Simalakama Program Mobil Nasional Vs. Insentif Mobil Listrik

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Senin, 22 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rencana pemerintah menyetop insentif mobil listrik pada 2026 dinilai akan berdampak pada upaya penurunan emisi di sektor transportasi. Pasalnya, kebijakan tersebut akan memengaruhi berbagai insentif yang selama ini mendorong minat beli masyarakat di Indonesia. 

Insentif yang tidak diperpanjang mencakup pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik dalam bentuk mobil utuh atau completely built up (CBU) dari tarif normal sebesar 50 persen menjadi nol persen. Di sisi lain pemerintah berencana mengalihkan anggaran insentif untuk mendukung program mobil nasional. 

Chief Executive Officer Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, kebijakan ini akan memicu kenaikan harga mobil listrik, yang dapat menekan penjualan, serta menghambat perkembangan industri pendukung, termasuk baterai dan komponen kendaraan listrik. 

“Elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi di sektor transportasi. Kontribusinya bisa mencapai 45–50 persen dari total penurunan emisi sektor transportasi. Akan lebih tinggi lagi manfaatnya jika digabungkan dengan strategi yang lebih komprehensif melalui pendekatan Avoid–Shift–Improve yang menghasilkan penurunan emisi dapat mencapai 76 persen jangka panjang dan sekitar 18 persen pada 2030,” ujar Fabby.

Ilustrasi mobil listrik. Dok. Earth.org

Di sisi lain, adopsi kendaraan listrik juga dapat menurunkan laju impor dan permintaan BBM. Berdasarkan analisis IESR, penggunaan mobil listrik sejauh 20 ribu km dapat mengurangi impor BBM hingga 1.320 liter dan menghemat biaya pengguna sekitar Rp6,89 juta per tahun. 

Dengan jumlah kendaraan listrik di jalan hingga Oktober 2025 yang mencapai sekitar 140 ribu unit, potensi penghematan mencapai 185 ribu kiloliter BBM dan biaya kompensasi sekitar Rp315 miliar pada tahun berjalan, sekaligus berkontribusi pada penurunan emisi.

Studi IESR menunjukkan bahwa insentif berperan signifikan dalam mendorong adopsi kendaraan listrik. Hingga Oktober 2025, penjualan mobil listrik mencatat rekor 68.827 unit dan penjualannya didominasi oleh mobil listrik yang mendapatkan insentif. Sebaliknya, berakhirnya insentif sepeda motor listrik pada 2025 menyebabkan penjualan anjlok hingga 80 persen pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurut Fabby, percepatan elektrifikasi kendaraan memerlukan implementasi strategi yang konsisten melalui bauran kebijakan, regulasi, dan insentif yang saling menguatkan. Rasionalisasi subsidi BBM menjadi langkah mendesak karena selama ini melemahkan daya saing kendaraan listrik.

Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR Faris Adnan Padhilah mengatakan, insentif kendaraan listrik layak diperpanjang apabila terbukti memberikan manfaat yang lebih besar, seperti mendorong investasi ekosistem kendaraan listrik serta meningkatkan daya saing dan profitabilitas industri kendaraan listrik di Indonesia.

Saat ini sudah ada delapan pabrik mobil listrik memproduksi di Indonesia, tapi  jumlah ini masih belum cukup untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat. Apalagi pemerintah memiliki target untuk meningkatkan TKDN mencapai 60 persen di 2027 dan 80 persen di 2030 yang bisa terjadi kalau ada populasi manufaktur kendaraan listrik yang lebih besar. 

Selain itu, ada manfaat ekonomi setidaknya Rp544 triliun per tahun yang akan hilang jika pasar kendaraan listrik di Indonesia meredup. Angka ini berasal dari industri  baterai yang terintegrasi dari hulu ke hilir hingga 2060. Menurut IESR, angka ini berpotensi bertambah karena belum memperhitungkan keseluruhan ekosistem kendaraan listrik.

Di sisi lain, minat perbankan nasional membiayai industri kendaraan listrik dan kredit kepemilikan kendaraan listrik terus meningkat. “Peluang ini perlu dimanfaatkan pemerintah untuk memperkuat pembiayaan hijau mobilitas berkelanjutan. Selain itu, penerapan kebijakan sisi pasokan, seperti mandat kendaraan listrik, instrumen ekonomi, termasuk pajak karbon pada BBM,” katanya. 

Dalam jangka pendek, IESR merekomendasikan agar pemerintah memperpanjang insentif selama satu tahun untuk memberi waktu industri menyelesaikan fasilitas produksi, menjaga momentum penjualan, dan mencegah jeda kebijakan yang merugikan pasar dan iklim investasi. 

“IESR mendorong pemerintah mengkaji ulang rencana penghentian insentif kendaraan listrik, mengingat sejumlah produsen masih dalam tahap pembangunan pabrik dan adanya kebutuhan menarik investasi dari brand lain sehingga mereka tidak lari ke negara kompetitor kita di Asia Tenggara,” katanya. 

SHARE