Grup APRIL Diduga Masih Terlibat Deforestasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Rabu, 07 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Grup Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), produsen pulp dan kertas terbesar kedua di Indonesia diduga kuat melanggar komitmen nol-deforestasi yang dibuatnya sendiri. Dugaan tersebut muncul atas pembelian bahan-bahan baku kayu dari PT Adindo Hutani Lestari (AHL) yang diketahui melakukan penebangan hutan alam lebih dari 7 ribu hektare sejak 2015 lalu.

Hal tersebut mengemuka dalam laporan Membabat Hutan Tanpa Henti yang dirilis Koalisi Anti-Mafia Hutan, Selasa (6/10/2020). Dalam laporan tersebut, Koalisi menyebut hubungan dengan PT AHL mencederai komitmen nol-deforestasi Grup APRIL.

Syahrul Fitra juru bicara Koalisi Anti-Mafia Hutan mengatakan, Grup APRIL telah memiliki komitmen nol-deforestasi, namun Koalisi menemukan salah satu pemasok kayu Grup APRIL yaitu PT AHL melakukan kegiatan penebangan hutan alam dan perusakan gambut. Temuan tersebut berdasarkan informasi deforestasi yang ada dalam Peta Interaktif Webgis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Berdasarkan webgis KLHK ketika itu, menunjukkan adanya deforestasi di konsesi PT AHL. Sehingga ini menjadi salah satu latar belakang kami mendalami informasi ini. Ada deforestasi kemudian si perusahaan (Grup APRIL) ini sendiri sudah memiliki komitmen nol-deforestasi, yaitu salah satunya tidak memasok kayu dari pembukaan hutan alam dan perusakan gambut," kata Syahrul, dalam konferensi pers yang digelar virtual, Selasa (6/10/2020).

Tumpukan kayu bulat hutan tanaman industri./Foto: Auriga

Dalam laporannya, Koalisi menguraikan, sejak 2015 hingga 31 Agustus 2020, diperkirakan sekitar 7.291 hektare hutan alam dimusnahkan di dalam areal konsesi PT AHL. Luas tersebut kiranya setara dengan 10 ribu kali luas lapangan bola.

Penebangan hutan alam tersebut, 50 persen atau sekitar 3.769 hektare di antaranya, terjadi di lokasi yang telah ditetapkan sebagai areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Kemudian lebih dari 50 persen atau sekira 3.790 hektare deforestasi tersebut juga terjadi di lahan gambut, termasuk di antaranya 2.141 hektare gambut yang pada 2017 lalu ditetapkan sebagai Fungsi Lindung.

Deforestasi ini terdeteksi melalui analisis menggunakan sejumlah data. Yakni Peta Tutupan Lahan KLHK, Peta Deforestasi KLHK, Tree Cover Loss GFW 2020 atau data Hehilangan Tutupan Hutan Global yang diterbitkan oleh University of Maryland berdasarkan citra Landsat dari satelit NASA, Peta Fungsi Ekosistem Gambut KLHK 2017, Peta NKT AHL 2014 dan Citra Spot 6/7. Analisis verifikasi area deforestasi dalam konsesi PT AHL juga dilakukan dengan interprestasi visual citra satelit resolusi tinggi.

"Jadi kami menggunakan beberapa data yang kemudian itu saling cecking antara satu data dengan data lain. Jadi analisis ini dilakukan bukan bersumber hanya dari satu data saja, tapi kombinasi dari beberapa data untuk memverifikasi untuk memastikan analisis itu benar terjadi deforestasinya."

Syahrul melanjutkan, apanila dilihat dari profil pemegang saham perusahaannya. PT AHL dimiliki oleh dua perusahaan. Yaitu PT Anugrah Hijau Lestari dan PT Kreasi Lestari Pratama. Yang mana berdasarkan akta resmi PT AHL yang diterbitkan Kemenkumham, dua perusahaan pemegang saham PT AHL itu beralamat di Jalan Teluk Betung No. 36 Jakarta Pusat.

Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, imbuh Syahrul, alamat dua perusahaan tersebut ternyata berbeda dengan alamat resmi yang tertera dalam akta resminya. Karena dua pemegang saham PT ALH itu diketahui beralamat di UOB Plaza Lt. 32 dan 33 Unit 1, Jl. MH. Thamrin No. 10 Jakarta Pusat.

