Pemerintah dan Jhonlin Group Diminta Hormati Salib Merah

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Rabu, 24 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tepat pada Senin 15 Desember 2025, masyarakat adat Malind Maklew dari Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan melakukan aksi tanam Salib Merah dan Sasi Adat, sebagai bentuk pelarangan semua aktivitas PT Jhonlin Group.

Aksi penanaman Salib Merah oleh masyarakat adat ini dilaksanakan di beberapa titik yang telah digusur paksa dan diserobot oleh perusahaan untuk pembangunan jalan sepanjang 134 kilometer, cetak sawah baru, pembangunan pelabuhan serta pembangunan bandar udara, yang mana merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional Merauke.

Sebelumnya pada 5 Desember 2025, masyarakat adat Papua korban PSN Merauke di Wanam seperti Marga Kahol, Basik-Basik, Moiwend, Balagaize , Gebze dan marga-marga lainya, juga telah melakukan penancapan Salib Merah di area yang telah digusur, tepatnya di perempatan jalan yang menghubung kampung Wanam, Wogikel, Nakias dan Dermaga yang baru dibangun. Dalam aksi tersebut masyarakat adat membacakan pernyataan sikap penolakan dan meminta agar perusahaan segera hentikan semua aktivitas di wilayah adat.

Keberadaan Jhonlin Group di Wanam berdasarkan tugas yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk menjalankan Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke khususnya ketahanan pangan dan energi. Sebelumnya pemerintah telah menetapkan PSN Merauke melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Salah satu Salib Merah yang dipasang masyarakat di Kampung Wanam, Kabupaten Merauke. Foto: LBH Papua Merauke.

PSN tersebut kemudian ditetapkan kembali melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Selanjutnya pemerintah juga menetapkan Wanam sebagai salah satu Kawasan Sentra Produksi Pangan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) sesuai amanat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2025.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke, meminta pemerintah dan Jhonlin Group menghormati pemasangan Salib Merah tersebut. Karena faktanya, PSN Merauke tersebut dilaksanakan tanpa adanya konsultasi dan keterlibatan bermakna dari masyarakat adat kampung Wanam yang akan terdampak untuk memberikan persetujuan bebas atas pengembangan PSN Merauke di wilayah adat mereka, yang sejalan dengan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).

“Fakta lainnya adalah PSN Merauke diterbitkan tanpa adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam perolehan perizinan-perizinan lingkungan hidup, pengalihan dan pemanfaatan hak atas tanah adat, perizinan usaha perkebunan dan hak guna usaha, dan sebagainya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,” kata Johnny Teddy Wakum, Direktur LBH Papua Merauke, dalam sebuah keterangan tertulis, Jumat (19/12/2025).

LBH Papua Merauke melihat bahwa pelaksanaan PSN Merauke yang telah berlangsung lebih dari satu tahun juga telah menimbulkan berbagai kontradiksi dan luka serius yang mencemaskan dan merugikan masyarakat adat korban. LBH Papua Merauke mencatat terjadinya kekerasan dan pemaksaan, penghancuran dan penghilangan sumber pangan.

Tak hanya itu, PSN ini juga menghancurkan mata pencaharian tradisional (traditional occupation), menyebabkan kerusakan lingkungan dan kehilangan hutan dengan ekosistem penting, hingga belasan ribu hektare, seperti yang telah dialami oleh masyarakat adat di Wanam dan beberapa wilayah lainnya seperti di Nakias, Jagebob dan 75 Keluarga di kampung Soa Tanah Miring.

Teddy mengatakan, masyarakat pemilik hak ulayat telah berulang kali menyampaikan aspirasi mereka terkait penolakan dan ketidaksetujuan mereka atas kehadiran perusahaan Jhonlin Group di wilayah adat mereka kepada Pjs Gubernur Papua Selatan pada 2024. Masyarakat adat juga telah menyampaikan aspirasi ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, namun hingga kini tidak ada respons dari pemerintah dan aktivitas pembongkaran lahan milik masyarakat adat makin luas.

“Berdasarkan situasi pengabaian dari pemerintah maka masyarakat Korban PSN mengambil inisiatif untuk melakukan pemalangan secara kolektif dan mandiri sebagai sikap perlawanan yang nyata dengan berkaca pada faktaa kerusakan yang terjadi,” ujar Teddy.

