Risiko Baru Biodiversitas Batang Toru Usai Bencana Sumatra

Penulis : Kennial Laia

Biodiversitas

Minggu, 28 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kawasan Ekosistem Batang Toru di Sumatra Utara–salah satu lanskap hutan hutan tropis terakhir dan rumah bagi satwa kunci seperti orang utan dan harimau sumatra–menghadapi risiko baru usai banjir bandang dan topan Senyar yang menyapu kawasan Tapanuli November lalu. Risiko ini dinilai tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati tetapi juga keselamatan masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut.

Senior Vice President Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany mengatakan, risiko ini berupa meningkatnya fragmentasi habitat akibat longsor dan terbukanya lahan, perubahan alur sungai serta kawasan sempadan yang mengganggu fungsi ekologis, hingga meluasnya aktivitas manusia ke area-area yang semakin rentan pascabencana. 

“Kondisi ini juga berisiko mengubah ruang jelajah satwa dan meningkatkan potensi konflik antara manusia dan satwa liar di sekitar kawasan ekosistem,” kata Meizani, Rabu, 24 Desember 2025. 

“Pemerintah memiliki peluang penting untuk memastikan rencana tata ruang dan perlindungan ekosistem benar-benar mencerminkan kondisi lapangan terkini, sehingga risiko ekologis dan sosial dapat ditekan sejak awal,” ujarnya.

Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, merupakan salah satu wilayah paling terdampak banjir bandang dan longsor pada November 2025 lalu. Dok. KI/Aristya Tri Rahayu

Bencana ekologis yang terjadi akhir November lalu tidak hanya menjadi bencana yang menelan korban jiwa manusia dan kerugian materiil, tetapi juga tragedi bagi hutan dan keanekaragaman hayati di Sumatra. Temuan satu bangkai orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) menunjukkan bencana ekologi sebagai ancaman baru bagi primata endemik dan terancam punah tersebut. 

Populasi orang utan tapanuli diperkirakan sekitar 800 individu di alam, yang tersebar di sejumlah kantong di Ekosistem Batang Toru. Para ilmuwan memperkirakan korban orang utan tapanuli bisa lebih besar akibat bencana tersebut, sekitar 33-54 individu. Adapun habitat hutan primer yang mengalami deforestasi akibat banjir bandang dan longsor mencapai 4.000 hektare, serta 2.500 hektare tambahan yang kemungkinan turut terdampak. Temuan ini juga menekankan risiko kepunahan yang semakin dekat tanpa intervensi kebijakan yang memadai.

Meizani mengatakan, tekanan terhadap Ekosistem Batang Toru akan meningkat bila upaya pemulihan dilakukan secara parsial. Menurutnya, kajian ilmiah, evaluasi perizinan, dan penataan ruang berbasis kondisi ekologi dan restorasi sangat penting pasca bencana tersebut. 

Meizani mengatakan, perubahan lanskap di Batang Toru pascabencana membutuhkan pendekatan berbasis data terkait perencanaan ruang dan pengelolaan sumber daya alam. “Tanpa pemahaman yang akurat terhadap perubahan fisik kawasan, risiko ekologis dan sosial berpotensi terus berulang, meskipun upaya pemulihan telah dilakukan,” katanya. 

Orang utan tapanuli. Satwa terancam punah ini hanya hidup di Batang Toru, dengan populasi kecil dan terfragmentasi. Dok. Andrew Walmsley/SOS

“Peristiwa bencana di Batang Toru mengingatkan kita bahwa kerja konservasi tidak bisa dipisahkan dari upaya keberlanjutan salah satunya untuk keselamatan manusia. Perlindungan ekosistem, penataan ruang yang adaptif, pencegahan dan pengelolaan risiko bencana harus berjalan bersama agar pembangunan benar-benar berkelanjutan,” ujar Meizani.  

