan berarti limbah bisa dibuang sembarang. PLTU tetap harus mengikuti standar pembuangan dan pengelolaan limbah yang sudah diatur KLHK.
"Jika ditemukan ada limbah non B3 yang dibuang sembarangan akan ditindak oleh Ditjen Gakkum (Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum KLHK)," tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan pengkategorian FABA sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi. Ia menyebut pengelolaan FABA dalam B3 berdampak pada peningkatan biaya.
Pelaksana tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan akan segera membuka kajian dibalik rekomendasi KPK kepada Presiden Joko Widodo agar FABA PLTU dicabut dari kategori B3 2020 lalu.
SHARE