BKSDA Bengkulu Diminta Memihak Gajah dari Sawit di Seblat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Konservasi

Kamis, 25 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Koalisi Bentang Seblat mendesak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung menghentikan nota kesepahaman (MoU) pemanfaatan jalan dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, sebagai upaya menyelamatkan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang tersisa di wilayah Provinsi Bengkulu.

Anggota Koalisi Bentang Seblat, Ali Akbar mengatakan, terbitnya MoU antara BKSDA dengan perusahaan perkebunan sawit swasta PT Alno Agro Utama sejak 2004 itu telah menimbulkan tekanan terhadap kawasan hutan. Sebab selain dipakai untuk mengangkut sawit perusahaan, jalur itu juga menjadi pintu masuk utama para perambah untuk menghabisi Hutan Produksi (HP) Air Rami.

“BKSDA Bengkulu atau Kementerian Kehutanan harus menghentikan kerja sama penggunaan kawasan TWA Seblat menjadi jalur pengangkutan sawit karena faktanya jalur itu menjadi pintu masuk perambah ke habitat gajah di HP Air Rami dan Lebong Kandis,” kata Ali, dalam keterangan tertulis, Jumat (19/12/2025).

Diketahui, kerja sama pemanfaatan jalan existing di TWA Seblat berada di Resort Seblat, KPHK Seblat, Seksi Konservasi Wilayah I yang secara administrasi berada di Desa Suka Merindu, Suka Maju dan Suka Baru Kecamatan Marga Sakti Seblat Kabupaten Bengkulu Utara dan Desa Dusun Pulau Kecamatan Air Rami Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu.

Tampak dari ketinggian ruas jalan yang digunakan untuk mengangkut sawit yang membelah kawasan TWA Seblat. Foto: Auriga Nusantara.

Areal kawasan konservasi yang menjadi rute transportasi terbatas berupa pemanfaatan jalan patroli yang telah ada (existing) di dalam TWA Seblat sepanjang sekitar 8,198 km dan lebar kurang lebih 10,7 m di blok khusus TWA Seblat seluas 8,8 hektare.

Berikut ini fakta lapangan yang didapatkan Koalisi Bentang Seblat terkait pemanfaatan jalan tersebut:

  1. Jalan tersebut berfungsi sebagai akses utama perambahan kawasan hutan dan mempermudah masuknya aktivitas ilegal di Bentang Alam Seblat.
  2. Tekanan terhadap habitat gajah Sumatera semakin meningkat, baik melalui fragmentasi ruang jelajah, gangguan aktivitas harian, maupun meningkatnya potensi konflik manusia gajah.
  3. Tidak terdapat upaya nyata PT Alno Agro Utama untuk menjaga atau memulihkan habitat gajah, meskipun perusahaan beroperasi di lanskap konflik gajah–manusia sejak lama.
  4. Keberadaan jalan ini melemahkan fungsi kawasan konservasi, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan mandat perlindungan satwa dilindungi.
  5. Dalam konteks lanskap Seblat, kontribusi aktivitas perkebunan skala besar termasuk PT Alno Agro Utama telah mempersempit habitat dan koridor jelajah gajah Sumatera, yang saat ini berada pada status kritis menuju kepunahan.

Jalur ini digunakan oleh PT Alno Agro Utama, perusahaan dengan luas Hak Guna Usaha (HGU) sekitar 14.000 hektare, untuk mengangkut tandan buah segar (TBS) sawit dari Pangeran Estate dan Sapta Buana Estate menuju pabrik minyak sawit (Palm Oil Mill) milik PT Mitra Puding Mas, yang masih berada dalam satu grup usaha, yaitu Anglo Eastern Plantation (AEP) Group.

Faktanya, keberadaan jalan ini telah mempermudah akses masuk ke kawasan hutan secara ilegal. Data Mapbiomas Indonesia menunjukkan bahwa perambahan hutan di sekitar areal HGU PT Alno Agro Utama yang memanfaatkan jalan tersebut sebagai akses utama telah mencapai 5.738 hektare dan telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Anggota Koalisi Bentang Seblat lainnya, Supintri Yohar mengatakan berdasarkan data terbaru yang dirilis Mapbiomas indonesia, luas areal hutan Bentang Seblat yang mengalami kerusakan dan sebagian besar beralih fungsi menjadi kebun sawit mencapai 30.017 hektare.

“Sementara berdasarkan analisis citra sentinel dalam kurun Januari 2024 hingga Oktober 2025 saja, ditemukan lebih dari 775 titik deforestasi dengan luas total mencapai 3.410 hektare,” katanya.

Selain perambahan di sekitar HGU PT Alno Agro Utama, kerusakan hutan masif juga ditemukan dalam konsesi dua perusahaan kayu yaitu PT Bentara Arga Timber (BAT) sebanyak 262 titik seluas 1.239 hektare dani PT Anugerah Pratama Inspirasi (API) sebanyak 243 titik seluas 1.209 hektare.