Koalisi yang menerbitkan laporan ini belum melihat adanya bukti PT AHL membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) atas hasil hutan kayu alam yang dipungut dari tahun 2016 sampai bulan Agustus 2020, padahal penebangan hutan alam yang terjadi terhitung sangat luas.

Komitmen Nol-Deforestasi

Penebangan hutan alam di areal PT AHL ini dianggap bertolakbelakang dengan komitmen nol-deforestasi Grup APRIL. Lantaran, selama 5 tahun terakhir PT AHL yang mengantongi Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas 181.837 hektare sesuai SK. No. 60/KPTS-II/2003 Jo SK. No. 296/MenLHK/Setjen/HPL.o/7/2018 di Kabupaten Nunukan, Malinau, Tanah Tidung dan Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara itu tercatat sebagai salah satu pemasok kayu utama ke pabrik raksasa APRIL di Riau.

Lokasi konsesi HTI PT Adindo Hutani Lestari dan pabrik pulp APRIL di Riau/Sumber: laporan Membabat Hutan Tanpa Henti

Grup APRIL telah memiliki komitmen nol-deforestasi dalam segala rantai usahanya. Yang isinya, Grup APRIL dan perusahaan induknya, Royal Golden Eagle (RGE) International berkomitmen untuk menghentikan penebangan hutan alam dan perusakan lahan gambut sejak 3 Juni 2015.

Secara rinci, pada Juni 2015, perusahaan induk APRIL, RGE, menerapkan Forestry, Fibre, Pulp & Paper Sustainability Framework (Kerangka Kerja Keberlanjutan Hutan, Serat, Pulp & Kertas) yang menonjolkan komitmen nol-deforestasi untuk seluruh anak perusahaan.

Komitmen tersebut, kemudian diperbarui pada Oktober 2017, berlaku untuk semua perusahaan RGE di seluruh dunia dan untuk semua perusahaan pihak ketiga yang memasok serat, kayu, dan pulp kepada perusahaan RGE. Pada 3 Juni 2015, Grup APRIL juga menerapkan Sustainable Forest Management Policy (SFMP) atau Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan 2.0 (SFMP 2.0).

Berdasarkan kerangka kerja tersebut, APRIL mengumumkan komitmen bahwa kebijakan tersebut berlaku efektif segera, APRIL dan para pemasoknya hanya akan mengembangkan wilayah yang tidak berhutan, sesuai hasil identifikasi melalui penilaian NKT dan Stok Karbon Tinggi (SKT) yang independen dan dinilai oleh rekan sejawat.

Selanjutnya APRIL tidak akan mengakuisisi lahan baru, atau surat izin kehutanan lainnya, atau menerima kayu dari lahan pihak ketiga di mana penjualnya setelah 3 Juni 2015 diketahui telah membuka lahan di hutan NKT atau SKT maupun lahan gambut yang berhutan.

APRIL juga mengumumkan komitmen untuk mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan terbaik di lahan gambut yang mendukung target Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memelihara nilai-nilai konservasi yang lain. Lebih spesifik lagi, APRIL berkomitmen untuk tidak ada pengembangan baru di lahan gambut yang berhutan oleh APRIL dan para pemasoknya.

PT AHL sebagai Pemasok APRIL

Berdasarkan informasi Sustainability Dashboard APRIL, PT AHL masuk sebagai salah satu dari 9 Pemasok Pasar Terbuka. Dalam keterangan penjelasannya, Pemasok Pasar Terbuka adalah pemasok serat yang tidak berkontribusi pada komitmen APRIL untuk melakukan konservasi atau restorasi satu hektare hutan untuk tiap hektare hutan industri (1 for 1) dan dikontrak untuk keperluan membeli pasokan dari pasar terbuka.

Koalisi mengungkapkan, parbik APRIL setidaknya telah menerima pasokan serat kayu dari PT AHL sejak 2006. Sejak APRIL menerapkan komitmen SFMP 2.0, 2015 lalu, PT AHL tercatat masuk dalam 5 pemasok serat kayu terbesar APRIL, terutama dari segi volume pengiriman bahan kayu ke pabrik bubur kertas APRIL, yakni PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP).

