Hutan Amazon Bukan Paru-paru Dunia, Ini Penjelasannya
Penulis : Redaksi Betahita
Lingkungan
Minggu, 08 September 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Kebakaran hebat di hutan Amazon, Brazil, telah meresahkan masyarakat global, termasuk pimpinan dan pesohor dunia. Mulai dari Presiden Prancis Emmanuel Macron hingga aktor penerima Oscar Leonardo Di Caprio mengunggah cuitan atau foto di akun media sosial. Nadanya seragam: ada kekhawatiran pasokan oksigen Bumi berkurang akibat bencana api di Amazon.
Kekhawatiran itu didasari pada klaim bahwa Amazon, hutan hujan tropis terbesar di dunia, menyumbang 20 persen oksigen ke atmosfer Bumi, seperti dinyatakan Macron dan Di Caprio. Nyatanya, para ilmuwan berpendapat lain.
Ahli ekologi ekosistem di Oxford University Yadvinder Malhi mengatakan, banyak hal yang perlu dikhawatirkan mengenai kebakaran di Amazon saat ini. Di antaranya adalah polusi asap yang berdampak pada kesehatan manusia, hilangnya keanekaragaman hayati, serta emisi karbon global.
“Tapi kehabisan oksigen tidak termasuk,” kata Malhi melalui blognya, 24 Agustus 2019.
Baca Juga: Hutan Amazon Terbakar, Ancaman Bagi Seluruh Dunia
Menurut Malhi, Amazon tidak memproduksi 20 persen oksigen ke atmosfer Bumi. Dia mendasarkan kalkulasinya pada sebuah studi yang memperkirakan bahwa hutan tropis melakukan 34 persen proses fotosintesis global di darat. Dengan luas 5,5 juta kilometer persegi, Amazon dianggap menghasilkan 16 persen oksigen di darat.
Namun angkanya kemudian menciut ke 9 persen ketika dikurangi dengan oksigen yang dihasilkan fitoplankton, organisme yang hidup di dasar laut.
Satu hal yang perlu dipahami dari ekosistem Amazon adalah pohon-pohonnya tidak hanya menghasilkan oksigen, tapi juga menggunakannya dalam proses respirasi seluler untuk menghasilkan energi. Pada malam hari, pohon juga menggunakan oksigen. Tim penelitian Malhi menemukan bahwa pohon menghirup lebih dari setengah oksigen yang mereka hasilkan.
“Maka efek oksigen dari Amazon (bagi Bumi), ataupun dari bioma lainnya adalah sekitar nol,” Malhi menyimpulkan.
Ilmuwan Atmosfir di Colorado State University Scott Denning menjelaskan, oksigen yang kita hirup saat ini justru berasal dari fitoplankton. Selama bermiliar-miliar tahun organisme ini secara berangsur mengakumulasi oksigen yang memungkinkan makhluk hidup bernapas di Bumi.
Akumulasi oksigen itu terjadi karena plankton ‘terjebak’ di dasar lautan sebelum akhirnya membusuk. Proses ini menunjukkan bahwa oksigen di atmosfir Bumi dihasilkan selama rentang waktu geologis yang lama dan tidak begitu terpengaruh oleh fotosintesis tanaman, begitu kata Denning melalui artikelnya di The Conversation.
Lalu dari mana mitos 20 persen itu berasal?
Tidak ada penjelasan kapan mitos ini bermula. Malhi memperkirakan angka itu berasal dari fakta bahwa Amazon menyumbang sekitar 20 persen oksigen dari proses fotosintesis di darat. Barangkali inilah yang kemudian disalahartikan publik sebagai “20 % oksigen di atmosfir.”
Namun, walaupun Amazon bukan penghasil utama oksigen di Bumi hal ini tidak menjadikan kebakaran di sana tidak signifikan. Selain keanekaragaman hayati yang kaya, Amazon juga menahan karbon dioksida ke atmosfir.
Menurut Badan Penelitian Luar Angkasa Brazil (INPE), sejak Januari hingga Agustus 2019, kawasan hutan Amazon terbakar seluas 18.627 hektare. Lebih dari setengahnya (51.9 %) terjadi di dalam kawasan hutan alami. Dengan skala sebesar itu, emisi karbon Amazon hanya menambah banyaknya karbon dioksida ke atmosfir.
Studi 2013 menjelaskan bahwa deforestasi skala kecil sekalipun dapat berdampak negatif terhadap pasokan air di kota-kota Brazil dan negara jiran sekelilingnya. Deforestasi juga dapat merugikan pertanian yang sedang Bolsonaro kembangkan. Semakin masif deforestasi akan semakin meningkatkan kemungkinan berubahnya jalur air tanah ke Afrika maupun California.
Selain itu, Amazon juga merupakan rumah bagi berbagai suku masyarakat adat, berbagai spesies flora maupun fauna.
Baca Juga: Hutan Untuk Masyarakat Adat Papua
Bagi ilmuwan iklim di University of Sao Paulo Carlos Nobre, hilangnya keanekaragaman hayati akibat perubahan iklim dan deforestasi adalah isu penting di Amazon, namun sedikit sekali yang membicarakannya, seperti dikutip oleh National Geographic.
Bagi Nobre, anggapan bahwa Amazon sebagai paru-paru dunia terbatas pada simbolisme atau metafora semata. Strategi itu mungkin bisa mendekatkan manusia kepada isu deforestasi.
“Jika manusia ingin mengasosiasikan (Amazon) sebagai bagian fundamental manusia yang mempertahankan stabilitas dan kehidupan–secara simbolis, boleh saja,” kata Nobre. Namun secara fisik, Amazon bukanlah paru-paru dunia,” katanya.
SHARE