20 Tahun ke Depan, Sumatra Paling Rentan Isu Krisis Iklim: BRIN

Penulis : Kennial Laia

Krisis Iklim

Rabu, 24 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sumatra diproyeksikan sebagai wilayah paling rentan terhadap dampak krisis iklim di Indonesia hingga 20 tahun ke depan. Hal ini juga diperburuk oleh alih fungsi lahan dan tata kelola di pulau tersebut, sebagian besar menjadi konsesi perusahaan ekstraktif skala besar seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. 

“Berdasarkan 14 model proyeksi hingga 2040, wilayah terutama di Sumatra Utara dan Riau menjadi wilayah yang paling rentan terhadap hujan dan angin ekstrem, pada periode Desember hingga Januari. Untuk itu, kesiapsiagaan dan persiapan menghadapi bencana harus diperkuat,” kata peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional Erma Yulihastin pada sebuah diskusi daring, Kamis, 18 Desember 2025. 

November lalu, tanah longsor dan banjir bandang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Menurut Erma, curah hujan ekstrem yang dipicu Siklon Senyar hanya berkontribusi sekitar 20% terhadap kerusakan. Sementara 80% lainnya dipicu oleh faktor lingkungan. 

“Energi dari Siklon Senyar hanya berdampak pada 20% dari kerusakan yang ditimbulkan, sisanya lebih banyak disebabkan oleh perubahan lingkungan,” katanya.

Upaya pencarian korban hilang dan pembukaan akses jalan menggunakan alat berat di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Foto: Bidang Komunikasi Kebencanaan/Muhammad Andhika Rivaldi

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban bencana di tiga provinsi tersebut hingga kini mencapai 1.059 orang meninggal, 192 orang hilang, dan 147 rumah rusak. Jumlah ini lima kali lebih besar dari korban siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur pada 2021 lalu, meskipun sama-sama dipicu siklon tropis kategori 3. 

Para ilmuwan mengatakan bahwa tutupan lahan di darat berpengaruh pada pergerakan badai di laut. Dalam konteks bencana Sumatra November lalu, Erma mengatakan dampaknya yang besar itu diperburuk oleh masifnya alih fungsi lahan dan tata ruang di Sumatra. 

“Ketika tutupan lahan masih terjaga, suhu yang dingin karena ada evaporasi, membuat pergerakan badai menjauh dari daratan,” katanya. 

Sebaliknya, ketika hutan ditebang, lahan menjadi terbuka dan panas, siklon yang terbentuk karena udara panas dari permukaan laut akan mendekat ke daratan. 

Direktur Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Farwiza Farhan mengatakan, selama satu dekade terakhir, Aceh kehilangan ratusan ribu hektare hutan. Hal ini didorong oleh perluasan perkebunan sawit, pertambangan, dan izin kehutanan. 

Menurutnya, sebelum 2010 dan setelah tsunami, Aceh memiliki rencana tata ruang yang memetakan provinsi mencakup sensitivitas lahan hingga sebaran penduduk. 

Sebuah penelitian menyatakan, wilayah Aceh Tamiang yang turut terdampak bencana November lalu sangat rentan karena kehilangan banyak daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan lingkungan juga akan berdampak pada banjir bandang di 70% desa di Aceh Tamiang, serta Aceh Timur dan Aceh Tenggara. 

“Dari pemetaan itu, disebutkan bahwa pembukaan lahan baru akan meningkatkan risiko bencana, karena daya dukung lingkungan sudah mencapai batas maksimal,” kata Farwiza. 

“Ini sesuatu yang sudah diketahui sejak lama,” katanya. 

Menurut peneliti Toba Initiative Delima Silalahi, masyarakat kerap menjadi tumbal pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari bencana Sumatra, di mana wilayah terdampak paling parah dikepung oleh sejumlah industri ekstraktif dan eksploitatif. 

Delima juga mengkritisi lambatnya respons pemerintah dalam  menangani bencana, termasuk nihilnya penetapan bencana nasional. Hal ini berdampak pada penanganan bencana yang tidak terkoordinasi antara satu daerah terdampak dengan lainnya. 

“Air bersih di Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan masih sulit. Banyak dari mereka yang mengungsi secara mandiri di bukit-bukit seperti di Angkola,” katanya. 

Selain kesulitan pendataan korban dan bantuan yang menumpuk, Delima mengatakan hujan dan banjir yang masih terjadi juga menghambat masuknya bantuan ke wilayah terdampak. “Saat ini solidaritas warga menjadi penopang di lapangan, di mana warga bantu warga agar bisa bertahan,” ujar Delima.

Peneliti di Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) Nailul Huda mengatakan, pemulihan wilayah terdampak bencana Sumatra akan memakan waktu yang panjang. Pasalnya, sebagian besar masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat, seperti Aceh dan Sumatra Barat. 

“Yang saya khawatirkan adalah Aceh karena ketika ingin membangun kembali sangat bergantung dana transfer daerah. Apalagi tahun depan, dana transfer daerah dipotong,” kata Huda. 

Anggaran pemulihan bencana sebesar Rp 51.82 triliun yang disebut pemerintah, kata Huda, belum mencakup pembangunan manusia. “Dengan politik anggaran seperti ini, butuh 30 tahun sendiri untuk memulihkan Aceh,” katanya. 

SHARE