Berdasarkan laporan pemenuhan bahan baku kayu yang diajukan kepada Pemerintah Indonesia, PT RAPP menerima lebih dari setengah juta meter kubik kayu per tahun dari PT AHL pada 2016, 2018 dan 2019, serta hampir setengah juta meter kubik kayu pada 2017. Sehingga bila ditotal, pabrik APRIL di Pangkalan Kerinci itu menerima lebih dari 2,3 juta meter kubik kayu dari PT PT AHL dalam rentang waktu 2015-2019 atau setara 79 ribu truk kayu.

Ekskavator menimbun kayu bulat di lahan gambut di areal konsesi PT Adindo Hutani Lestari pada bulan Januari 2015 sebelum komitmen SFMP 2.0 APRIL mulai berlaku./Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace

Hubungan APRIL dan PT AHL Berkelindan

Klaim pihak APRIL yang menyebut PT AHL sebagai Pemasok Pasar Terbuka juga menjadi perhatian Koalisi. Lantaran ditemukan keterkaitan berlapis-lapis antara PT AHL dengan perusahaan dan individu terkait APRIL dan RGE.

Indikasi adanya hubungan APRIL dan PT AHL ini dilakukan melalui analisis terhadap dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham dan data Offshore Leaks. Yakni dengan cara mengidentifikasi pemegang saham, komisaris dan direktur pada perusahaan terkait, identifikasi keterkaitan perusahaan induk di luar wilayah Indonesia, berdasarkan data Offshore Leaks (ICIJ).

Kemudian verifikasi domisili perusahaan dengan lokasi yang diketahui sebagai alamat APRIL dan RGE, dan untuk meminimalkan kesalahan nama, bila memungkinkan, tanggal lahir juga dicocokkan antardokumen.

Alhasil Koalisi menemukan bahwa PT AHL dikendalikan oleh individu tertentu yang menjadi pemilik atau berafiliasi erat dengan APRIL dan RGE. Selanjutnya diketahui pula bahwa komisaris, direktur dan pemegang saham di dalam struktur kepemilikan PT AHL saat ini memiliki hubungan dengan APRIL. Antara lain, atas nama Protasius, Daritan, Hartono Wisastra, Dedy Sutanto dan Ferdinand Flores.

Berikutnya, Koalisi juga mendapati struktur kepemilikan PT AHL memiliki alamat yang sama dengan kantor pusat APRIL di Jakarta, serta PT Asian Agri dan PT Toba Pulp Lestari Tbk. di Medan, Sumatera Utara. Selain itu, PT AHL pernah beralamat di Jalan Teluk Betung No. 36 di Jakarta tampaknya juga terkait dengan RGE atau APRIL.

Pemegang saham tidak langsung PT AHL termasuk perusahaan yang didirikan di British Virgin Island (BVI), sebuah kawasan yang terkenal dengan tarif pajak rendah. Data dari Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) menunjukkan bahwa pemegang saham perusahaan tidak langsung PT AHL terhubung dengan perusahaan yang diketahui terafiliasi dengan Grup RGE dan atau perusahaan afiliasinya.

"Koalisi yang menerbitkan laporan ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa individu, perusahaan, atau entitas lain yang disebutkan dalam laporan ini telah melanggar hukum. Koalisi juga belum melihat adanya bukti PT AHL telah menyampaikan laporan kepemilikan manfaat dengan Ditjen AHU Kemenkumham," tambah Syahrul.

APRIL Terindikasi Lakukan Deforestasi di Sumatera

Selain di Kalimantan, APRIL juga terdeteksi melakukan deforestasi di Sumatera. Seperti disampaikan Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Okto Yugo. Di kesempatan sama, Okto mengungkapkan, bukan hanya dilakukan di Kalimantan, Grup APRIL sebelumnya juga sudah lebih dulu terlibat dan atau melakukan penebangan hutan alam di Sumatera, khususnya di Riau.

Lebih jauh Okto menjelaskan, di Riau khususnya, saat ini terdapat 75 perusahaan HTI yang beroperasi dan mengokupasi lahan seluas 2,3 juta hektare. Sebanyak 1,46 juta hektare di antaranya berada di dalam kawasan gambut.

