10 Masalah Pokok RUU Pertanahan Ini Harus Diperhatikan Pemerintah

Penulis : Redaksi Betahita

Agraria

Kamis, 31 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sedikitnya 10 permasalahan pokok dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang diusulkan DPR RI untuk disahkan. KPA khawatir sepuluh masalah pokok tersebut dianggap hanya akan menjadi ganjalan dalam penyelesaian krisis-krisis yang terjadi dalam agraria nasional.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA Dewi Kartika mengatakan,  10 masalah pokok ini harus diperhatikan  pemerintah, karena porsi terbesar dalam RUU itu justru banyak merumuskan kepentingan korporasi dan perilaku Negara yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Raden Ariyo Wicaksono
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria

Dewi menegaskan, 10 masalah pokok tersebut menjadikan RUU Pertanahan  tidak memenuhi syarat secara filosofis, ideologis, sosiologis, historis dan ekologis. Sehingga bertentangan dengan Pancasila, Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 dan UUPA.

“Mengingat 10 masalah pokok tersebut, RUU Pertanahan dijamin tidak akan menjawab 5 krisis agraria nasional. RUU Pertanahan ini juga berwatak kapitalis neoliberal, yang hanya akan semakin memperkuat liberalisasi pasar tanah di Indonesia,” kata Dewi Kartika, Rabu (30/10/2019).

Raden Ariyo Wicaksono

Ratusan warga komunitas adat Laman Kinipan, menggelar unjuk rasa damai terkait konflik lahan yang terjadi akibat masuknya perkebunan kepala sawit di wilayah adat Kinipan, Kabupaten Lamandau, 8 Oktober 2018 di halaman Gedung DPRD Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah,/Foto: Betahita.id

Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria

Terkait permasalahan agraria ini, KPA memberikan beberapa catatan. Di antaranya, merekomendasikan DPR RI agar pembahasan lebih lanjut RUU terkait agrarian (pembaruan agrarian) dilakukan dengan spirit yang senafas Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960.

Kemudian, RUU mengenai agraria, khususnya di bidang pertanahan sesungguhnya penting dan strategis untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat (ke dalam), sekaligus menerjemahkan kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayahnya keluar. Sehingga RUU ini seharusnya mampu menerjemahkan amanat dan prinsip dasar dari Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan UUPA. Yaitu keadilan, kemanusiaan, kebangsaan (nasionalisme), kerakyatan (sosialisme), kesejahteraan dan keberlanjutan.

“RUU mengenai agraria seharusnya juga menjamin penuh perlindungan, pengakuan, pemulihan dan penguatan hak-hak atas tanah melalui reforma agraria. Sekaligus penyelesaian konflik agraria bagi kelompok masyarakat yang selama ini diabaikan secara sistemik (dimarginalkan). Yakni petani, buruh tani, petani penggarap, masyarakat adat, nelayan kecil, dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.”

Dewi mengatakan, RUU Pertanahan seharusnya menjadikan tanah sebagai matrik dasar agraria. Dengan begitu RUU adalah simpul regulasi sektoral terkait agraria di bidang pertanahan. Mengingat pertanahan bersifat lintas sektor. Artinya wilayah berlaku RUU inipun harus di seluruh tanah Indonesia sehingga masalah sektoralisme pertanahan yang akut dapat diselesaikan.

“Terakhir RUU seharusnya berkontribusi mengatasi disharmoni peraturan perundangan di bidang agraria, pertanahan dan SDA. Termasuk memperhatikan keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi terkait agraria, petani, masyarakat adat, nelayan, pertanian, perkebunan dan hak menguasai dari negara.”

SHARE