Menteri KLHK Izinkan Hutan Lindung Jadi Food Estate
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Deforestasi
Selasa, 17 November 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate mendapat tanggapan negatif dari elemen masyarakat sipil. Penerbitan Permen ini dianggap bakal memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.
Salah satu konsekuensi logis atas penerapan Permen ini adalah semakin lajunya penebangan hutan alam. Pengecualian kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR) juga dinilai mempertegas keberpihakan negara pada investasi.
Baca juga: Luhut Jamin Food Estate Sumut Tak Rusak Hutan, DPR Minta Kajian
"Lahirnya Permen ini semakin menegaskan muka jahat program food estate. Pada prinsipnya, food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani," ujar Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Minggu (15/11/2020).
Lebih jauh Nur Hidayati menuturkan Permen LHK P.24 Tahun 2020 ini akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia. Saat ini saja, sekitar 33,45 juta hektare atau 26,57 persen kawasan hutan telah dikaveling untuk kepentingan bisnis korporasi.
Dalam kurun waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektare kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis. Penerbitan Permen LHK P.24 Tahun 2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi.
Permen LHK P.24 Tahun 2020 ini mengatur dua skema penyediaan kawasan hutan untuk kepentingan food estate. Yaitu melalui skema perubahan peruntukan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan.
Tak hanya itu, menurut Nur Hidayati, dengan diudangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditambah munculnya aturan seperti Permen P.24 ini, akan semakin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia.
WALHI menilai, terdapat setidaknya 3 alasan mendasar mengapa pelepasan kawasan hutan untuk food estate hanya akan menambah masalah. Yang pertama, akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup.
Dalam praktiknya dan pengalaman selama ini pelepasan kawasan hutan sering kali berujung pada kerusakan lingkungan hidup. Praktik tersebut dapat dilihat dari pengalaman selama ini, sejak proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah hingga Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua.
Alasan kedua, meminggirkan rakyat dan berpotensi konflik. Pendekatan korporasi dalam skala luas, terlebih dalam konteks Permen LHK P.24 yang tidak memasukkan skema pengelolaan rakyat, justru memperpanjang ancaman potensi konflik. Nur Hidayati menilai negara seharusnya mengembalikan urusan pangan kepada petani, terlebih capaian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS) selama ini tidak signifikan.
Ketiga, menambah ancaman kerugian negara. Dalam catatan WALHI, proyek-proyek food estate justru menimbulkan banyak kerugian negara. Proyek PLG misalnya, yang setidaknya menyedot Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) hingga sekitar Rp1,6 triliun, yang pada akhirnya gagal total. Alih-alih menjadikan lumbung pangan, sebagian wilayahnya saat ini justru telah berganti menjadi perkebunan sawit.
Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan. Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas MoU Kementan-TNI dalam cetak sawah yang meninggalkan banyak catatan mulai dari pemborosan, ketidaksesuaian lokasi, hingga memotong Kawasan Hutan Lindung.
7 Persoalan Permen P.24 Tahun 2020
WALHI juga menemukan setidaknya 7 persoalan mendasar yang bersifat substansial dalam Permen P.24:
Pertama, Permen P.24 memahami bahwa food estate adalah usaha pangan skala luas, sehingga sudah barang tentu akan memiliki dampak negatif berupa deforestasi yang signifikan.
Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menimbang” yang mengaitkannya dengan pandemi Covid-19 tidak tepat. Sentralisasi pengelolaan pangan justru akan menyisakan problem distribusi yang akan memperbesar biaya dalam rantai pasok. Semestinya persoalan pangan dikembalikan kepada petani, tidak disentralisasi dan harus berbasis diversifikasi pangan. Hal tersebut tentu tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas.
Ketiga, Pernyataan Komitmen izin lingkungan dijadikan dasar mengeluarkan KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) tidak tepat. Menjadi tidak logis jika Pernyataan Komitmen dijadikan dasar, sementara alih fungsi kawasan hutan langsung dilakukan.
Keempat, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat tidak berdasar. Istilah KLHS cepat beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek Food Estate tetapi juga pada proyek Ibu Kota Negara (IKN). Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat.