Jikalahari mencatat, sejauh ini terdapat 42 perusahaan yang terafiliasi dengan APRIL sebagai pemasok, yang di antaranya merupakan perusahaan HTI dan HPH. Termasuk di antaranya PT RAPP yang memiliki 12 konsesi HTI dengan total seluas sekira 373.838 hektare. PT RAPP merupakan perusahaan operasional milk Grup APRIL yang berlokasi di Pangkalan Kerinci, Riau.

Bila ditotal, gabungan luas areal konsesi 42 perusahaan yang berafiliasi dengan Grup APRIL ini jumlahnya sekitar 1,04 juta hektare. Menurut Okto, sebagian besar kawasan yang dikuasai 42 perusahaan yang terafiliasi dengan APRIL tersebut sebelumnya merupakan hutan alam.

"Sebelum mereka (APRIL) datang, mayoritas sangat dominan adalah hutan alam. Jadi pasti operasi mereka menebang hutan alam," kata Okto Yugo, Selasa (6/10/2020).

Okto menyebut, ada atau tanpa SFMP, Grup APRIL tetap berkelanjutan merusak hutan alam di Riau. Anggapan tersebut ada alasannya. Okto mengungkapkan, pada 2013, sebelum SFMP jilid pertama atau 1.0 berlaku, salah satu pemasok APRIL, yakni PT Triomas FDI Pelalawan, diketahui melakukan penebangan hutan alam seluas 2.500 hektare. Bahkan tak sedikit pohon ramin yang ditebang kala itu, padahal ramin termasuk tumbuhan yang dilarang untuk ditebang, karena langka dan hampir punah.

Namun setelah SFMP 1.0 berlaku, kegiatan penebangan hutan alam oleh perusahaan yang terafiliasi dengan APRIL ternyata tidak juga berhenti. Pada Oktober 2014 PT RAPP yang berlokasi di Pulau Padang, Kepulauan Meranti diketahui melakukan penebangan hutan alam. Penebangan hutan alam itu didalihkan bahwa areal tersebut tidak masuk dalam HCVF APRIL.

"Deforestasi terus terjadi di area konsesi APRIL, dari 2013 hingga 2015. Dalam 2 tahun areal hutan berkurang sebesar 37.362 hektare. Dan angka tertinggi dipegang oleh PT RAPP Blok Pulau Padang seluas 15.872 hektare."

Setelah SFMP jilid dua atau 2.0, lanjut Okto, APRIL masih juga merusak hutan Riau. Dua tahun komitmen SFMP 2.0, pada 28 Januari 2016, APRIL belum melakukan perubahan besar dan mendasar dalam cara-cara perusahaan beroperasi. Pemenuhan kewajiban terkait pencegahan kebakara, perlindungan gambut, pemenuhan kewajiban tata ruang HTI dan konflik dengan masyarakat masih menjadi persoalan yang belum terjawab oleh SFMP.

Okto juga mengungkapkan, APRIL juga memanfaatkan perhutanan sosial untuk menebang hutan alam. Itu seperti terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Jikalahari menemukan Grup APRIL melalui PT Nusa Prima Manunggal berencana melakukan penebangan hutan alam di areal Koperasi Koto Intuak. Koperasi ini mendapatkan Izin HKm pada 2018 dengan SK.4433/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.O/6/2018 seluas 1.565 hektare pada kawasan hutan produksi terbatas di Desa Pulau Padang, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singigi.

Jikalahari menemukan bahwa pengajuan izin HKm Koperasi Koto Intuak diinisasi oleh PT Nusa Prima Manunggal yang berafiliasi dengan APRIL. Hal ini jelas bertentangan dengan komitmen SFMP APRIL poin I huruf G yang menyatakan APRIL dan para pemasoknya menghentikan penebangan hutan alam. Rencananya kayu hasil penebangan hutan alam akan dijual kepada PT RAPP, dan hal ini juga bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019.

Konsesi PT AHL Terbakar

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin mengungkapkan, selain terjadi penebangan hutan alam dan kerusakan gambut lindung, di konsesi PT AHL juga pernah terjadi beberapa kali kebakaran. Yakni pada 2015 seluas 4.789 hektare, kemudian pada 2016 seluas 1.450 hektare dan pada 2019 seluas 180 hektare.

