Walhi Surati Bank Jepang Minta Setop Danai Amonia Hijau di Aceh

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 26 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sepucuk surat protes dikirim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan di saat hampir bersamaan kelompok masyarakat sipil ini juga mengirim petisi kepada PT Pupuk Indonesia, ITOCHU Corporation, dan Toyo Engineering.

Kedua dokumen ini menegaskan penolakan terhadap proyek Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA) yang diklaim sebagai bagian dari transisi energi. Padahal pada kenyataannya proyek ini justru hanya memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fosil, menimbulkan ancaman serius terhadap keselamatan komunitas lokal, merusak lingkungan hidup, dan melanggar hak masyarakat atas informasi serta partisipasi.

Dalam surat protes kepada JBIC, Walhi menuntut agar lembaga pendanaan tersebut menyetop pertimbangan pembiayaan terhadap proyek GAIA. Walhi menganggap keputusan JBIC yang mengklasifikasikan proyek ini sebagai Kategori C adalah hal yang salah, seolah-olah tidak memiliki dampak sosial dan lingkungan signifikan, karena fakta di lapangan menunjukkan risiko yang sangat nyata.

Menurut Walhi, meskipun JBIC berusaha membatasi tanggung jawabnya hanya pada aspek produksi hidrogen, tapi hidrogen tersebut tetap digunakan dalam rantai produksi amonia sehingga dampak sosial dan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan JBIC.

Aksi WALHI mendesak Jepang dan lembaga pendanaannya, JBIC, untuk menghentikan pendanaan proyek energi gas dan LNG di seluruh dunia, di Jakarta, Selasa, 25 April 2024. Dok. Istimewa

“Dengan demikian, Walhi menuntut JBIC untuk konsisten dengan pedoman lingkungan dan sosialnya sendiri, serta menghentikan dukungan terhadap proyek yang berisiko memperburuk ketidakadilan ekologis,” kata Dwi Sawung, dalam sebuah keterangan, Manajer Kampanye Isu Infrastruktur dan Tata Ruang, Walhi Nasional, Jumat (19/12/2025).

Sementara itu, lanjut Sawung, melalui petisi kepada PT Pupuk Indonesia, ITOCHU Corporation, dan Toyo Engineering, Walhi menuntut agar ketiga korporasi tersebut segera menghentikan keterlibatan mereka dalam proyek GAIA. Sawung bilang, klaim hidrogen hijau yang dijadikan dasar proyek ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena listrik yang digunakan untuk proses elektrolisis masih bersumber dari jaringan PLN Aceh yang 98 persen berbasis energi fosil.

Lebih jauh lagi Sawung menuturkan, pabrik amonia yang telah ada tetap menggunakan grey hydrogen dari gas fosil dalam proses produksi amonia, sehingga produk yang dihasilkan hanyalah amonia hibrida yang masih bergantung pada energi fosil. Keterlibatan perusahaan-perusahaan Jepang ini, alih-alih menjadi bagian dari solusi transisi energi yang adil, justru memperkuat praktik greenwashing yang menyesatkan publik dan bertentangan dengan komitmen global mereka terhadap Sustainable Development Goals, Paris Agreement, serta prinsip Environmental, Social, and Governance.

Sawung mengatakan, ancaman dan dampak proyek GAIA menjadi bagian integral dari penolakan ini. Rekam jejak PT Pupuk Iskandar Muda menunjukkan adanya sembilan insiden kebocoran amonia antara 2010 hingga 2025, yang berdampak pada sekitar 2000 warga dengan gejala kesehatan serius, mulai dari sesak napas, mual, muntah, hingga perawatan intensif.

“Sistem peringatan dini yang tidak efektif, prosedur evakuasi yang tidak disosialisasikan dengan baik, serta minimnya perlindungan bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil memperlihatkan lemahnya manajemen risiko industri kimia di kawasan tersebut,” kata Sawung.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Afifuddin Acal, menambahkan, selain ancaman keselamatan, dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat pesisir juga sangat nyata. Nelayan kecil kehilangan akses pantai akibat alih fungsi kawasan menjadi zona industri, tradisi pukat darat punah, dan dugaan pencemaran laut dari limbah cair perusahaan menurunkan hasil tangkapan. Hilangnya rumpon ikan membuat biaya melaut meningkat, sementara kompensasi yang diberikan perusahaan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang muncul dari keberadaan perusahaan juga tidak merata, karena tidak semua warga memperoleh kesempatan bekerja di pabrik atau mendapatkan manfaat langsung dari program tanggung jawab sosial perusahaan. Akibatnya, ketergantungan masyarakat pada bantuan perusahaan meningkat, sementara kerugian ekonomi akibat dampak lingkungan justru menekan kelompok lain, terutama nelayan kecil.

“Yang lebih memprihatinkan, proyek GAIA dijalankan tanpa transparansi dan partisipasi bermakna dari masyarakat yang tinggal di wilayah lingkar pabrik,” ujar Afif.

Afif mengungkapkan, warga desa sekitar proyek tidak pernah menerima penjelasan resmi mengenai rencana pembangunan, bahkan penjelasan dari perwakilan badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda), sebagai bagian dari pemerintah daerah, mengakui hanya mengetahui proyek ini melalui pemberitaan media.

Kondisi ini, menurut Afif, jelas melanggar hak masyarakat atas informasi dan partisipasi sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, sekaligus bertentangan dengan komitmen internasional Indonesia dalam Paris Agreement dan Deklarasi Rio.

Melalui surat protes kepada JBIC dan petisi kepada PT Pupuk Indonesia, ITOCHU Corporation, serta Toyo Engineering, Walhi menegaskan bahwa proyek GAIA bukanlah transisi energi sejati, melainkan solusi palsu yang memperburuk ancaman terhadap keselamatan komunitas dan lingkungan serta melanggengkan ketidakadilan sosial-ekologis.

“Walhi mendesak JBIC untuk menghentikan pertimbangan pendanaan terhadap proyek GAIA dan menuntut perusahaan-perusahaan terkait untuk segera menghentikan keterlibatan mereka,” kata Sawung.

Sawung mengatakan, Walhi percaya bahwa transisi energi sejati hanya dapat terwujud melalui prinsip keadilan ekologis, keterbukaan, dan partisipasi bermakna dari masyarakat. Tanpa itu semua, proyek GAIA hanyalah bentuk greenwashing yang memperpanjang ketimpangan dan ancaman terhadap kehidupan komunitas lokal.

SHARE