Peneliti: RUPTL dan RPJMN Bertolak Belakang
Penulis : Redaksi Betahita
Energi
Senin, 28 Oktober 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dilaksanakan pemerintah dinilai bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengenai energi terbarukan. Hal itu diungkapkan Iqbal Damanik, peneliti Auriga Nusantara.
Menurut Iqbal, hal ini terjadi karena pemerintah banyak memanfaatkan batu bara dan energi fosil lainnya untuk menjalankan pembangkit listrik.
Target Energi Terbarukan di RPJMN 20%, tapi dalam perencanaan major project program 35 ribu megawatt malah 90% dari fosil. “Kerangka hukum ketenagalistrikan malah cenderung mendorong pembangunan PLTU Batu Bara dan, khususnya PLTU Batu Bara mulut tambang,” katanya dalam Diskusi Publik Bersihkan Indonesia bertema Transisi Energi Dalam RPJMN 2020-2024, di Jakarta belum lama ini.
Membangun energi terbarukan adalah kewajiban pemerintah – potensi kita sangat besar dan dari panas bumi, hidro, dan solar atap saja kita bisa menutup gap target bauran energi terbarukan dari permintaan listrik.
Baca juga: Menanti Pembuktian BPDLH
Eksploitasi batu bara tidak serta merta mendorong pembangunan ekonomi wilayah-wilayah yang kaya cadangan batu baranya.
Analisis EBT vs BatubaraMenurut Iqbal, kalau Indonesia tetap ekspor batu bara dengan model saat ini, kita mungkin akan kehabisan batu bara tahun 2026, sementara masih banyak PLTU batu bara yang baru beroperasi.
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut akan adanya percepatan Commercial Operation Date (COD) dua pembangkit di akhir tahun 2019.
Kedua pembangkit tersebut yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 dan PLTU Jawa 8 yang masing-masing berkapasitas 991 megawatt dan 945 megawatt.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengungkapkan, PLTU Jawa 7 dijadwalkan COD pada Oktober mendatang. “Sementara PLTU Jawa 8 pada September 2019,” ungkap Jisman seperti dikutip melalui Kontan.co.id, Senin 16 September 2019.
Kehadiran dua pembangkit ini diharapkan mampu mendorong proyek 35 ribu megawatt. Berdasarkan data Kementerian ESDM, per Juli 2019 jumlah proyek yang telah mencapai Power Purchase Agreement (PPA) sebanyak 33.270 megawatt atau sebesar 93,83%. Realisasi COD pembangkit proyek tersebut baru mencapai 11% atau setara 3.768 megawatt. Adapun, sebesar 62% atau 21,99 ribu megawatt sedang dalam tahap konstruksi.
Sementara itu sebesar 734 megawatt atau setara 2% kini dalam tahap perencanaan. Kemudian 1.453 megawatt atau sebesar 4% kini dalam tahap pengadaan. Sementara itu, 7,51 ribu megawatt atau sebesar 21% kini telah memperoleh kontrak namun belum memasuki fase konstruksi.
Proyek 35 ribu megawatt terbagi menjadi proyek milik PLN dan Independent Power Producer (IPP). Per Juli 2019, dari 8,8 ribu megawatt proyek yang menjadi tanggungan PLN, sebanyak 6,63 ribu megawatt telah memperoleh kontrak atau setara 75,2%. Dengan rincian 4,25 ribu megawatt atau sebesar 48% dalam fase konstruksi. Adapun sebesar 27% (2,37 ribu megawatt) telah COD.
Sementara itu, proyek yang dikelola IPP sebanyak 26,64 ribu megawatt semuanya telah memperoleh kontrak. Sebanyak 1,39 ribu megawatt atau sebesar 5% telah COD dan 17,73 ribu (67%) telah memasuki fase konstruksi. Sisanya sebesar 7,51 ribu megawatt atau sebesar 28% sudah memperoleh kontrak namun belum memasuki fase konstruksi.
Jisman menambahkan, pada tahun 2019 Kementerian ESDM menargetkan kapasitas proyek yang COD sebesar 3.660 megawatt. Adapun, realisasi baru sebesar 863 megawatt. “Tersebar di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Jambi, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan dan daerah lain,” terang Jisman.
Peneliti IEEFA, Elrika Hamdi mengatakan dalam draft RPJMN saat ini, kebanyakan pembahasan infrastruktur cenderung membahas tol, kereta api, pelabuhan, dsb. Tapi kurang membahas energi. Pembangunan pembangkit selama ini terlalu fokus pada supply side padahal 5 prioritas Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) berfokus pada program listrik pedesaan, pembangunan jaringan transmisi, penguatan gardu induk, pembangkit peaker, dan pembangunan pembangkit di area terpencil.
“Kita membutuhkan perubahan mindset mendasar agar ketenagalistrikan Indonesia bisa menjadi lebih sustainable,” katanya.
Elrika menambahkan, pembangkit fosil skala besar mendapatkan lebih banyak insentif ketimbang pembangkit energi terbarukan skala kecil – padahal di berbagai negara lain, pada umumnya kebijakan-kebijakan yang ada cenderung mendukung Energi Terbarukan.
Dukungan publik juga dibutuhkan untuk mendorong PLN kearah perubahan yang lebih baik agar kita dapat bernafas lebih lega, khususnya di kota-kota seperti Jakarta ini. Kita memerlukan audit sistem yang menyeluruh, pelibatan masyarakat, transparansi procurement, monitoring konstruksi, dan transparansi semua komponen yang terlibat agar sistem energi kita benar-benar menjadi sustainable. Elrika Hamdy.
Blackout kemarin bukan hanya soal pohon sengon, namun ada ketidaksiapan PLN dalam mengatasi krisis2 seperti itu. Padahal dengan perencaan kehandalan dan resiliency grid per pulau dapat memberikan gambaran kesiapan grid yang lebih baik. “Kalau kita katanya mau melihat industry 4.0, mustinya kita juga melihat teknologi-teknologi disruptif seperti mobil listrik, electricity storage, sehingga PLN perlu beralih dari sistem saat ini yang skala besar dan tidak fleksibel,” katanya.
SHARE