LIPI: Sebaran Karhutla Tergantung Iklim, Lokasi, Penggunaan Lahan

Penulis : Betahita.id

Karhutla

Rabu, 30 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Hasil penelitian LIPI tentang kebakaran hutan dan lahan atau karhutla yang diterbitkan di jurnal ilmiah Global Environmental Change menunjukkan bahwa sebaran dan intensitas karhutla mempunyai pola tertentu bergantung pada kondisi iklim tahunan, lokasi dan sektor penggunaan lahan.

Baca juga: Melacak Jejak Karhutla 2019: 64 Perusahaan Disegel, 8 Tersangka

Secara umum, karhutla terjadi setiap tahun. Namun kajian LIPI menemukan bahwa karhutla dengan sebaran yang sangat luas dan intensitas sangat tinggi terjadi pada saat kondisi iklim sedang mengalami musim kemarau panjang dengan curah hujan sangat rendah, atau sering disebut El-Nino, demikian ditulis dalam laman LIPI, Selasa, 29 September 2020

Pada tahun-tahun kering tersebut, misalnya 2002, 2006 dan 2015, kejadian karhutla meningkat secara eksponensial, bahkan hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun-tahun biasa. Kejadian karhutla juga berkaitan erat dengan lokasi di mana kebakaran tersebut terjadi.

Lahan gambut yang terdegradasi berat dengan tutupan hutan yang terbatas mengalami kebakaran jauh lebih parah dibandingkan pada lahan non-gambut dengan kondisi hutan yang masih baik. Lahan gambut terbentuk dari tumpukan material organik tumbuhan yang tidak membusuk dengan sempurna karena adanya genangan air.

Pada kondisi aslinya dengan tutupan hutan yang baik, lahan gambut hampir selalu basah sepanjang tahun. Namun seringkali, untuk pembukaan lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan, hutan pada lahan gambut ditebang dan gambutnya dikeringkan dengan cara membuat kanal.

Dapat dibayangkan, gambut kering dengan tutupan hutan yang minim tersebut menjadi bahan bakar yang awet, terutama pada tahun-tahun kemarau panjang. Selain iklim dan kondisi lahan, sektor penggunaan lahan juga menentukan pola dan tingkat keparahan karhutla.

Pada tahun-tahun dengan musim kemarau yang pendek, karhutla dengan intensitas rendah terutama terjadi pada daerah yang didiami masyarakat tradisional yang bergantung pada sektor pertanian subsisten. Masyarakat tersebut umumnya berada di pelosok atau sekitar hutan dan terbiasa mempraktekkan pola ladang berpindah.

Namun, pada saat tahun-tahun kering El-Nino, karhutla dengan intensitas tinggi merebak terutama di kawasan perkebunan intensif. Umumnya, sektor penggunaan lahan ini berada di areal terbuka dengan tutupan hutan yang terbatas, relatif lebih mudah diakses, dan sebagian berada di kawasan gambut yang terdegradasi.

Strategi mitigasi

"Dari kajian kami, ada tiga hal prioritas yang perlu mendapat perhatian sebagai upaya mitigasi karhutla. Pertama, perlunya deteksi dini dalam mengantisipasi tahun-tahun kering minim hujan atau El-Nino," kata peneliti LIPI Sugeng Budiharta.

Dalam hal ini, peran Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi sentral untuk memperkirakan terjadinya tahun-tahun El-Nino.

"Meskipun hingga saat ini kondisi iklim tahunan masih sulit diprediksi, kajian kami mengindikasikan bahwa tahun-tahun kemarau panjang umumnya ditandai dengan curah hujan yang minim pada awal periode musim kemarau yang biasanya dimulai bulan Mei. Namun demikian, perlu dikaji lebih dalam mengenai indikasi tersebut," katanya.

Kedua, lahan gambut terdegradasi sebagai kawasan prioritas untuk mengurangi risiko kebakaran.

Dalam hal ini, pelarangan penggunaan api secara total untuk membuka lahan di kawasan gambut menjadi strategi kunci, terlepas kondisi iklim tahunannya. Upaya-upaya yang dirintis oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) yang mengkampanyekan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) patut diteruskan dan diperbesar skalanya.

Strategi tersebut perlu dibarengi dengan restorasi lahan gambut secara berkelanjutan dengan tujuan untuk menjaga gambut agar tidak kering.

Ketiga, lebih memperketat pengawasan pada sektor perkebunan intensif sebagai sektor prioritas mitigasi karhutla.

Upaya-upaya pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku karhutla pada sektor perkebunan intensif telah dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Strategi ini perlu diperkuat dengan peran serta dari masyarakat dan akademisi, namun mereka harus diberikan perlindungan hukum sehingga tidak dikriminalisasi seperti yang terjadi pada seorang guru besar IPB.

Seperti halnya pengobatan penyakit, karhutla yang diibaratkan penyakit kronis perlu didiagnosa sumber dan pola permasalahannya sebelum kita dapat meresepkan solusi yang efektif. Tidak hanya untuk memecahkan masalah tahun ini, namun juga untuk tahun-tahun ke depan sehingga kejadian dan dampak karhutla dapat dimitigasi secara berkelanjutan.

Kebakaran hutan dan lahan di salah satu konsesi perusahaan sawit di Provinsi Kalimantan Barat. Foto: Ditjen Gakkum KLHK melalui akun Instagram @gakkum_klhk

SHARE