Kronologi Penggunaan Jalan di Taman Wisata Alam (TWA) Seblat oleh PT Alno Agro Utama:

  1. Pada 1974–1994 | Fase Jalan Kehutanan (HPH). Jalan yang saat ini berada di dalam kawasan TWA Seblat dibangun dan digunakan sejak 1974 sebagai bagian dari kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Maju Jaya Raya Timber, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 422/Kpts/UM/8/1974. Jalan ini berfungsi sebagai jalan logging dan operasional kehutanan. Masa HPH berakhir pada 7 Agustus 1994.
  2. Pasca-1994 | Perubahan Status Kawasan. Setelah berakhirnya HPH, kawasan mengalami perubahan fungsi dari hutan produksi menjadi kawasan dengan fungsi konservasi, yang kemudian ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Seblat. Jalan yang telah ada tetap berstatus sebagai jalan existing di dalam kawasan konservasi.
  3. Pada 1997 | Awal Operasional PT Alno Agro Utama. PT Alno Agro Utama mulai beroperasi sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak 1997 dan memanfaatkan jalan tanah existing di kawasan TWA Seblat sebagai akses transportasi operasional.
  4. Pada 2004–2019 | Periode Perjanjian Kerja Sama Berulang. Pemanfaatan jalan oleh PT Alno Agro Utama dilegalkan melalui serangkaian Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Balai KSDA Bengkulu pada periode 2004–2009, 2010–2014, dan 2014–2019. Jalan yang dimanfaatkan memiliki panjang sekitar ±8 km dengan lebar ±10 meter, melintasi wilayah eks HPT Lebong Kandis dan eks HPKh PLG Seblat.
  5. Pada 2019 | Berakhirnya PKS Lama. PKS terakhir (2014–2019) berakhir pada 29 Januari 2019. Sejak saat itu, tidak terdapat dasar kerja sama aktif hingga diterbitkannya perjanjian baru.
  6. Pada 29 Desember 2020 | Penandatanganan PKS Baru. Pada 29 Desember 2020, ditandatangani Perjanjian Kerja Sama baru antara Kepala Balai KSDA Bengkulu dan PT Alno Agro Utama. PKS ini berjudul “Pembangunan Strategis yang Tidak Dapat Dielakkan dalam Rangka Pemanfaatan Transportasi Terbatas berupa Jalan Existing di Kawasan TWA Seblat.”
  7. Pada 2020–2025 | Pemanfaatan Jalan di Kawasan Konservasi. Sejak berlakunya PKS pada 2020 hingga periode 2025, PT Alno Agro Utama tetap memanfaatkan jalan existing di dalam TWA Seblat dengan skema “transportasi terbatas”. Secara faktual, jalan tersebut digunakan sebagai akses utama transportasi operasional perkebunan kelapa sawit dan aktivitas logistik, di samping klaim fungsi patroli dan wisata kawasan.

Akademisi Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji menganggap perjanjian kerja sama antara PT Alno Agro Utama dan BKSDA menjadi salah satu pembuka akses illegal farming dan illegal logging yang sedang berlangsung di kawasan habitat alami gajah Sumatera. Menteri Kehutanan harus membatalkan perjanjian tersebut jika benar benar ingin menyelamatkan habitat gajah Sumatera terakhir di Provinsi Bengkulu.

Menurutnya, kawasan hutan yang hilang di wilayah konsesi itu merupakan bagian dari koridor jelajah gajah. Koridor ini berfungsi sebagai jalur migrasi, sumber pakan, hingga ruang yang memfasilitasi proses reproduksi alami.

“Saat ini, dibutuhkan koridor yang aman bagi gajah untuk menjalankan fungsi ekologis juga fungsi reproduksi untuk mempertemukan dua kantong habitat gajah yang tersisa yaitu kantong Air Rami dan kantong Air Ipuh,” katanya.

Ia menambahkan bahwa percepatan alih fungsi hutan menjadi perkebunan, lahan budidaya, hingga permukiman meningkatkan potensi konflik manusia-gajah. Kondisi serupa juga terjadi wilayah habitat gajah Sumatera lainnya di Aceh dan Riau, yang mencatat tingginya kematian gajah akibat perburuan, keracunan, dan benturan dengan aktivitas manusia.

Koalisi Bentang Seblat menuntut penghentian segera kerja sama pemanfaatan jalan di dalam TWA Seblat dan meninjau ulang seluruh perizinan yang melekat, dan menutup akses jalan bagi kepentingan non-konservasi serta mengembalikan fungsi jalan sebagai jalur patroli terbatas murni.

Kemudian lakukan audit ekologis independen terhadap dampak jalan terhadap habitat gajah Sumatera dan kawasan TWA Seblat, serta tegakkan prinsip perlindungan kawasan konservasi, dengan mengutamakan keselamatan satwa liar di atas kepentingan operasional perusahaan. Terakhir Koalisi berpesan agar praktik normalisasi akses industri di dalam kawasan konservasi yang terbukti mempercepat degradasi habitat dihentikan.

Koalisi menegaskan, TWA Seblat bukan ruang kompromi bagi kepentingan industri. Setiap kebijakan yang membuka akses permanen di kawasan konservasi adalah keputusan yang mempertaruhkan masa depan gajah sumatera. Mereka menganggap konservasi tidak boleh menjadi formalitas administratif, sementara di lapangan habitat terus tergerus dan satwa dilindungi didorong menuju kepunahan.

SHARE