Kepala Daerah, Jakarta Bisa Dilawan!
Penulis : Yosep Suprayogi, PEMIMPIN REDAKSI BETAHITA
EDITORIAL
Senin, 22 Desember 2025
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BENCANA hidrologis yang menyapu tiga provinsi di Sumatera pada akhir November lalu bukan sekadar amuk alam. Di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga, banjir bandang membawa serta kayu-kayu gelondongan dari hulu, dari hutan-hutan yang dikupas habis dengan sengaja.
Wilayah paling parah terdampak justru berada di jantung Ekosistem Harangan Tapanuli (Batang Toru), hutan tropis terakhir di Sumatera Utara, sumber air bagi tiga kabupaten, dan rumah bagi keanekaragaman hayati, termasuk orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang terancam punah. Mengutip laporan Walhi Sumatera Utara, di sana beroperasi setidaknya tujuh korporasi raksasa. Izin mereka legal, turun langsung dari pusat, dan tak terhentikan.
Tapanuli Selatan merasakan benar betapa izin Jakarta tak menimbang risiko dari pemberian izin tersebut. Soalnya bagi kabupaten ini, banjir bandang bukan kali itu saja. Setahun sebelumnya, pada 24 November, air bah meluluhlantakkan Desa Sipange Siunjam. Persis menjelang Natal, giliran Tano Tombangan diterjang bencana serupa. Polanya identik. Air bah datang bersama gelondongan kayu tebangan.
Namun baru sembilan bulan kemudian, pada Juli 2025, Kementerian Kehutanan menghentikan izin penebangan di sana. Itu pun hanya tiga bulan. Pada Oktober 2025, Kementerian kembali membuka keran izin tebang.
Khawatir banjir bandang lagi, Bupati Tapsel mengirim surat permintaan penghentian izin pada 14 November 2025, tapi tak direspons. Sebelas hari kemudian, pada 25 November, yang dikhawatirkan itu datang. Bah menerjang dari Batang Toru.
Dari sini, premisnya jelas sudah: bagi pusat, daerah seperti “tanah jajahan”. Praktik neokolonialisme ini bahkan telah dilengkapi dengan perangkat konstitusinya. Sebutlah Undang-Undang (UU) Minerba dan UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Dengan UU itu, segala penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) diatur dari Jakarta. Kepala daerah hanya stempel basah pusat dalam pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya.
Namun, dinamika resistensi daerah terhadap kebijakan pusat dalam sumber daya alam sepanjang 2025 menunjukkan ada anomali menarik dan penting. Daerah ternyata memiliki kapasitas yang besar untuk menjadi “pemberontak konstitusional”. Perlawanannya terbukti dapat melumpuhkan kebijakan pusat.
Jadi, jika ada pemimpin daerah yang bertanya "Bagaimana cara melawan kebijakan pusat?", jawabannya telah dipraktikkan oleh rekan-rekannya di beberapa daerah. Caranya beragam, demikian juga motifnya.
Cara pertama adalah dengan melakukan blokade administratif dan fisik. Ini dilakukan Gubernur Rudy Mas'ud di Kalimantan Timur, yang menantang priviledge tambang ormas keagamaan yang—menurut dia—hanya berfungsi sebagai "broker" atau rent-seeker bagi kontraktor swasta. Gubernur Rudy tidak bisa membatalkan UU, tapi ia mempersulit rekomendasi tata ruang dan memperketat pengawasan teknis, membuat izin pusat menjadi dead capital.
Di Jambi, ada Gubernur Al Haris yang menggunakan kewenangan diskresi "ketertiban umum" untuk memblokade jalan nasional bagi truk batubara. Meskipun jalan nasional adalah kewenangan Kementerian PUPR, Gubernur Al Haris memberlakukan jam operasional nol bagi truk batu bara di jalur darat. Meskipun mendapat tekanan dari pusat karena potensi gangguan pasokan ke PLN, Al Haris bersikukuh dengan argumen "keselamatan rakyat di atas investasi". Kebijakan ini memaksa pengusaha mengalihkan logistik ke jalur sungai.