Kerja cepat dan adaptif 

Sementara itu Sumatra Policy Manager Konservasi Indonesia Dedy Iskandar mengatakan, kajian spasial pascabencana menjadi fondasi penting untuk memahami perubahan tutupan hutan dan lahan secara objektif di Batang Toru. 

Namun, perubahan lanskap di Batang Toru tidak dapat dijelaskan hanya melalui peta. “Diperlukan kajian yang lebih menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang agar penataan ruang ke depan benar-benar menyesuaikan dengan kondisi ekologis terbaru,” ujarnya.

Dedy menilai Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (POKJA EBT) memiliki peran strategis untuk bergerak lebih cepat dan terkoordinasi. Menurutnya, dinamika pascabencana menuntut kerja lintas sektor yang tidak berjalan sendiri-sendiri.

Perubahan lanskap di Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, usai banjir bandang dan longsor melanda pada akhir November 2025. Dok. Konservasi Indonesia

“POKJA menjadi ruang penting untuk menyatukan langkah. Situasi pascabencana menunjukkan bahwa Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru perlu segera didorong sebagai rujukan bersama, agar berbagai upaya pemulihan, penataan ruang, dan perlindungan kawasan bergerak dalam satu arah,” imbuhnya.

Percepatan kerja POKJA perlu diiringi dengan kejelasan mekanisme pembiayaan berkelanjutan dan strategi komunikasi yang efektif, agar kebijakan yang disusun dapat dipahami dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh pemangku kepentingan. 

“Perubahan lanskap pascabencana menuntut POKJA EBT bergerak cepat dan terkoordinasi, agar perlindungan ekosistem, penataan ruang, dan keselamatan masyarakat berjalan searah,” sebut Dedy

Ekosistem kawasan batang toru harus kembali utuh

Menurut Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia Doni Latuparisa, salah satu langkah awal pemulihan berupa penyesuaian rencana tata ruang wilayah (RTRW) penting dan disesuaikan dengan lanskap baru beserta risiko ekologis dan kebencanaan. Pengelolaan kawasan tersebut juga sangat bergantung pada kondisi kawasan di sekitar, khususnya desa penyangga yang ada di pinggiran kawasan ekosistem. 

“Ketika wilayah pinggiran mengalami kerusakan dan tidak tertangani dengan baik, upaya pelestarian di tingkat ekosistem juga akan berjalan lebih lambat karena tekanan terhadap kawasan inti terus meningkat,” kata Doni.

Secara ekologis, ekosistem Batang Toru membutuhkan luasan utuh agar fungsinya tetap berjalan optimal, kata Doni. Luas sekitar 240.000 hektare dipandang sebagai batas minimum yang perlu dipertahankan. 

Dua warga berjalan di area bekas longsor di Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Dok. KI/Aristya Tri Rahayu

“Dalam konteks ekosistem, yang dijaga bukan hanya batas administrasi. Keutuhan kawasan menjadi syarat utama agar fungsi ekologis Batang Toru tetap berjalan,” ujarnya.

Menurut analisis Konservasi Indonesia, selama lima tahun terakhir terjadi pembukaan lahan setidaknya 10.000 hektare di ekosistem Batang Toru. Lebih dari 73% terjadi di wilayah hulu yakni pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. 

Karenanya, sambung Doni, dengan keberadaan sejumlah desa di Batang Toru yang berlokasi di dalam dan di luar ekosistem, dibutuhkan penataan ruang yang lebih adaptif agar perlindungan kawasan dan aktivitas masyarakat dapat dikelola secara terpadu.

“Pendekatan kolaboratif, adaptif, dan berbasis data dipandang sebagai kunci untuk menjaga Batang Toru sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati Sumatra, sekaligus ruang hidup yang lebih aman bagi masyarakat di sekitarnya,” kata Doni. 

Foto udara perubahan lanskap usai bencana di Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, pada akhir November 2025. Dok. Konservasi Indonesia

SHARE