Pemerintah - Korporasi Bisa Dipidana dalam Kasus Bencana Sumatera
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Selasa, 23 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pejabat pemerintah dan korporasi bisa dikenai jerat hukum pidana maupun perdata atas bencana di Sumatera. Penerapan pasal pidana dapat diberlakukan terhadap pejabat pemerintah pemberi izin dan pengawasan usaha ekstraktif.
Bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang dipicu oleh siklon tropis Senyar pada 25-27 November 2025 lalu tak melulu terjadi karena faktor alam saja. Deforestasi, baik legal maupun ilegal, turut memicu banjir besar dan longsor di Sumatera. Pertanggungjawaban atas perusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana ini dapat dijerat secara pidana dan perdata, bukan hanya kepada korporasi melainkan juga pejabat pemerintah .
Ketua Umum Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI), Andri Gunawan Wibisana, menyebutkan bencana ekologis ini bukan hanya disebabkan oleh deforestasi di kawasan tanpa izin, tapi juga deforestasi berdasar izin. Penegakan hukum atas musabab bencana ini seharusnya dilakukan secara komprehensif. Pemerintah pun merupakan aktor selaku pemberi izin dan pengawas atas deforestasi legal.
Saat ini pemerintah sendiri berencana mencabut 22 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPH) bermasalah di seluruh Indonesia seluas total 1.012.016 hektare, sedangkan luas total di Sumatera dari PBPH tersebut adalah 116.168 ha berada di Sumatera. Selain mencabut izin, pemerintah juga hendak menerapkan pertanggungjawaban pidana. PHLI mengapresiasi langkah pemerintah untuk melakukan penegakan hukum tersebut.
Penegakan hukum tidak membuat pemerintah bebas dari tanggung jawab. Mereka mengeluarkan izin di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Perizinan diterbitkan di dalam kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, daya dukung, dan daya tampung lingkungan hidup, serta fungsi ekologis kawasan hutan.
Selain itu, pemerintah juga tidak optimal melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap izin yang sudah diberikan, sehingga perusahaan pemegang izin tersebut dengan bebas merusak hutan tanpa ampun dan tidak terkendali.
“Kalau kita bandingkan di Jerman pertanggungjawaban pejabat pemerintah ini dapat dijerat dengan pidana, karena bersalah mengeluarkan izin dan sengaja tidak melakukan intervensi pengawasan atas izin yang berjalan,” ucap dia dalam konferensi pers PLHI atas Bencana Ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada Senin (22/12/2025).
Sedangkan di dalam negeri dapat menggunakan UU No 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyebutkan dua tanggung jawab, selaku pejabat pemberi izin dan sebagai pemerintah.
Selain itu UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 112 memberikan ancaman pidana kepada pejabat berwenang yang tidak melakukan pengawasan atas pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
“UUPPLH ini jelas menyebutkan unsur kesengajaan tidak melakukan pengawasan hingga muncul kerusakan lingkungan dan mengakibatkan orang meninggal dunia. Sedangkan korban meninggal pada bencana di Sumatera itu sudah mencapai seribu jiwa lebih,” ucap dia.
Akademisi Hukum Universitas Bengkulu yang juga anggota PHLI, Edra Satmaidi, mengingatkan ukuran kondisi lingkungan pada UUPPLH tidak hanya melulu terkait pencemaran namun juga daya dukung dan daya tampung lingkungan. Artinya, deforestasi legal juga harus diperhatikan, misalnya saja terkait manfaat sebagai kawasan lindung, gambut, dan lainnya.
“Masalahnya proses pemberian izin berliku, mulai dari RTRW, status kawasan, perizinan kehutanan, hingga munculnya izin berusaha. Selain itu status Proyek Strategis Nasional (PSN) dan penetapan sebagai objek vital nasional, kan dijaga aparat itu,” kata dia.
Sedangkan peluang untuk meminta pertanggungjawaban secara perdata lebih terbuka lebar.
Andri menyebutkan langkah hukum dapat dilakukan tak sekedar gugatan warga melainkan juga ganti rugi melalui class action. Gugatan ini ditujukan atas kelalaian pemerintah mempertimbangkan keselamatan masyarakat atas pemberian izin dan pengawasan.
Selain itu meminta pertanggungjawaban perdata terhadap korporasi juga dapat dilakukan. Pemerintah pun dapat menekan pihak swasta untuk menanggung atas pemulihan bencana.
PHLI mengingatkan pemerintah telah melanggar hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanat Pasal 28H ayat (1) Konstitusi. Menurut Pasal 28H ayat (1) tersebut setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Edra menyebutkan PHLI menuntut dihentikannya dengan segera deforestasi di seluruh Indonesia dengan moratorium perizinan pemanfaatan kawasan hutan, penghentian seluruh penerbitan izin baru dan pelepasan kawasan hutan di sektor perkebunan skala besar, tambang, dan HTI. Moratorium perizinan ini harus diawasi penuh supaya tidak justru menjadi alat untuk menerbitkan izin baru maupun perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana yang terjadi pada moratorium sebelumnya.
Selain itu pemerintah juga harus melakukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan dan perizinan dalam kawasan hutan, termasuk pengelolaan sumber daya alam.
Bencana Sumatera Bukan Semata Bencana Alam
Hingga saat ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diperbaharui Sabtu, 20 Desember 2025, bencana ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah mengakibatkan 1.071 orang meninggal dunia, 185 hilang, luka-luka 7.000 orang, mengungsi 526.868 orang, dan kerusakan rumah 147.236 unit.
Sebagian aliran listrik masih belum normal, masyarakat masih kesulitan mengakses makanan dan air bersih sehingga harus berjalan berkilo-kilo meter dalam kondisi lapar, akses jalan masih banyak yang terputus, akses bantuan masih terbatas, rumah-rumah terendam lumpur, dan ribuan kubik gelondongan kayu teronggok mengepung sungai dan rumah-rumah warga.
Data berbagai kajian dan penelitian menyebutkan hutan Sumatera yang terlanjut dijamah ketika siklon tropis Senyar mencapai puncaknya. Makanya bencana itu bukan semata air yang jatuh dari langit dan menjadikannya banjir. Tapi juga izin-izin yang terlanjur bercokol menghabisi hutan.
PHLI pun mendesak pemerintah menetapkan bencana ekologis Sumatera sebagai bencana nasional. Pemerintah juga turut bertanggung jawab atas pemberian persetujuan lingkungan dan perizinan yang merusak lingkungan, hutan, dan merugikan masyarakat.
Bencana ini harus ditindaklanjuti dengan moratorium dan peninjauan ulang seluruh perizinan di kawasan hutan terutama perizinan yang berkaitan dengan kegiatan industri ekstraktif. Seluruh perusahaan yang mendapatkan perizinan ini harus diumumkan kepada publik.
Selain itu pertanggungjawaban hukum harus ditanggung oleh korporasi dan pemerintah.
SHARE

Share
