Putusan Bebas Kasus Karhutla PT KS Menuai Tanggapan Negatif
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Karhutla
Rabu, 24 Februari 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Putusan bebas yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, terhadap PT Kumai Sentosa dalam kasus pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memicu reaksi dari berbagai kalangan. Baik dari lembaga masyarakat sipil, pegiat hukum maupun akademisi.
Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menambahkan, dalam penegakan hukum, khususnya perkara lingkungan hidup, hakim tentunya perlu memperhatikan asas pro natura. Yang mana kepentingan lingkungan hidup harus menjadi prioritas utama.
"Lalu, pertanggungjawaban dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup juga clear, kita mengenal strict liability yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan dalam diri pelaku," kata Roni, Selasa (23/2/2021).
Roni menjelaskan, konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak ini berbeda dengan sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa.
"Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka keadaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran."
Roni mengatakan, putusan bebas atau vrijspraak yang diberikan PN Pangkalan Bun terhadap PT KS ini menambah panjang daftar kekalahan Negara melawan korporasi dalam peradilan kasus pidana karhutla, yang berjalan di peradilan tingkat pertama.
Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Auriga Nusantara, terdapat setidaknya tiga kasus pidana karhutla, selain kasus PT KS, yang mana Negara kalah pada peradilan tingkat pertama atau di pengadilan negeri. Yakni kasus pidana karhutla PT Langgam Inti Hebrindo (LIH) 2015 (bebas di PN dan bersalah di MA), PT Ricky Kurniawan Kertapersada 2015 (bebas di PN dan bersalah di MA) dan PT Kaswari Unggul 2015 (bebas di PN, belum ada putusan kasasi MA).
Terpisah, Prof. Dr.Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hutan dan lahan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang juga sebagai saksi ahli yang diajukan oleh JPU pada persidangan kasus pidana karhutla PT KS juga memberikan tanggapan.
Kepada media, Bambang Hero mengaku sangat terkejut dengan putusan bebas yang diberikan oleh Majelis Hakim PN Pangkalan Bun kepada PT KS. Salah satu hal yang membuat miris adalah karena akibat kebakaran gambut tersebut, selain melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfir yang seharusnya tidak boleh terjadi, juga telah memangsa gambutnya sendiri hingga kedalaman tertentu.
"Saya tidak meributkan putusan, itu adalah hak para Yang Mulia yang dengan keyakinnya sampai kepada kesimpulan bahwa kebakaran itu adalah bencana. Namun yang ingin saya sampaikan itu adalah hak konstitusi warga akan lingkungan yang lebih baik seperti diamanatkan dalam UUD 1945," kata Bambang Hero, Selasa (23/2/2021).
Selanjutnya, Bambang Hero juga merasa janggal terhadap putusan pidana yang diberikan Majelis Hakim kepada PT KS. Karena Majelis Hakim malah mengadopsi kerugian akibat kebakaran sebagai kerugian negara dan bukan kerugian lingkungan hidup, seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 dan KKMA No. 36 Tahun 2013. Sehingga yang berhak menghitung kerugian tersebut adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan bukan pihak yang ditunjuk oleh Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sesuai PermenLH No.7 Tahun 2014.
"Padahal semua itu sudah diatur dalam KKMA No. 36 Tahun 2013. Apalagi salah seorang anggota majelis hakimnya telah bersertifikat lingkungan hidup, setelah lulus melalui pelatihan sertifikasi Hakim LH (lingkungan hidup) MA (Mahkamah Agung). Seharusnya Yang Mulia itu tahu persis isi KKMA tersebut. Apalagi dengan jargon IndoBio Pro Natura."
Bambang Hero melanjutkan, Putusan PN Pangkalan Bun tersebut secara tegas menyatakan bahwa tampaknya KKMA No. 36 Tahun 2013 tidak terlalu mendapat perhatian. Padahal KKMA tersebut mengatur tentang penanganan perkara lingkungan hidup. Selain itu putusan yang menyatakan bahwa kebakaran terjadi akibat bencana dan korporasi menjadi korban, juga menjadi perhatian khusus lainnya.
