Omnibus Law Dinilai Perlemah Penegakan Hukum Lingkungan
Penulis : Betahita
Gambut
Senin, 14 September 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Raynaldo G. Sembiring tak mau buru-buru bungah menyimak rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Rabu, 2 September 2020. Menyaksikan jalannya rapat via siaran online TV Parlemen, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environment Law itu tetap khawatir rancangan wet yang dikenal sebagai omnibus law tersebut bakal memperlemah penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.
“RUU Cipta Kerja ini secara sistematis memperlonggar perizinan, partisipasi publik, dan penegakan hukum. Ini menyangkut aspek hulu dan hilir ekosistem kita,” kata Dodo—panggilan Raynaldo—Rabu, 9 September lalu.
Rapat terbuka 2 September lalu merupakan rangkaian agenda pembahasan RUU Cipta Kerja yang berlangsung sejak pemerintah menyodorkan draf kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Februari lalu. RUU yang bergulir untuk menarik investasi ini sedari awal menuai banyak kritik lantaran dinilai pro-pengusaha. Termasuk yang dianggap bermasalah adalah pasal 36 dan 37. Dua pasal ini berisi sejumlah rencana perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Kehutanan.
Kabar baik sebenarnya muncul dalam kesimpulan rapat itu. Panitia Kerja RUU Cipta Kerja bersepakat menambahkan ayat baru dalam rencana perubahan pasal 49 Undang-Undang Kehutanan. Awalnya, draf RUU hanya berisi satu ayat yang menyatakan pemegang hak atau izin usaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di area kerjanya. Rumusan itu mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Kehutanan yang menyatakan pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di area kerjanya. Panitia, dalam kesimpulan rapat, akhirnya menyatakan ketentuan lama ini tetap dicantumkan sebagai ayat 2.
Masalahnya, Panitia masih menunda pembahasan rencana perubahan sejumlah pasal Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang berkaitan dengan pengenaan sanksi. “Pemerintah sedang mereformulasi pasal-pasalnya,” ujar Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas, Kamis, 10 September lalu.
Kalangan pegiat lingkungan khawatir terhadap rencana perubahan pasal sanksi Undang-Undang PPLH tersebut. Pasal 98 yang mengatur sanksi pidana dan denda atas perusakan lingkungan hidup, misalnya, akan diubah dengan mengutamakan pengenaan denda. Jika denda tak dibayar, barulah pelaku bisa dipidana. Skema serupa diterapkan dalam rencana perubahan pasal 99-110 yang mengatur sanksi atas kelalaian yang menyebabkan kerusakan lingkungan hingga pelanggaran aturan pengelolaan limbah.
Belum lagi RUU Cipta Kerja juga akan mengubah konsep strict liability alias tanggung jawab mutlak tanpa perlu pembuktian atas kerugian lingkungan yang diatur dalam pasal 88. Pasal baru dalam omnibus law menghapus frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Dodo menilai pasal-pasal RUU Cipta Kerja ini mengabaikan aspek lingkungan hidup yang rentan rusak akibat investasi di sektor sumber daya alam. Sebelumnya, pandangan senada disampaikan sejumlah pakar ketika Panitia Kerja mengundang mereka dalam rapat, 10 Juni lalu.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhamad Ramdan Andri Gunawan, misalnya, menyoroti rencana perubahan pasal sanksi yang sebelumnya diatur Undang-Undang PPLH. Menurut dia, RUU Cipta Kerja mempersempit pemilihan sanksi karena pidana hanya bisa dijatuhkan apabila perusak lingkungan tidak mampu atau tidak mau membayar denda. Selain itu, sanksi pidana hanya berupa kurungan. “RUU ini gagal dalam konstruksi sanksi pidana,” tuturnya. “Sudah pasti pertanggungjawaban korporasi hilang karena korporasi tidak mungkin dipenjara.”
Anggota Panitia Kerja, Bambang Purwanto, mengatakan semua kesepakatan dalam rapat Panitia bisa saja berubah pada pembahasan di tingkat selanjutnya. “Apa yang disepakati ini bisa saja berubah. Nanti masih akan ada timbul perdebatan, mungkin pasal yang tidak disetujui atau dibahas bisa dimunculkan kembali oleh fraksi,” ujarnya.
Masih terbukanya peluang perubahan pasal dalam pembahasan ini pula yang membikin Dodo dan pegiat lingkungan lain ketar-ketir.
***
BAGI Rusmadya Maharudin, Kepala Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace, bahaya lain yang berasal dari regulasi pemerintah sudah ada di depan mata: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut. Dia menilai aturan ini sebagai langkah mundur pemerintah dalam upaya pemulihan ekosistem gambut yang semestinya menjadi kunci pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Bara di Gambut. Infografis: Betahita, diolah Tempo-Auriga
Pokok masalah berada di pasal 8, yang mengatur soal area di luar puncak kubah gambut. Area ini dinyatakan dapat dimanfaatkan hingga jangka waktu izin berakhir dengan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut. Masalahnya, pasal itu juga menyebutkan area di luar puncak kubah gambut dapat berada dalam fungsi lindung ekosistem gambut yang selama ini terlarang untuk dimanfaatkan. “Gambut yang selama ini dilindungi saja bisa terbakar, apalagi ini tidak lagi dilindungi,” kata Rusmadya, Kamis, 10 September lalu.
Data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), platform pemantauan bumi yang dikelola Pusat Prakiraan Cuaca Jarak Menengah Eropa (ECMWF), memperkirakan total emisi akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun lalu hampir menyamai dampak bencana 2015. Padahal luas area yang terbakar pada 2019 hanya 1,65 juta hektare, lebih kecil dibanding pada 2015 yang mencapai 2,6 juta hektare.
ECMWF mensinyalir pelepasan emisi yang besar tahun lalu dipicu kebakaran yang banyak terjadi di lahan gambut. “Di Indonesia, pembakaran gambut yang dapat membara pada suhu rendah dan di bawah tanah menjadi perhatian utama karena melepaskan karbon yang telah disimpan selama ribuan tahun,” ucap Mark Parrington, peneliti senior ECMWF di CAMS, dalam siaran pers, September 2019.
Analisis kebakaran hutan dan lahan 2015-2019 menunjukkan kebakaran lahan gambut baru terus meningkat selama periode tersebut. Hal ini diperparah oleh aktivitas izin skala besar yang kini masih membuka kanal yang membuat gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
Upaya tim peliputan ini meminta penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang persoalan tersebut tak membuahkan hasil. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah serta Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut Sri Parwati Murwani Budisusanti menolak memberikan informasi mengenai implementasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 serta ancaman kebakaran di lahan gambut.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengkritik implementasi peraturan menteri tersebut, yang ia anggap tak transparan. “Ini menyulitkan pengawasan,” katanya. “Ancaman kebakaran hutan di gambut akan terus terjadi selama pemulihan gambut setengah hati.”
SHARE