"Ini menandakan, adanya kebakaran di konsesi mereka (PT AHL) dari tahun 2015, 2016 dan juga 2019, salah satu bentuk tidak complence-nya perusahaan terhadap regulasi yang ada. Artinya apa, artinya mandat regulasi itukan meminta perusahaan agar bisa mencegah areal kerjanya dari kebakaran. Namun data yang kita punya mengindikasikan mereka gagal untuk mencegah kebakaran di areal konsesinya," kata Rusmadya Maharuddin, Selasa (6/10/2020).

Kebakaran tersebut, tambah Rusmadya, tentu memiliki implikasi hukum, sehingga dapat dikenakan sanksi. Banyak terdapat regulasi berhubungan dengan kebakaran yang bisa digunakan. Baik itu sanksi administrasi, perdata maupun pidana. Sanksi administrasi dapat berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin dan pencabutan izin.

"Ibu Menteri sendiri sudah bilang, kalau seandainya perusahaan ketika diberikan sanksi katakanlah pembekuan izin kemudian dia gagal itu bisa meningkat pada pencabutan izin. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah sudah mengimplementasikan sanksi-sanksi ini apa tidak?"

Rusmadya juga menyoroti pengaruh omnibuslaw atau Undang-Undang Cipta Kerja terhadap lingkungan. Dijelaskannya, perubahan klausul tentang tanggung jawab perusahaan dalam melindungi areal kerjanya dari kebakaran, akan melemahkan komitmen pemerintah dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan terjadi, terutama hubungannya dengan proses penegakan hukum.

"Di dalam Undang-Undang 41 tentang Kehutanan dalam pasal 49 itu disebutkan bahwa tanggung jawab pemegang izin untuk melindungi areal kerjanya dari kebakaran. Nah di dalam Undang-Undang Omnibuslaw yang baru, kata tanggung jawab itu ditambah dengan kata yang lain di depannya. Jadi ada penambahan kata berusaha. Artinya di dalam omnibuslaw, tanggung jawab perusahaan itu tidak tegas menyatakan itu adalah tanggung jawab mereka, tapi berusaha untuk bertanggung jawab."

Tanggapan APRIL

Tudingan keterlibatan Grup APRIL dalam aktivitas deforestasi ini mendapat tanggapan dari pihak APRIL. Juru bicara APRIL, Agung Laksamana mengatakan, pihaknya telah menyampaikan bukti-bukti komprehensif untuk menunjukkan bahwa tidak terjadi deforestasi di area-area yang disebutkan dalam klaim Auriga (salah satu anggota Koalisi), dan bahwa tidak ada pelanggaran atas komitmen SFMP 2.0 APRIL.

"Kami juga telah menyampaikan kepada Auriga tanggapan dari PT AHL kepada APRIL perihal klaim sehubungan dengan struktur kepemilikan antara APRIL atau Grup RGE dan PT. AHL," kata Agung, Selasa (6/10/2020).

Lebih jauh Agung menjelaskan, PT AHL telah merampungkan assessment NKT atau High Conservation Value (HCV) pada bulan Februari 2014, yang di dalamnya terdapat Ringkasan Eksekutif, termasuk beberapa peta, yang bisa dilihat pada Dasbor Keberlanjutan (Sustainability Dashboard) APRIL (AHL HCV). Yang mana berdasarkan hasil assessment HCV ini, PT AHL saat ini melakukan konservasi atas 89.181 hektare lahan atau 47 persen dari keseluruhan luas area konsesinya.

Angka ini hampir dua kali lipat dari luas area yang dikembangkan untuk perkebunan, yaitu total seluas 50.388 hektare atau hanya 26 persen dari area konsesi. Hal ini berarti bahwa terdapat rasio yang sangat tinggi antara konservasi dan perkebunan, yaitu 1,8:1.

"Kami menanggapi klaim apa pun terkait deforestasi secara serius, dan setelah dilakukan investigasi, termasuk pengecekan kebenaran di lapangan, kami dapat menegaskan bahwa tidak ada deforestasi maupun pelanggaran atas komitmen kebijakan SFMP 2.0 kami. Fakta-fakta yang ada ialah sebagai berikut."

