Mesin Cuci Kayu 'Ilegal' Merek PEFC
Penulis : Yosep Suprayogi, PEMIMPIN REDAKSI BETAHITA.ID
EDITORIAL
Senin, 29 Desember 2025
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
TERUS membaca buku, tapi dalam setiap lembarnya tersimpan cerita pohon yang hancur, karena kertasnya dibuat dari pokoknya. Atau, berhenti saja membaca buku, dan kita kembali ke zaman kegelapan.
Tidak pernah, sepanjang sejarah manusia, buku dan pohon berada dalam posisi sediametral ini, sampai Earthsight dan Auriga Nusantara mengungkap paradoks-nya di tengah Pulau Kalimantan, dalam konsesi PT Industrial Forest Plantations (IFP). Laporan investigasi terbaru kedua lembaga yang bertajuk "Paradoks PEFC" itu mengungkapkan, wilayah yang lebih luas dari Jakarta Selatan ditambah Jakarta Pusat telah dihapus dari peta hutan alam. Namun, di atas kertas, wilayah tersebut tetap menyandang logo keberlanjutan dari Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) dan mitra lokalnya, IFCC.
Persoalannya lebih dari sekadar pohon-pohon yang dihilangkan. Meskipun pembalakan itu legal, bagi orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) di area itu, yang berlangsung adalah penghilangan rumah dan sumber pangan. Dengan begitu, logo keberlanjutan adalah maut.
Bagi warga di sekitar konsesi, waktu kini ditengarai oleh bunyi gergaji mesin, bukan lagi suara serempak stomata yang membuka pada pagi hari dan menutup di sore hari. Mereka telah kehilangan sumber penghidupan utama. Bagi mereka yang paling berharga dari hutan bukan pokok kayu, tapi tanpa pokok kayu, yang berharga itu ikut raib.
Adapun bagi konsumen yang teliti di seluruh dunia, logo dua pohon kecil dengan lingkaran keberlanjutan berwarna hijau adalah tanda mata dari sebuah kontrak moral. Kontrak ini adalah garansi bahwa tidak ada hutan alam yang dikorbankan demi kertas, entah untuk buku, tisu toilet, dan segala “benda modern”. Mengacu pada simbol “keberlanjutan” tersebut, setiap hari, konsumen di seluruh dunia membuat keputusan di rak supermarket, bersedia membayar lebih untuk produk yang membawa label itu, karena percaya sedang berinvestasi untuk masa depan Planet Bumi.
Kontrak yang robek itu bukan semata-mata karena masalah administratif, namun akibat kegagalan sistemik. Inti dari persoalannya adalah kebijakan sertifikasi parsial. Di bawah aturan ini, sebuah korporasi diperbolehkan menyucikan satu petak lahan dengan label hijau, sementara tangan lainnya boleh menebang hutan semaunya di petak sebelahnya. Trik licik akuntansi yang diterapkan pada ekosistem ini menghina akal sehat konsumen karena keberlanjutan bukan menu prasmanan yang bisa dipilih sesuai selera korporasi.
Jangan mengatakan kepada konsumen bahwa aturan main itu mustahil diterapkan di industri kayu, karena konsumen sudah mendapatkan itu dari produsen makanan. Bayangkan jika Anda membeli produk susu yang diberi label "sehat", namun ternyata hanya 10% dari sapi di peternakan tersebut yang bebas penyakit, sementara sisanya dibiarkan sakit di kandang sebelah yang tidak terlihat. Kita tidak akan menoleransi hal ini dalam industri makanan, lantas mengapa kita menoleransinya dalam industri kehutanan?
Sukar untuk tidak menduga bahwa IFP sebenarnya sedang memanfaatkan PEFC sebagai mesin cuci kayu, made by IFCC. Keluarannya bukan cuma kayu yang sudah dicap "hijau", tapi juga topeng yang sempurna untuk menutupi kejahatan lingkungan. Soalnya, sertifikat ini bersifat sukarela, sehingga pembalak hutan yang bersedia ikut sertifikasi akan nampak berbudi tinggi di mata publik.
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan oleh PEFC/IFCC, dugaan bahwa kedua lembaga ini hanya alat cuci kayu "tak ramah lingkungan" menjadi terkonfirmasi. Wibawa PEFC/IFCC bakal runtuh dan konsumen tentu saja akan sangat kehilangan. Untuk itu yang harus dilakukan adalah menjadikan aturan "satu grup, satu standar" sebagai harga mati. Dengan aturan ini, integritas sebuah perusahaan induk tidak lagi dipisahkan dari perilaku anak perusahaannya. Jika satu unit dalam grup melakukan deforestasi, seluruh grup harus kehilangan hak atas label PEFC.
Transparansi juga harus menjadi standar, sebagai kewajiban, bukan dinilai sebagai keistimewaan. Kerahasiaan selama ini telah menjadi alasan utama terjadinya deforestasi. IFCC harus mewajibkan publikasi peta spasial digital seluruh konsesi. Tanpa ini, sertifikasi hanyalah stand-up tragedi atau monolog korporasi.
Selain transparansi data, integritas para penilainya juga sudah saatnya digugat resmi, tidak hanya dalam obrolan sambil minum kopi. Lembaga audit yang gagal mendeteksi deforestasi kasat mata dalam setiap sertifikasi ini harus dikenai sanksi berat, karena kita membutuhkan auditor yang bekerja untuk integritas ekosistem, bukan untuk klien yang membayar tagihan mereka. Kami menyarankan: sudah saatnya masyarakat sipil memikirkan cara untuk memejahijaukan para wasit ini, dengan pasal-pasal pidana, dan berhenti menganggap mereka sekadar mitra kerja, melainkan pengawas yang gagal. Meski terlihat tak melanggar hukum, tapi bagi konsumen, praktik itu merupakan penipuan. Ada pasalnya di UU Konsumen.
PEFC juga harus berhenti berlindung di balik standar nasional yang longgar. Mereka harus menyelaraskan diri dengan regulasi global seperti EUDR milik Uni Eropa. Standar yang lebih rendah dari hukum internasional bukan lagi standar, tapi celah keamanan. Bolong aturan ini fatal ketika bersekongkol dengan besarnya pengaruh korporasi dan kecilnya pengaruh lembaga masyarakat sipil di organisasi ini.
Konsumen sekarang sudah lebih pintar dibandingkan dekade lalu, namun masih jauh dari mandiri untuk bisa memutuskan apa yang terbaik bagi Planet Bumi. Karena itu, keberadaan PEFC dan IFCC yang berwibawa sangat–amat-sangat–penting. Reformasi kedua lembaga adalah keharusan agar sertifikasi tidak hanya menjadi topeng untuk menutupi kejahatan lingkungan
SHARE

Share
