Pidana Tambahan bagi Perusak Lingkungan Sulit Diterapkan

Penulis : Tim Betahita

Hukum

Selasa, 16 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi Peradilan (LeIP), Arsil menilai pidana tambahan untuk badan usaha dalam perkara pidana lingkungan hidup, berpotensi sulit dilaksanakan. Penyebabnya, berdasarkan kajian LeIP, karena pengaturannya belum jelas.

Hasil penelitian LeIP terhadap putusan kasus lingkungan periode 2016-2019 menemukan total 643 putusan perkara lingkungan meliputi 406 pidana, 73 perdata, dan 164 TUN. Khusus untuk perkara lingkungan hidup, ada 58 putusan dengan kasus paling banyak terkait pelanggaran pengelolaan limbah B3 dan pembuangan limbah ilegal.

“Kami menemukan ada 10 perkara dengan terdakwa badan usaha. Dari 10 perkara itu, 9 terbukti bersalah dan 6 dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib, 4 terpidana dijatuhi pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana,” kata Arsil dalam diskusi publik secara daring bertajuk “Eksekusi Tindakan Perbaikan Akibat Pidana Lingkungan”, yang digelar beberapa waktu lalu

Dari empat putusan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana lingkungan itu, Arsil menyebut 2 putusan menyebut detail pidana tambahan yang dijatuhkan. Misalnya, dalam putusan bernomor 228/Pid.Sus/2013/PN.Plw dengan terdakwa PT. Adei Plantation, menjatuhkan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran hutan seluas 40 hektar melalui pemberian kompos dengan biaya sebesar Rp15 miliar.

Pengadilan Negeri Jambi memutus PT ATGA bersalah atas karhutla di lahan konsesi dengan denda Rp590,5 miliar. Foto: Istimewa

(Baca juga: Advokat Dorong Ekosida Menjadi Kejahatan Internasional)

Untuk putusan yang tidak memuat detail pidana tambahan, seperti termuat dalam putusan bernomor 25/Pid.B-LH/2019/PN.Nla dengan terdakwa PT. Prima Indo Persada, menjatuhkan pidana tambahan atau tindakan teta tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana.

Menurut Arsil, model putusan terkait bentuk pidana tambahan praktiknya tidak seragam karena ada hakim yang memerintahkan detail apa yang harus dilakukan, dan ada yang tidak. Dari kedua putusan tersebut terlihat adanya perbedaan bagaimana amar putusan pidana tambahan dijatuhkan dimana yang satu menyebutkan secara cukup rinci apa yang harus dilakukan terdakwa sementara dalam putusan lainnya tidak.

Perbedaan putusan, kata Arsil, disebabkan tidak ada ketentuan yang mengatur parameter untuk menentukan apakah pidana tambahan itu telah selesai dilakukan atau belum. Kemudian, tidak jelas juga soal apa konsekuensi hukum jika pidana tambahan tidak dilaksanakan secara penuh atau sebagian.

“Berbagai persoalan ini berpotensi mempersulit eksekusi pidana tambahan,” kata dia.

Arsil menekankan perlunya instrumen hukum agar pidana tambahan itu dapat dilaksanakan. Misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi ada mekanisme uang pengganti, penyitaan dan perampasan kekayaan atau pidana pengganti.

Menurutnya, UU PPLH luput mengatur instrumen pemaksa ini dalam upaya eksekusi pemulihan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum.

“Ini merugikan lingkungan hidup,” kata dia.

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai salah satu upaya melindungi kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat terdampak. Salah satu ketentuan yang terkait dengan hal ini adalah adanya sanksi pidana tambahan berupa perbaikan (pemulihan) akibat tindak pidana lingkungan hidup yang diatur Pasal 119 huruf c. Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan hakim apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha.

UU PPLH itu mengatur ada 5 bentuk pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang dapat dikenakan untuk badan usaha. Pertama, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Kedua, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, perbaikan akibat tindak pidana. Keempat, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak. Kelima, penempatan perusahan di bawah pengampuan paling lama 3 tahun.

Menanggapi persoalan itu, Asisten Khusus Jaksa Agung, Narendra Jatna, mengusulkan perbaikan mengenai pengaturan eksekusi pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang dapat dikenakan untuk badan usaha melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dimandatkan Perubahan Pasal 55 UU PPLH dalam UU Cipta Kerja. Pasal 55 itu, pada intinya mengatur tentang kewajiban pemegang izin atau persetujuan wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Dengan pengaturan lewat PP ini, Narenda menyebut penjatuhan pidana tambahan atau tindakan tata tertib tidak perlu dibuat detail dalam putusan.

“Tidak perlu dimasukan detail dalam putusan, yang penting dijelaskan detail dalam PP saja,” ujarnyanya.

Peneliti ICEL, Marsya Mutmainah Handayani, mengatakan tujuan pemidanaan dalam perkara lingkungan hidup, antara lain terdapat dalam Pasal 3 UU PPLH.

Kejahatan lingkungan hidup banyak dilakukan korporasi karena dampaknya sangat besar. Dalam praktiknya, perkara lingkungan sanksi yang dijatuhkan kebanyakan pidana dan denda. Menurutnya, pidana denda tidak serta merta dapat langsung digunakan untuk kepentingan lingkungan hidup karena denda yang dibayar itu masuk menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Marsya menambahkan yang menjadi korban dalam perkara lingkungan hidup yakni lingkungan itu sendiri. Karena itu, lingkungan sebagai korban harus mendapat keadilan melalui pidana tambahan berupa pemulihan lingkungan. “Prinsip dalam lingkungan hidup itu pencemar yang membayar yakni korporasi yang merusak lingkungan hidup, bukan negara yang harus menanggulangi kerusakan berikut dampaknya.”

| HUKUMONLINE

SHARE