Kelima, skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung.
Khusus untuk KHKP dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria. KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang.
Keenam, hutan-hutan alam yang ditebang pun diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban PSDH dan DR.
Ketujuh, KHKP yang disebutkan dalam Permen P.24 ini mengancam hutan lindung, lebih jauh lagi mengancam Wilayah Kelola Rakyat, khususnya masyarakat adat yang wilayahnya diklaim oleh Negara dalam kawasan hutan.
Pernyataan KLHK
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto menjelaskan, perubahan peruntukan kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), untuk pembangunan food estate dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Yakni harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyelesaikan UKL UPL dalam rangka perlindungan lingkungan.
Sigit menegaskan, kegiatan di lapangan tidak dapat dilakukan sebelum komitmen UKL-UPL diselesaikan. Selain itu, juga perlu mengamankan kawasan HPK yang dilepaskan.
Dalam hal untuk kepentingan reforma agraria, areal yang telah siap untuk tanaman pangan dapat dilakukan redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sigit menyebut, penetapan KHKP dapat dilakukan pada kawasan Hutan Lindung dan atau Hutan Produksi. Namun areal KHKP tidak akan dilepaskan atau tetap menjadi kawasan hutan.
Diuraikannya, kawasan Hutan Lindung (HL) yang akan digunakan untuk pembangunan food estate adalah kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Yaitu kawasan HL yang terbuka atau terdegradasi atau sudah tidak ada tegakan hutan.
Kegiatan food estate di kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung tersebut sekaligus merupakan kegiatan pemulihan atau rehabilitasi kawasan hutan lindung. Hal itu dapat dilakukan dengan beberapa pola kombinasi tanaman hutan yang akan memperbaiki fungsi HL.
Seperti kombinasi tanaman hutan (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan yang dikenal sebagai tanam wana tani (agroforestry). Kemudian kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak yang dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture) dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan yang dikenal sebagai wana mina (sylvofishery).
Sigit menyontohkan, di Jawa Barat terdapat kawasan HL yang sudah menjadi areal kebun sayur dan di Jawa Tengah, seperti di Dieng, sebagian kawasan HL sudah menjadi areal kebun kentang. Hal ini tentu dapat membahayakan fungsi pengatur tata air, pengendali erosi dan penjaga kesuburan tanah dari kawasan hutan lindung tersebut.
Secara profesional dan dalam perspektif pembangunan daerah, pembangunan food estate semestinya dilihat sebagai wilayah perencanaan untuk land use (tata guna lahan). Di dalam perencanaan land use secara teknis dikenal compound land utilization type (pengelolaan secara multiguna) dalam suatu wilayah, sehingga bukan hanya monokultur, namun juga polikultur.
Oleh karena itu, pembangunan food estate dilakukan secara terintegrasi yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perternakan dan perikanan, termasuk kawasan lindung dalam bentuk mozaik.
"Di dalam model pengembangan food estate selain untuk lahan pertanian berkelanjutan secara modern dan dengan intervensi teknologi tinggi (benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisasi, pemasaran dan lain sebagainya), juga mencakup pola kerja hutan sosial," kata Sigit, Senin (16/11/2020).
Untuk itu, imbuh Sigit, kawasan HL yang akan digunakan sebagai areal food estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan. Akan tetapi, yang terpenting harus dilakukan di kawasan HL yang memenuhi syarat sebagai HL yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya, atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi.
Sebelum implementasi kegiatan food estate, diperlukan penyusunan master plan pengelolaan KHKP, yang memuat rencana pengelolaan KHKP dan menyusun Detail Enginering Design (DED) dalam hal berkaitan KHKP yang berasal dari kawasan HL, serta penyusunan UKL-UPL dan Izin Lingkungan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini antara lain untuk menjaga keberlanjutan food estate dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dengan mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan KHKP sesuai Pasal 3 ayat 2 jelas hanya dapat diajukan permohonannya oleh pemerintah. Dalam hal ini menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati atau wali kota atau kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh pemerintah. Tidak dimaksudkan untuk swasta.
SHARE