Keadilan untuk 1.100 Nyawa, Saatnya Memainkan Langkah Kuda

Penulis : Yosep Suprayogi, PEMIMPIN REDAKSI BETAHITA.ID

EDITORIAL

Rabu, 31 Desember 2025

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

AKADEMISI dapat mengubah dunia—jika mereka berhenti bicara hanya kepada sejawat dan mulai bicara dengan publik. Saran cendekiawan di Universitas Nelson Mandela, Savo Heleta (2016), ini biasa dilakukan oleh aktivis, termasuk yang bergiat di bidang lingkungan dan HAM. Namun bicara saja ternyata tidak cukup.

Statistik menunjukkan perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM kian menjadi-jadi belakangan ini. Peristiwa terbaru adalah “Petaka Sumatera” pada akhir November lalu yang merenggut lebih dari 1.100 nyawa. Petaka itu terjadi di punggung Bukit Barisan yang—ironisnya—merupakan salah satu area paling diawasi oleh masyarakat sipil.

Karena itu perlu ada strategi baru agar temuan organisasi masyarakat sipil (CSO) terkait dugaan kejahatan dan pelanggaran berdampak lebih nyata, dimulai dari “Petaka Sumatera”. Temuan tidak boleh lagi berhenti pada publikasi, lalu berharap penegak hukum akan membacanya dan menindaklanjutinya. Setiap temuan harus dilaporkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan dan dimaksudkan untuk menyeret siapa pun yang bertanggung jawab ke meja hijau. Penegakan hukum pidana adalah satu-satunya jalan tersisa untuk memastikan bahwa hilangnya nyawa warga di hilir tidak hanya dianggap sebagai risiko bisnis yang bisa dikompromikan.

Pada Petaka Sumatera, dasar untuk melapor sudah lebih dari cukup. Berbagai CSO sudah mempublikasikan bukti ihwal penyebab petaka ini. Yang terbaru, 30 Desember lalu, Auriga Nusantara dan Earthsight melaporkan hasil investigasi mereka di DAS Batang Toru dan menyajikan fakta yang sukar dibantah: ada pembabatan 883 hektare hutan alam—758 hektare di Sektor Aek Raja, wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), 125 hektare di tepinya—tepat di hulu area bencana.

Tumpukan kayu alam tropis dalam konsesi TPL. Tampak tak ada label SVLK yang diharuskan regulasi mengindikasikan kayu ini sebagai hasil praktik illegal logging. Foto: Auriga/Earthsight.

Logika awam saja terusik ketika melihat banjir bandang membawa gelondongan kayu alam, maka apatah lagi logika hukum para penegak hukum. Hubungan sebab-akibat antara deforestasi masif di lereng terjal ini dengan banjir bandang di Tapanuli Utara itu tak boleh berhenti dalam diskusi di media sosial, namun harus diuji melalui penyidikan pidana, berdasarkan UU PPLH dan UU Kehutanan.

Polisi dan jaksa harus membongkar dalih klasik korporasi, yang juga disampaikan TPL untuk menjawab surat Auriga/Earthsight, bahwa pelaku dugaan illegal logging adalah pihak ketiga atau perambah liar. Di Aek Raja, menerima dalih tersebut begitu saja akan terasa aneh: pembangunan jalan akses sepanjang 30 kilometer di medan terjal dan sekitar 2.000 truk besar untuk mengangkut seluruh kayunya tak bisa dilakukan perambah liar.

Hanya melalui kewenangan penyidik negara, kita bisa membedah siapa aktor intelektual di balik pembangunan infrastruktur ilegal ini. Jika perusahaan mengklaim telah melapor sejak 2023 namun aktivitas justru melonjak pesat menjelang bencana 2025, maka di sana terdapat indikasi kelalaian luar biasa atau pembiaran yang berujung pada hilangnya nyawa. Polisi harus masuk untuk memeriksa logistik dan manajemen perusahaan yang mustahil buta terhadap aktivitas industri di teras rumahnya sendiri.

