Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat buat petisi #BebaskanBongku
Penulis : Gilang Helindro
Hukum
Minggu, 17 Mei 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Pak Bongku sapaan akrabnya, salah satu masyarakat adat yang bertahan hidup dengan bertani ditangkap petugas keamanan PT Arara Abadi (PT AA). Kasus Kriminalisasi Bongku, menyita perhatian Publik dan Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat. Mereka membuat petisi yang berjudul #Bebaskanbongku Stop Kriminalisasi Masyarakat Adat! isinya meminta Pengadilan Negeri Bengkalis untuk membebaskan Bongku.
"Penegakan hukum seharusnya mementingkan kepentingan masyarakat adat, buta hukum, dan hanya mencari kehidupan keluarga di hutan, dibandingkan kepentingan korporasi," tulis Dede Kurnia Eka Satria dalam petisi Change.org yang sudah mencapai 5759 penandatangan, Jumat 15 Mei 2020.
Bongku dituntut 1 tahun penjara dan denda 500 juta. "Cuma gara-gara lahan!," tulisnya.
Minggu, 3 November 201, Bongku ditemukan pihak keamanan PT AA sedang menebang pohon akasia dan menanam Ubi kayu dan Ubi Racun atau Ubi Menggalo yang dapat diolah menjadi Menggalo Mersik salah satu makanan tradisional Masyarakat Adat Sakai. Buntutnya, Bongku disidang Pengadilan Bengkalis, 24 Februari 2020 dan dituntut mengurangi jumlah volume panen PT AA.
"Padahal lahan yang digarap Bongku hanya setengah hektare, tidak sebanding dengan luas tanah PT AA yang ribuan hektare," kata Dede dalam petisinya.
Bongku merupakan salah satu masyarakat Adat Sakai yang akan mengelola tanah ulayatnya untuk ditanami Ubi kayu dan Ubi Racun atau Ubi Menggalo untuk akanan tradisional Masyarakat Adat Sakai.
Pada 24 Februari 2020, Pak Bongku menjalani sidang pertama, Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menggunakan 3 dakwaan alternatif yaitu Pasal 92 Ayat (1) huruf a atau Pasal 82 Ayat (1) huruf b atau Pasal 82 Ayat (1) huruf c Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Dari ketiga dakwaan alternatif tersebut, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan bahwa Bongku terbukti melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf c “melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah” dituntut 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Selama perjalanan sidang, tidak satupun pasal dalam dakwaan Jaksa yang dapat dibuktikan. Fakta persidangan mengungkapkan bahwa Bongku adalah masyarakat Adat Sakai yang tinggal tidak begitu jauh dari lokasi penebangan. Ahli Masyarakat Adat dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dalam persidangan menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Sakai sudah hidup lama sebelum Indonesia ada dan tercatat dalam Dokumen LAM Riau.
Melalui siaran pers Kolaisi Pembela Hak Masyarakat Adat, Ahli Pidana Dr Ahmad Sofian SH MA menjelaskan tentang muatan dari Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) tidak dapat diterapkan, pada intinya UU P3H dibentuk untuk kejahatan yang terstruktur dan teroganisir bukan untuk masyarakat Adat atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan.
"Terstruktur dan teroganisir adalah adanya 2 orang atau lebih melakukan pengerusakan hutan dalam satu waktu tertentu," katanya.
SHARE