Ada Corona, Bambang Hero: Pengendalian Karhutla Jangan Kendor

Penulis : Betahita.id

Karhutla

Senin, 01 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan atau karhutla hendaknya terus berjalan meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami pandemik COVID-19. Ini karena para pembakar terus melaksanakan aksinya yang terkadang tidak diperhitungkan oleh para stakeholder.

“Kita mungkin punya pemikiran bahwa karena COVID-19 maka tidak akan banyak kegiatan pembakaran dilakukan di lapangan. Nyatanya tidak demikian, hal itu terungkap dari beberapa laporan terakhir yang menunjukkan bahwa kebakaran masih terus berjalan, misalnya di wilayah Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau,” kata Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB University, Prof Bambang Hero Saharjo, seperti dimuat laman ipb.ac.id, 29 April 2020.

Pada 2019 kebakaran hutan dan lahan Indonesia meningkat sebesar 262 persen yaitu dari 628.288.84 hektar pada 2018 menjadi 1.649.268 hektar. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, berdasarkan The Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) khususnya karbondioksida, mendekati emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari kebakaran hutan dan lahan tahun 2015.

Bahkan biaya yang digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 yang lalu telah menguras lebih dari separuh Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) mereka, yaitu lebih dari Rp 3,5 Triliun.

Pengendalian kebakaran harus dijalankan dengan harapan kejadian kebakaran akan berkurang yang pada akhirnya mengurangi emisi GRK khususnya yang terjadi di lahan gambut. Hal ini perlu dipertimbangkan karena Indonesia telah berjanji kepada dunia internasional untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29 persen pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri dan 41 persen bila dibantu pihak luar negeri.

Prof Bambang memberikan beberapa langkah (tips) yang bisa diandalkan dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pertama, aktifkan fungsi canal blocking (untuk lahan bergambut) dalam meningkatkan tinggi muka air tanah melalui pengamatan yang ketat terhadap tinggi muka air maksimal yang diperkenankan, sehingga dipastikan benar-benar berfungsi.

Petugas gabungan memadamkan api di Desa Babah Lueng, Kecamatan Tripa Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Selasa, 10 Maret 2020/ Istimewa

Kedua, pastikan sumur bor (untuk lahan bergambut) dan embung benar-benar berfungsi menjadi sumber air dalam pemadaman.

Pastikan early warning system bekerja, terutama dalam upaya pemantauan kondisi lapangan menggunakan berbagai macam satelit yang tersedia seperti Terra-Aqua Modis, Visible Infrared Imager Radiometer Suite (VIIRS), Sentinel 1 dan Sentinel 2.

“Pastikan Menara Pengawas Api standby dilengkapi dengan teropong, alat komunikasi, peta lokasi, petunjuk arah dan ditunggu oleh personil yang paham. Siagakan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran yang tersedia untuk memastikannya bekerja tanpa gangguan. Siagakan juga personil pasukan inti pemadaman dan pasukan bantuan termasuk Masyarakat Peduli Api (MPA) dan  Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) dalam posisi siap tempur, melalui latihan penggunaan peralatan per kelompok,” ujarnya.



Perlu juga dilakukan patroli dalam jumlah personil terbatas yang difasilitasi dengan peralatan yang siap digunakan. Selain itu, patroli udara menggunakan drone juga dibutuhkan untuk wilayah-wilayah yang diduga berdasarkan analisis bahan bakar dan kejadian kebakaran sebelumnya termasuk daerah rawan kebakaran.

Pasang papan petunjuk pelaporan lengkap dengan nomor telepon yang dapat dihubungi bila memang belum disediakan. Dan laporkan segera bila kebakaran yang terjadi tidak terkendali dan tidak membiarkannya membesar sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif ikutan.

“Kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah karena penyebabnya adalah manusia. Oleh karena itu, upaya pencegahan seawal mungkin dan kesamaan persepsi bahwa kebakaran harus dikendalikan serta dilakukan secara bersama-sama secara bertanggung jawab akan mampu menekan dan mengurangi peluang terjadinya kebakaran,” kata Prof Bambang Hero.

SHARE