Tengoklah pula Bangka Belitung. Di sana veto Gubernur Hidayat Arsani yang (berkat tekanan masyarakat) diteruskan Penjabat (Pj) Gubernur Sugito menghentikan rencana ekspansi tambang timah Laut Beriga oleh PT Timah Tbk.
Jika contoh itu belum cukup, masih ada Gubernur Ansar Ahmad di Provinsi Kepulauan Riau yang melakukan taktik "penundaan halus" terhadap ekspor pasir laut. Ada pula Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang menahan rekomendasi teknis tambang pasir besi di Seluma, karena merespons kekhawatiran warga akan ancaman abrasi pesisir.
Jika gubernur diam karena dia menjadi perpanjangan tangan pusat, maka perlawanan bisa dibangun di tingkat kabupaten/kota, menggunakan tata ruang yang menjadi benteng terakhir otonomi daerah. Cara kedua ini dipakai Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin untuk memveto tambang emas. Menjadikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai perisai, ia menetapkan kawasan target tambang sebagai kawasan lindung karst esensial demi ekonomi hijau. Sikap "bangkang" ini membuat izin pusat yang dipegang perusahaan tambang menjadi aset mati yang tidak bisa dieksekusi.
Taktik serupa dilakukan oleh Bupati Kepulauan Sangihe, Michael Thungari, untuk menolak operasi tambang emas di wilayahnya. Ia menggunakan argumen hukum UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang tambang di pulau dengan luas di bawah 2.000 km persegi.
Ada pula perlawanan Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam, atas ekspansi tambang nikel. Bupati Burdam, yang berada di bawah tekanan kuat dari akar rumput, mengambil sikap tegas: bahwa identitas Raja Ampat adalah pariwisata level dunia, bukan tambang.
Bahkan camat dan kepala desa bisa melawan. Di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, misalnya, Camat Tinombo Selatan bersama Kepala Desa Tada Selatan, Oncone Raya, Tada Induk, Silutung, Tada Utara, Tada Timur, dan Poly, menandatangani pakta integritas menolak tambang emas ilegal, setelah banjir bandang berulang kali menghantam desa mereka dan menunggu tindakan dari aparat penegak hukum pusat terlalu lama.
Jika semua pemimpin daerah telah terkooptasi oleh pusat atau korporasi, atau mereka terlalu takut melawan, maka rakyat bisa mengambil alih mandat konstitusi. Suku-suku adat di Merauke telah memberi contoh. Pada September 2025, melalui tokoh adat Liborius Kodai Moiwend, mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menantang food estate.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa sentralisasi perizinan yang dimandatkan oleh UU Minerba dan Cipta Kerja tidak serta merta menghasilkan kendali efektif di lapangan. Sebaliknya, sentralisasi ini telah menciptakan "Otonomi Pembangkangan" (Autonomy of Resistance). Pemerintah daerah yang kehilangan wewenang legal untuk mengatur (regulate), beralih menggunakan wewenang untuk menghambat (obstruct).
Friksi vertikal ini dipastikan akan terus berlanjut, didorong oleh adanya "asimetri ekologis-fiskal", di mana pemerintah daerah menanggung dampak ekologis langsung—banjir, kerusakan jalan, konflik agraria—sementara kewenangan regulasi dan porsi terbesar penerimaan negara (royalti dan pajak) ditarik ke pusat. Gesekannya juga bakal makin sering dan meluas karena kian nyatanya dampak krisis iklim. Itu tadi, di antaranya berupa bencana hidrometeorologi. Semakin sering bencana akibat perubahan iklim terjadi, kian kuat legitimasi pemimpin daerah untuk menolak kebijakan ekstraktif pusat.
Memilih untuk berkata "tidak" pada Jakarta jelas berat. Ada risiko politik, hukum, anggaran, hingga administratif. Pusat (melalui Kemendagri) memiliki instrumen untuk menyanksi kepala daerah yang dianggap menghambat proyek strategis nasional. Karena itu, kepala daerah harus siap berargumen di PTUN atau Mahkamah Agung, bahwa tindakan mereka didasarkan pada “asas keselamatan rakyat”.
Yang baru saja terlihat di Sumatera adalah contoh pahit yang baik untuk mulai berkata “tidak”.
SHARE

Share