Teddy menjelaskan, arti dan Makna Salib Merah sendiri memiliki beberapa tujuan seperti perlawanan ekologis dan spiritual, yang mana menggabungkan dimensi adat dan kekristenan untuk menolak ekspansi proyek pembangunan yang merusak lingkungan dan merampas tanah serta menandakan batas wilayah dan larangan keras, dengan konsekuensi konflik jika dilanggar.

Selanjutnya Salib Merah juga memiliki arti sebagai manifestasi iman Kristen yang Menunjukkan pertanggungjawaban iman pribumi dalam menjaga tanah dan hutan sebagai ciptaan Tuhan, bukan lagi dengan senjata, tapi dengan simbol spiritual.  Selain itu pemasangan Salib Merah juga dapat diartikan sebagai peringatan dan deklarasi konflik. Sehingga apabila salib merah dilanggar, itu dapat diartikan bahwa pihak yang melanggar sengaja menciptakan konflik atau perang dengan masyarakat adat.

“Dari ketiga poin di atas Salib Merah juga memiliki arti sebagai perlindungan ruang hidup, sehingga Salib Merah dipasang di lokasi penting (tanah marga, makam, sumber daya) sebagai tanda bahaya dan upaya perlindungan menyeluruh,” kata Teddy.

Teddy mengatakan, Komnas HAM RI dalam hasil pemantauan mereka terkait PSN Merauke sejak 2024-2025 telah menemukan berbagai pelanggaran HAM, antara lain diabaikannya prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior and Informed Consent/FPIC), tidak diakuinya hak-hak ulayat masyarakat adat, berkurangnya ruang hidup dan sumber kehidupan masyarakat adat, penggusuran paksa atas lahan masyarakat adat, kerusakan lingkungan dan budaya lokal, keterlibatan aparat keamanan dalam pelaksanaan PSN Merauke di Wanam.

Dalam aksi penanaman Salib yang dilakukan oleh masyarakat adat di Wanam, imbuh Teddy, ada beberapa tuntutan yang disampaikan masyarakat adat, seperti mendesak pemerintah dan perusahaan serta semua operator proyek untuk menghentikan semua aktivitas di wilayah masyarakat adat yang telah digusur dan diserobot paksa. Selanjutnya masyarakat adat juga mendesak kepada pemerintah untuk memulihkan dan merehabilitasi semua kerusakan hutan, rawa, tanah dan dusun mencari makan yang telah dirusak dan dihancurkan menggunakan alat berat PT Jhonlin Group.

LBH Papua Merauke menilai bahwa apa yang terjadi kepada masyarakat Adat di Wanam diduga kuat melanggar Pasal 385 ayat 1 KUHP. LBH Papua Merauke menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat termasuk masyarakat adat Wanam yang di dalamnya terdapat marga Moyuwend, Kahol, Basik-basik, Balagaize dan Gebze diakui dalam Konstitusi 1945 Pasal 18B ayat 2 dan juga UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasal 43 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Dengan melihat sikap dan aksi masyarakat adat tersebut sertai berbagai pelanggaran yang ada. maka LBH Papua Merauke bersama-sama dengan Solidaritas Merauke mendesak Pemerintah Indonesia dan Jhonlin Group wajib menghormati aksi Salib Merah dan Sasi Adat yang telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Wanam,” kata Teddy.

Kemudian, pemerintah dan perusahaan harus segera menghentikan semua aktivitas pembukaan lahan untuk jalan, bandara dan dermaga atau di seluruh teritori masyarakat adat kampung Wanam di Distrik Ilwayab. LBH Papua Merauke juga meminta semua alat berat ditarik dari seluruh wilayah masyarakat adat Wanam dan wajib mengosongkan wilayah adat.

Pemerintah juga wajib memulihkan dan merehabilitasi semua kerusakan hutan, rawa, tanah dan dusun tempat masyarakat mencari makan yang telah dirusak dan dihancurkan menggunakan alat Berat PT Jhonlin Group. LBH juga memandang pemerintah perlu melakukan pemetaan hak-hak ulayat, memberikan pelindungan bagi wilayah adat aasyarakat adat.

LBH Papua Merauke juga mendesak pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum (APH) memberikan jaminan atas hak rasa aman bagi masyarakat adat yang terdampak PSN dan juga khususnya masyarakat kampung Wanam dan Wogikel.

“Semua pihak perlu menciptakan kondisi yang kondusif dan melakukan komunikasi yang efektif untuk mewujudkan pelindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia di Wanam dan Merauke,” ucap Teddy.

SHARE