"Karena, dengan tegas putusan tersebut ingin mengatakan bahwa sarana prasarana dan kewajiban lain telah terpenuhi, sehingga dengan berbekal ketidakmampuan melindungi dari kebakaran maka kepada pihak PT KS seolah mendapat perlindungan dengan melegalkan kebakaran yang terjadi meskipun tidak seperti itu yang terjadi sesuai dengan scientfic evidence yang telah disampaikan dimuka persidangan."
Apalagi, kata Hero, kebakaran tersebut tidak hanya terjadi pada periode itu saja. Yang menegaskan bahwa paling tidak sudah ada kelalaian dilakukan, yang berujung pada pembiaran. Namun tampaknya diartikan lain dalam putusan yang berujung pada pelegalan terhadap kebakaran yang terjadi. Hal ini tentu saja mempunyai implikasi buruk bagi upaya-upaya serius yang telah dilaksanakan dalam pengendalian karhutla dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik.
"Semoga saja pada putusan selanjutnya akan menjadi lebih baik dan berpihak pada lingkungan serta tidak menjadikan putusan PN tersebut sebagai rujukan untuk melakukan pembakaran karena dilegalkan atas nama bencana dan melepaskan tanggung jawab pemulihan kerusakan lingkungan yang terjadi dengan mengatasnaman kerugian tersebut sebagai kerugian negara sehingga harus BPKP yang menilai dan bukan kerusakan lingkungan seperti yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 dan KKMA No. 36 Tahun 2013."
Di kesempatan lain, Aryo Nugroho Waluyo dari LBH Palangka Raya menilai, Majelis Hakim PN Pangkalan Bun dalam memutus perkara No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu tidak mendasarkan kepada aspek kerugian lingkungan yang terungkap pada fakta-fakta persidangan.
Menurut Aryo, hal tersebut mencerminkan lemahnya perlindungan lingkungan hidup, khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan menyebabkan rentannya hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat di Kalteng.
"Putusan No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu menjadi pertanda yang tidak baik bagi penegakan hukum lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah. Dimana putusan ini bisa dimaknai sebagai kekuatan modal bisa melindungi perusahaan dari jerat hukum sedangkan masyarakat umum di vonis bersalah," kata Aryo, dalam siaran pers yang dipublikasikan LBH Palangka Raya, Senin (22/2/2021).
Aryo melanjutkan, pertimbangan hakim dalam Putusan No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu yang menyatakan bahwa peristiwa kebakaran tersebut merupakan peristiwa bencana alam atau force majeur merupakan pertimbangan yang kami anggap keliru karena Hakim tidak mempertimbangkan unsur kelalain dari PT.Kumai Sentosa yang tidak memadamkan api kebakaran pada saat masih kecil sebelum membesar dan meluas sehingga tidak bisa dikendalikan.
Putusan Majelis Hakim PN Pangkalan Bun itu tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta agar langkah penegakan hukum dilakukan tanpa kompromi, berikan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melakukan pembakaran hutan dan lahan, baik itu di konsesi milik korporasi, milik perusahaan, maupun di masyarakat sehingga timbul efek jera.
"Terapkan sanksi yang tegas bagi pembakar hutan dan lahan, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana," kata Presiden Jowo Widodo seperti dikutip dalam siaran pers KLHK.
Seperti diketahui Majelis Hakim yang diketuai Heru Karyono, didampingi oleh Muhammad Ikhsan dan Iqbal Albanna, sebagai anggota, memberikan putusan bebas (vrijspraak) terhadap PT KS, dalam kasus pidana karhutla tahun 2019. Putusan bebas itu diputuskan pada Rabu 17 Februari 2021 lalu. Kasus PT KS ini sebelumnya didaftarkan ke PN Pangkalan Bun pada 8 September 2020 lalu. Dengan No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu.
Kalau dilihat dari dakwaannya, PT KS dianggap dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 99 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a jo pasal 119 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu PT KS juga dituntut dengan pidana denda sebesar Rp2 miliar dan pidana tambahan Rp935 miliar, akibat terjadinya kebakaran lahan seluas kurang lebih 2.600 hektare.
SHARE