Jikalahari: Pemerintah Harus Gandeng OJK Atasi Karhutla
Penulis : Redaksi Betahita
Karhutla
Kamis, 31 Oktober 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Presiden Joko Widodo pernah menyebut bahwa karhutla adalah kejahatan terorganisir. Sejalan dengan itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan PPATK untuk mengatasi kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan korporasi.
Baca juga: Karhutla 2019 Tak Separah 2015, Kenapa Lebih Mengkhawatirkan?
“Tahun 2015, sebelumnya Jokowi bilang akan melakukan evaluasi izin (ditinjau kembali). Di tahun 2019 ini, karhutla adalah produk dari kejahatan terorganisir,” kata Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dalam diskusi Ke:Kini di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 30 Oktober 2019.
Made mengatakan, upaya untuk menghentikan karhutla ini tidak bisa hanya dengan perbaikan tata kelola pemerintahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, kehutanan, dan perkebunan, tetapi juga mengenai pengawas keuangan korporat.
“KLHK di sini sebagai ujung tombak, dan perlu secepatnya mengajak OJK dan lembaga jasa keuangan. Khususnya untuk terlibat menghentikan kejahatan terorganisir terkait karhutla dengan mendorong mereka melakukan penapisan investasi,” katanya.
Menurut Made, hal tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan melahirkan panduan pembiayaan yang pronatura, yang akan berkontribusi pada pencegahan karhutla. KLHK juga perlu bekerja sama dengan otoritas keuangan internasional karena kajian membuktikan, pembiayaan ini banyak berasal dari luar Indonesia.
Jikalahari memberikan dua rekomendasi untuk Jokowi guna mengatasi kasus karhutla.
Pertama, Presiden Jokowi harus menekankan pencegahan karhutla, alat paling efektif untuk mencegah karhutla kembali terjadi pada lima tahun mendatang adalah menyasar penyandang dana sembari melakukan penegakan hukum dengan pendekatan money laundering.
Kedua, Presiden Jokowi perlu menggandeng OJK dan PPATK serius bekerja menghentikan kejahatan terorganisasi, sembari Jokowi menerapkan implementasi Benefecial Ownership dan devisa hasil ekspor, termasuk moratorium sawit dan penghentian permanen deforestasi.
Menurut pantauan Jikalahari, jumlah hotspot terbanyak saat karhutla melanda Riau pada 2015 dan 2019 berada di Kabupaten Pelalawan. Di beberapa kabupaten, terjadi penurunan jumlah hotspot seperti di Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Rokan Hulu. Namun di Kabupaten Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir dan Kota Dumai terjadi peningkatan jumlah hotspot. Sedangkan Siak memiliki jumlah hotspot yang hampir sama antara 2015 dan 2019.
Sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) telah menyegel operasi 64 perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan 2019.
Jumlah titik api terbanyak pada 2015 terjadi di Juli dan September. Selama 1 tahun, jumlah titik api yang muncul mencapai 2.230 titik api dalam kawasan hutan dan 2.378 titik api di luar kawasan hutan. Hotspot terbanyak berada di areal korporasi Hutan Tanaman Industri 1.432 titik api, HGU 193 titik api dan Konservasi 605 titik api.
Jumlah titik api terbanyak pada 2019 terjadi di Agustus dan September. Selama 1 tahun, jumlah titik api yang muncul mencapai 1.843 titik api dalam kawasan hutan dan 2.227 titik api di luar kawasan hutan. Titik api terbanyak berada di areal korporasi HTI 1.388 titik api, HGU 119 titik api dan Konservasi 336 titik api.
Belajar dari 2015, Meski perusahaan divonis bersalah oleh pengadilan, korporasi masih terus beroperasi hingga kini. Penegakan hukum 2019 perlu menyasar hingga ke “aliran darahnya†memburu harta kekayaan dengan pendekatan money laundering.
Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Edi Sutrisno mengatakan TuK Indonesia menemukan kepemilikan 64 perusahaan ini berada di bawah kendali 17 kelompok perusahaan induk, seperti Austindo, Batu Kawan, Cargill, DSN, Genting Group, Harita Group, LG International, Provident Agro, Rajawali Group dan Royal Golden Eagle.
“Melalui analisis keuangan 17 kelompok perusahaan ini terungkap bahwa mereka telah menerima pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan setidaknya US $ 19,2 miliar atau sekitar 266 triliun rupiah sejak 2015 hingga 2019,” katanya.
Sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) telah menyegel operasi 64 perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan 2019.
Edi mengatakan sejumlah bank milik BUMN dan swasta yang memberikan pinjaman tunggal terbesar kepada kelompok perusahaan ini adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), kemudian Maybank dan Bank Nasional Indonesia (BNI).
“Dari 10 bank teratas yang mendanai grup korporasi ini, bank-bank dari Indonesia mewakili bagian pendanaan terbesar, dengan nilai sebesar yaitu US $ 3,3 miliar dolar AS,” ujarnya. “Dan diikuti oleh bank-bank Tiongkok US $ 2,0 miliar dolar AS dan bank-bank Malaysia sebesar 1,9 miliar,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan Edi Sutrisno dalam pemaparannya menunjukan bahwa para penyandang dana grup terbesar yang banyak berasal dari luar Indonesia telah meresikokan terkait kondisi hutan dan lingkungan di Indonesia untuk mencari profit sebesar-besarnya. Kemudian, menyetorkan keuntungan tersebut kepada pemegang saham dan investor di negeri asalnya.
Para penyandang dana grup terbesar yang banyak berasal dari luar Indonesia telah meresikokan terkait kondisi hutan dan lingkungan di Indonesia untuk mencari profit sebesar-besarnya. Grup korporasi terbesar di Indonesia di antaranya Sinar Mas Group, Royal Golden Eagle Group, Sungai Budi Group, Harita Group, Rajawali Group, Sampoerna Group, Batu Kawan Group, Salim Group dan TH Group.
Sementara penyandang dana terhadap perusahaan itu berasal dari 156 induk investor baik nasional dan mayoritas asing yang menyediakan utang dan penjaminan. Kemudian sebanyak 482 induk investor nasional dan asing menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham grup perusahaan yang terafiliasi dengan karhutla.
“Perusahaan terbesar perbankan sebagai penyandang dana yang menyediakan utang dan penjaminan seperti bank Mandiri, BNI, BRI, CIMB Group, Bank of China, China Development Bank, Mitsubishi UFJ Financial dan Malayan Banking,” tuturnya.
SHARE