UU Minerba Digugat ke MK
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Selasa, 14 Juli 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) digiugat ke Mahkamah Konstitusi. Beleid ini dinilai cacat prosedur dan kontroversial, sehingga diajukan untuk diuji formil apakah bertentangan dengan UUD 1945.
Delapan pemohon yang mengajukan uji formil UU tersebut, yakni anggota DPD RI Tamsil Linrung asal Sulawesi Selatan, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan, Ketua PPUU DPD RI Alirman Sori, Hamdan Zoelva dari Perkumpulan Serikat Islam, Marwan Batubara dari Indonesian Resources Studies/IRESS, Budi Santoso dari Indonesia Mining Watch, Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Ilham Rifki Nurfajar, dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia M. Andrean Saefudin.
Tamsil menyebut salah satu alasan utama uji formil ini diajukan adalah karena penyusunan UU Minerba dilakukan tanpa adanya pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Selain itu, penyusunan UU ini juga tidak melibatkan anggota DPD RI yang juga memiliki hak konstitusional untuk ikut membahas yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lainnya.
"Periode lalu saya salah seorang pimpinan Komisi VII DPR RI yang membidangi SDM. RUU Minerba adalah usul inisiatif DPR RI yang diajukan pada awal periode. Hingga menjelang berakhirnya periode pengurusan DPR RI masa bakti 2014-2019, pemerintah barulah membangun komunikasi dengan Dewan. Terkesan pemerintah enggan merespon RUU usul inisiatif Dewan tersebut," kata Tamsil Linrung, Senin (13/7/2020).
Di penghujung masa jabatan, lanjut Tamsil, dirinya masih ikut memimpin rapat kerja, saat pemerintah tiba-tiba ingin memepercepat pembahasan RUU Minerba. Namun kala itu dirinya tetap mensyaratkan agar pembahasan tetap sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku.
"Di antaranya DIM dari pemerintah harus segera diterima DPR. Saat itu DIM yang diserahkan tidak lengkap dan tidak ditandatangani Presiden. Bahkan beberapa kali Raker, menteri yang mewakili pemerintah terkesan tidak kompak."
Tamsil melanjutkan, DIM dari pemerintah baru diserahkan 6 hari menjelang masa jabatan sebagai anggota DPR berakhir. Akan tetapi, sebagai pimpinan rapat Tamsil menyatakan DIM tidak bisa dibahas karena waktu yang tersisa sangat tidak memungkinkan.
"Tidak memungkinkan pembahasan ini melibatkan partisipasi publik. Apalagi sudah tersebar isu tentang adanya pengusaha yang membagi-bagi duit kepada anggota Dewan khususnya Komisi VII sebagai succes fee atas lolosnya RUU ini menjadi undang-undang."
Tamsil mengatakan, di saat terakhir, pihak pemerintah menginginkan agar RUU Minerba yang belum dibahas tersebut dilakukan carry over kepada anggota periode berikutnya. Akan tetapi hal inipun menurutnya juga tidak memungkinkan, dikarenakan belum ada pembahasan DIM.
"Tidak ada pembahasan DIM. Karena berkali-kali dilakukan raker dan pemerintah tidak siap dengan DIM-nya. Dan kalupun DIM dimasukkan maka sudah tidak mungkin memperoleh partisipasi publik sebagai salah satu yang mesti dipenuhi. Saya kaget karena tiba-tiba sudah disahkan."
Tamsil menegaskan, dirinya yang saat ini sebagai anggota DPD RI punya hak konstitusional untuk ikut membahas RUU tersebut. Akan tetapi sampai RUU ini disahkan menjadi undang-undang, sama sekali tidak pernah diajak dalam pembahasan tersebut.
"DPR RI memang tidak melibatkan DPD RI dalam pembahasan tersebut. Padahal dalam Pasal 22D Ayat 2 (Undang-Undang Dasar 1945) menyatakan DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dan Sumber Daya Ekonomi lainnya."
Dirinya bersama 7 pemohon telah memberi kuasa kepada 10 advokat atau pendamping hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Uji Formil UU Minerba. Permohonan uji formil UU Minerba sudah diterima MK pada hari Jumat 10 Juli.
Pada 12 Mei 2020 lalu, DPR bersama dengan Pemerintah menyetujui bersama RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi UU. Presiden pun telah menandatangani RUU ini menjadi UU pada tanggal 10 Juni 2020. Di tanggal yang sama, langsung pula diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Para pemohon uji formil menganggap, terbentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dinilai ini mengandung potensi moralitas hukum formil dan materiil yang jahat bagi pembangunan nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara. Sesuai dengan Sila Keadilan Sosial Bbagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Sila Kelima Pancasila dan sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
8 Alasan Pengajuan Uji Formil UU Minerba.
Pertama, sejak awal pembahasan RUU Minerba telah menuai masalah dan kontroversial, pembahasannya dinilai sangat dipaksakan dan terburu-buru.
Kedua, RUU Minerba tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Karena mengacu pada ketentuan pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM. Sementara, hingga masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada September 2019, belum dilakukan pembahasan DIM RUU Minerba.
Ketiga, pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR, melainkan di sebuah hotel. Padahal menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat panitia kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum.
Keempat, upaya untuk melanjutkan pembentukan RUU Minerba pada DPR periode 2019-2024 saat ini dilakukan dengan proses kilat dan tanpa keterlibatan publik. Padahal materi yang harusnya dibahas sangat banyak. Terdapat kurang lebih 938 DIM dan lebih dari 80 persen materi perubahan yang harus dibahas.
Kelima, pembahasan RUU Minerba juga dinilai tidak melibatkan partisipasi publik dan pihak terkait lainnya. Padahal, regulasi ini berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi Negara dan hajat hidup orang banyak.
Keenam, pembahasan RUU Minerba yang dilakukan tidak melibatkan DPD RI. Berdasarkan Pasal 22D Ayat 2 UUD 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 dan Putusan MK No. 92/PPU-X/2012, DPD memiliki kewenangan membahas RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Sehingga hal itu melanggar ketentuan dan dianggap inkonstitusional.
Ketujuh, pengambilan keputusan Tingkat I pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang mewakili pemerintah pada 11 Mei 2020 dilakukan secara virtual dan pengambilan keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna pada 12 Mei 2020 juga dilakukan secara virtual. Dengan kata lain, tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik anggota DPR dilakukan secara perwakilan fraksi.
Kedelapan, pelaksanaan rapat pengambilan keputusan atas RUU Minerba yang terkesan memaksa itu tidak sensitif terhadap wabah virus Covid-19.
SHARE