Tentu bisa saja kelompok masyarakat sipil memilih gugatan perdata, seperti yang sudah dilakukan selama ini. Namun, yang diperlukan adalah memainkan langkah kuda, karena pada petaka ini ada korban jiwa yang tak bisa ditawar dengan ganti rugi materiil, karena nyawa bukan komoditas, dan pada saat yang sama ada berbagai rintangan yang lebih baik diloncati saja. Dalam jalur perdata, fokus utama adalah kompensasi uang. Bagi korporasi raksasa, membayar ganti rugi miliaran rupiah sering kali hanya dianggap sebagai cost of doing business. Sebaliknya, jalur pidana menyasar marwah hukum dan keadilan publik. Jalur pidana memungkinkan negara menggunakan tangan besinya untuk melakukan penggeledahan, penyitaan aset, hingga hukuman penjara bagi pengurus korporasi yang lalai.

Selain itu, dalam ranah pidana, beban pembuktian beralih ke pundak negara yang memiliki instrumen intelijen dan forensik, bukan lagi menjadi beban berat di pundak CSO sendirian. Boleh pula CSO mulai mendorong agar kasus kerusakan lingkungan mulai diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa, seperti halnya korupsi, sehingga bisa dikenai asas pembuktian terbalik dalam pemeriksaan kasusnya. Jika ini berhasil dilakukan, beban pembuktian berpindah kepada tersangka.

Melaporkan temuan ini kepada Jaksa juga membuka pintu bagi penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Investigasi menunjukkan adanya anomali data yang sangat besar: sekitar 80 ribu meter kubik kayu alam—ini sekitar 32.000 pohon dewasa dengan tinggi 15 meter—diduga hilang atau tidak dilaporkan dalam Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) yang dikelola Kementerian Kehutanan.

Ke mana kayu-kayu itu mengalir, siapa yang menerima keuntungan finansialnya, CSO tidak memiliki wewenang memeriksa rekening bank para pihak yang dicurigai terkait, namun Jaksa Penuntut Umum memilikinya. Dengan mengejar aliran uang (follow the money), penegak hukum dapat membuktikan bahwa deforestasi ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan kejahatan ekonomi terorganisir.

Namun CSO harus melakukannya serentak, sebagai koalisi ataupun sendiri-sendiri. Alasan pertama adalah karena ini menyangkut daya tekan. Ketika CSO secara serentak menyerahkan laporan yang sama di berbagai tingkatan penegak hukum, sistem hukum tidak akan bisa mengabaikannya. Suara kolektif akan menciptakan tekanan publik yang mustahil untuk diredam.

Alasan kedua terkait pemulihan mandat penegakan hukum. Jika masyarakat sipil diam, penegak hukum berpotensi terkooptasi oleh kepentingan sempit. Gerakan serentak CSO akan memaksa mesin negara bekerja secara transparan. Kita bergerak untuk memastikan bahwa Jaksa dan Polisi berdiri di sisi korban, bukan di sisi perusak hutan, atau di sisi perusak hutan yang membayar mereka paling tinggi.

Ketiga, suara kolektif adalah perisai kolektif. Jika hanya satu dua CSO yang bergerak, gampang membungkamnya, bisa dikriminalisasi balik, sungguhpun CSO sudah punya payung Anti-SLAPP seperti diamanatkan Pasal 66 UU PPLH.

Lebih jauh lagi, sebenarnya CSO bisa menjadi mitra penegak hukum, alih-alih sekadar pelapor, dan penegak hukum bisa menggunakan kepakaran CSO untuk membantu penyelidikan. Kolaborasi semacam ini pernah dilakukan di masa lalu dan berhasil baik.   

Usulan ini bagi CSO mungkin terdengar ambisius atau sebagai kesia-siaan jika dilakukan, karena kurangnya keyakinan atas kinerja penegakan hukum selama ini. Namun, cuma ini jalan formal yang kita punya. Sementara itu, dengan meyakini Teori Sistem, yang menasbihkan bahwa sebuah sistem akan kolaps ketika elemen destruktif (kejahatan) terlalu banyak, kita seharusnya tetap optimistis jika saat ini masih banyak penegak hukum yang baik. Terlebih, mekanisme hukumnya sejauh ini masih aksesibel untuk diawasi.

Jika masyarakat sipil tetap hanya memilih jalan riuh-rendah di media sosial, itu pun sah-sah saja. Sungguh patut disyukuri jika publik tersadarkan karena laporan kita. Masalahnya, tanpa tindakan hukum yang nyata, kita sebenarnya sedang membiarkan preseden buruk ini terus berulang. Nyawa 1.100 korban tidak boleh ditebus hanya dengan makian di media sosial, bantuan sosial, atau permohonan maaf. Korban menuntut keadilan pidana, dan masa depan membutuhkan efek jera.

SHARE