Kematian Anak Bajau di Lingkar Tambang Nikel Masuk Laporan PBB
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Rabu, 24 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kematian seorang bocah perempuan Bajau di Kabaena, Sulawesi Tenggara, karena tenggelam di pesisir yang terimbas lumpur tambang nikel pada Maret 2025 lalu dimuat dalam laporan Special Rapporteur PBB. Pegiat lingkungan menyebutkan negara gagal melindungi pulau kecil, termasuk hak-hak Masyarakat Adat Bajau yang terdampak langsung oleh ekspansi tambang.
Kisah kematian ini termuat dalam Komunikasi Bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa AL IDN 8/2025. Kerusakan tambang nikel di Kabaena, pulau kecil dengan luas 891 kilometer persegi, cukup masif. Lebih dari 70 persen wilayahnya telah disesaki konsesi tambang, mayoritas nikel.
Masyarakat Bajau yang tinggal di berbagai sisi pesisir itu pun terdampak lumpur akibat aktivitas tambang nikel.
Kematian bocah perempuan bernama Masra terjadi usai hujan di perkampungan tempatnya tinggal. Ia berjalan tertatih di jetty kayu tercebur ke air yang keruh karena lumpur tambang nikel. Warga tak bisa mencari keberadaannya hingga ia ditemukan mengapung beberapa meter dari rumahnya.
Nama Masra tak tertulis dalam laporan itu namun melihat waktu kejadian, bisa dipastikan bahwa laporan kematian itu memang tentang dirinya.
Kematian ini hanya sepenggal kisah derita saja. PBB juga menyoroti runtuhnya sumber penghidupan Masyarakat Adat Bajau, termasuk penurunan hasil tangkapan ikan dan gurita hingga 80 persen serta anjloknya harga rumput laut hingga 90 persen. Kondisi ini sejalan dengan temuan koalisi mengenai sedimentasi masif, pencemaran laut, dan degradasi ekosistem pesisir yang menghancurkan pondasi ekonomi dan budaya masyarakat.
PBB juga mengungkap memburuknya kondisi kesehatan publik di Kabaena, ditandai dengan tingginya kasus penyakit pernapasan dan kulit, serta ditemukannya logam berat seperti nikel, kadmium, dan timbal dengan kadar hingga 1.000 kali di atas ambang batas aman WHO. Tragedi meninggalnya anak-anak Bajau akibat laut yang berubah menjadi lumpur akibat sedimentasi tambang menunjukkan kegagalan perlindungan negara yang tidak dapat ditoleransi.
Kondisi perairan di sekitar pemukiman warga di Pulau Kabaena, Sultra. Foto: Satya Bumi.
Selama dua tahun terakhir, Satya Bumi bersama Walhi Sultra telah melakukan pemantauan intensif atas kegiatan ekstraktivisme di pulau tersebut dan menemukan kegagalan serius dalam penegakan hukum serta tata kelola sumber daya alam.
Komunikasi PBB mengonfirmasi laporan Satya Bumi mengenai tidak adanya persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), perampasan lahan tanpa kompensasi, serta kriminalisasi terhadap warga yang menyuarakan penolakan. Praktik-praktik tersebut melanggar standar hak asasi manusia internasional dan kewajiban Indonesia.
“Komunikasi PBB ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah Indonesia dan perusahaan tidak lagi dapat mengelak dari tanggung jawab atas pemulihan lingkungan dan perlindungan hak masyarakat adat di Kabaena,” tegas Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien melalui rilis pers pada Kamis (18/12/2025).
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, menyebutkan pernyataan PBB mengenai tambang nikel di Pulau Kabaena sebagai penegasan atas krisis ekologis dan kemanusiaan yang telah lama terjadi. Komunikasi resmi PBB tersebut merupakan pengakuan internasional atas praktik pertambangan nikel yang selama bertahun-tahun menimbulkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Kami menegaskan bahwa negara telah gagal menjalankan kewajibannya melindungi pulau kecil, termasuk hak-hak Masyarakat Adat Bajau yang terdampak langsung oleh ekspansi tambang," kata dia.
Mereka pun mendesak pemerintah untuk menindaklanjuti Komunikasi PBB sebagai peringatan serius atas pelanggaran yang terjadi. Sebanyak 16 izin operasi pertambangan nikel yang masih aktif di Pulau Kabaena harus segera dicabut. Pemerintah juga harus menjamin pemulihan lingkungan dan hak-hak Masyarakat Adat Bajau.
Koalisi ini juga menyerukan kepada perusahaan otomotif global yang menggunakan nikel dari Indonesia untuk segera melakukan uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan di seluruh rantai pasok, menghentikan sumber pasokan nikel dari Kabaena, serta bertanggung jawab atas pemulihan dampak yang telah ditimbulkan.
“Koalisi menegaskan bahwa transisi energi yang adil dan berkelanjutan tidak boleh dibangun di atas penderitaan masyarakat adat dan kehancuran ekosistem pulau kecil,” kata Andi.
Selain derita Bajau di Kabaena, Komunikasi Bersama PBB juga memberikan laporan mengenai pelanggaran HAM di Papua, PSN, polemik Transmigrasi, diskriminasi dan kriminalisasi Masyarakat adat, dan konflik lahan.
SHARE

Share