  • Antara 3 Juni 2015 dan 31 Agustus 2020, perkebunan seluas 8.387 hektare dibentuk di area PT AHL. Area perkebunan tersebut tidak ada yang terletak di area HCV yang telah diidentifikasi. Hal ini dibuktikan melalui analisis atas peta asli HCV serta perbandingan antara peta-peta yang menunjukkan area HCV dan area konservasi pada tahun 2015 dan tahun 2020 yang didasarkan pada analisis pengindraan jarak jauh.
  • Kegiatan penyiapan lahan untuk keseluruhan 8.387 hektare perkebunan telah rampung sebelum 15 Mei 2015, sebagaimana telah diverifikasi secara independen oleh PT Hatfield Indonesia, konsultan di bidang lingkungan hidup yang ahli di bidang pengindraan jarak jauh. Analisis PT Hatfield menegaskan bahwa area-area tersebut ialah area non-HCV dan dengan hasil hutan yang telah dipanen sebelum batas tanggal 15 Mei 2015 per SFMP 2.0 APRIL.
  • Dari 8.387 hektare tersebut, seluas 6.058 hektare digolongkan sebagai gambut, dan lahan gambut tersebut tidak berada di area Puncak Kubah Gambut yang dilindungi.
  • Sama halnya dengan semua pemasok serat kami, PT AHL harus menjalani proses uji tuntas (due diligence) internal tahunan serta pemerolehan assurance yang dilakukan secara independen oleh KPMG sebagai bagian dari komitmen SFMP kami. Laporan audit KPMG dapat dilihat oleh publik (KPMG). PT AHL juga harus mengikuti sistem pemantauan Perubahan Tutupan Lahan APRIL yang menganalisis data Landsat bulanan untuk melihat apakah terjadi perubahan tutupan hutan.
  • Sebagaimana disebutkan oleh Auriga dalam surat mereka kepada APRIL, kegiatan pengembangan perkebunan selama periode 3 Juni 2015 sampai dengan 31 Agustus 2020 telah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta sejalan dengan komitmen SFMP 2.0 dan panduan HCV APRIL.

Terkait struktur kepemilikan dan kelembagaan, Agung mengakui, PT AHL merupakan pemasok APRIL, termasuk pada periode 2015 sampai dengan 2019. Pihaknya telah menyampaikan korespondensi dari PT AHL dengan Auriga yang di dalamnya memuat klarifikasi tentang kepemilikan perusahaan dan secara jelas menyatakan bahwa tidak ada saham PT AHL yang pernah dipegang oleh pemilik saham APRIL ataupun RGE.

"Selain itu klaim terkait kepemilikan perusahaan atau hubungan manajemen antara PT AHL dan APRIL atau RGE juga telah dibantah."

Kemudian mengenai proses assurance yang dilakukan oleh KPMG, yang diberlakukan pada pemasok pasar terbuka dan juga pada PT AHL. Agung menyebutkan beberapa fakta. Yakni:

  • KPMG melakukan audit tahunan berdasarkan arahan dari Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) sehubungan dengan implementasi APRIL atas komitmen SFMP kami. Audit tersebut dilakukan dengan menggunakan indikator yang telah disepakati, yang disusun bersama dengan berbagai pemangku kepentingan.
  • Sebagai bagian dari proses pemerolehan keyakinan, KPMG telah mendatangi PT AHL pada 9-12 April 2018, yang didahului dengan telaah dokumen secara komprehensif.
  • Laporan KPMG menyebutkan bahwa "Terkait Pemasok Pasar Terbuka, hingga saat ini tidak ada pengembangan baru yang teridentifikasi, namun belum semua informasi diperoleh dari para pemasok". Hal ini memunculkan Peluang Perbaikan (Opportunity for Improvement) (OFI#1).
  • OFI#1 terkait dengan prosedur pemantauan Perubahan Tutupan Lahan (LCC/Land Cover Change) APRIL yang digunakan untuk mengidentifikasi pengembangan baru. KPMG mencatat bahwa masih ada sekitar 511 hektare LCC dari Pemasok Pasar Terbuka yang masih belum diverifikasi, dan bahwa sebagian besar (82 persen) terkait dengan satu pemasok (yang bukan PT AHL).
  • OFI#1 kemudian telah dinyatakan ditutup, dengan adanya perbaikan prosedur serta pelaporan yang lebih baik dari para pemasok kami.
  • Laporan assurance ini dapat dilihat oleh publik (Laporan 2017) termasuk seluruh laporan tahunan (semua laporan). 

 

SHARE